Perkara-perkara yang Didiamkan (Tidak Ada

M. Perkara-perkara yang Didiamkan (Tidak Ada

Haknya)

Kemudian ia mengambil bentuk lain dalam ber-istidlal atas kebenaran sesuatu yang ia sangka, yaitu bahwa doa dalam bentuk seperti itu tidak ada larangan di dalam syariat, karena adanya anjuran berdoa secara global serta adanya bentuk pengamalannya. Jika benar para salaf tidak mengerjakan perbuatan seperti itu, maka sikap itu tidak mesti memberi hukum pada apa yang ditinggalkan kecuali diperbolehkan untuk meninggalkan dan hilangnya kesulitan saja, hal itu tidak menunjuk hukum haram dan makruh.

Semua yang dikatakan mempunyai sisi masalah menurut kaidah, khususnya masalah ibadah —yang sedang kita bahas— karena tidak ada seorang pun yang berhak membuat-buat hal baru dalam syariat dengan pendapatnya sendiri, sebab tidak ada dalil yang membolehkan hal tersebut, dan itu adalah hakikat bid'ah. Demikian juga pada masalah ini, karena tidak adanya dalil yang menunjukkan pembolehan atas pengambilan doa dengan suara keras untuk jamaah yang hadir yang dilakukan secara terus-menerus setiap selesai shalat. Apa batasannya sehingga orang yang meninggalkan hal ini dihukumi sebagai orang yang keluar dari Islam? Bukankah semua yang tidak ada dalilnya adalah bid'ah?

Atas dasar hal tersebut, maka perkataan itu memberi prasangka bahwa orang-orang yang mengikuti al muta'akhkhirin lebih baik daripada orang- orang yang mengikuti salafush-shalih. Jika salah satu dari keduanya diperbolehkan, maka bagaimana bila salah satu dari dua masalah tersebut diyakini benar dan yang lainnya diragukan? Ia pasti mengikuti sesuatu yang Atas dasar hal tersebut, maka perkataan itu memberi prasangka bahwa orang-orang yang mengikuti al muta'akhkhirin lebih baik daripada orang- orang yang mengikuti salafush-shalih. Jika salah satu dari keduanya diperbolehkan, maka bagaimana bila salah satu dari dua masalah tersebut diyakini benar dan yang lainnya diragukan? Ia pasti mengikuti sesuatu yang

Kemudian ungkapannya bahwa sikap meninggalkan tidak mengharuskan hukum pada sesuatu yang ditinggalkan kecuali hukum boleh meninggalkan, hal ini tidak sesuai dengan dasar-dasar syariat yang paten.

Kami katakan: Di sini terdapat dasar untuk masalah ini, yaitu bahwa diamnya Pemberi syariat dari hukum dalam suatu masalah atau meninggalkannya karena suatu perkara terbagi dalam dua bentuk:

1. Diam darinya (tidak memberi hukum) atau meninggalkannya (membiarkannya), karena tidak ada yang mengharuskan pelaksanaannya, tidak ada sesuatu yang mewajibkan adanya keputusan, dan tidak ada sebab munculnya keputusan. Seperti bencana yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, dimana sebelumnya tidak ada, tidak ada yang mengomentarinya ketika hal itu terjadi. Dalam hal ini ahli syariat perlu meninjau dan menelitinya dari segala sisi, yang dicakup secara sempurna dalam agama. Untuk contoh seperti ini seluruh pandangan salafush-shalih kembali pada hal-hal yang tidak di-Sunnahkan oleh Rasulullah SAW secara khusus namun logis maknanya; seperti denda bagi para pekerja, masalah muhrim dan warisan kakek karena adanya saudara, dan aul dalam pembagian harta waris. Termasuk di dalamnya juga masalah pengumpulan Al Qur" an, penyusunan syariat, dan hal- hal lainnya yang tidak membutuhkan keputusan hukum jus’iyat (parsial atau cabang-cabangnya) yang tidak membatalkan keputusan pada

zaman Nabi SAW untuk diajukan 24 karena adanya Al Qawa 'id Al Qulliyah (kaidah-kaidah baku yang disempurnakan) yang tidak ada

campur tangan manusia namun segala hukum disimpulkan darinya. Apabila tidak terjadi sebab-sebab munculnya hukum di dalamnya dan

24 Begitulah pada aslinya, dan itu telah diselewengkan. Mungkin di dalam perkataan itu terdapat pembuangan juga, jadi makna yang dimaksud jelas, bahwa apa yang tidak butuh kepada

taqrir beliau pada zaman kenabian dari bagian-bagian hukum telah terdapat di dalam syariat

kaidah-kaidah kulliyyah yang memasukkannya dan disimpulkan darinya.

tidak adanya fatwa dari Nabi SAW, maka tidak disebutkan hukum khusus untuknya.

Contoh ini, jika ada sebab-sebabnya dan termasuk hukum dalam kebiasaan atau hukum ibadah yang tidak mungkin terbatas dengan sesuatu yang didengar (seperti masalah lupa dalam melaksanakan ibadah), harus ditinjau dan dicocokkan dengan usulnya. Pada contoh ini tidak ada masalah, sebab ushul syariat terjaga (orisinil untuk dijadikan sebagai dasar), walaupun sebab-sebab hukum tersebut tidak pada zaman turunnya wahyu, maka diam (tidak memberi hukum) secara khusus tidak menimbulkan hukum yang mengharuskan bolehnya meninggalkan atau selainnya. Namun jika kejadian-kejadian tersebut nampak, maka hukumnya dikembalikan pada ushul-nya, karena hal itu ada dalam ushul tersebut Namun, hal itu tidak dijumpai oleh orang yang belum sampai pada derajat mujtahid, sebab yang mendapatkannya hanya mujtahid yang benar-benar menguasai ilmu ushul fikih.

2. Pembuat syariat diam (tidak memberi) terhadap hukum khusus atau

membiarkan suatu perkara (tanpa hukum), padahal yang mengharuskan munculnya hukum ada dan sebab munculnya hal itu terjadi pada zaman turunnya wahyu. Walaupun hukum setelahnya ada dan paten, namun di dalamnya tidak dibatasi oleh perkara tambahan yang bersesuaian dengan hukum umum dan tidak kurang dari itu, karena ketika makna yang mengharuskan pensyariatan hukum akal yang khusus itu ada, kemudian tidak disyariatkan dan tidak diperingatkan akan timbulnya

kekusutan, 25 maka yang lebih dari apa yang telah ditetapkan terdapat bid'ah tambahan dan bertentangan dengan maksud pemberi syariat.

Jadi, bisa dipahami bahwa kita harus berhenti pada batas yang telah ditetapkan dan tidak boleh lebih atau kurang darinya.

Oleh karena itu, contoh yang dinukil dari Malik bin Anas pada saat Asyhab dan Ibnu Nafi mendengarkan, merupakan contoh tepat yang sedang kita bicarakan, di mana madzhabnya berpendapat bahwa sujud syukur

25 Begituiah pada aslinya.

hukumnya makruh lantaran tidak disyariatkan, dan atas dasar itu ia membangun perkataannya.

Ia berkata —dalam kitab Al Atabiyyah— bahwa Malik pernah ditanya tentang keadaan seorang laki-laki yang mendapatkan sesuatu yang disenanginya, lalu bersujud kepada Allah SWT sebagai ungkapan syukur? Ia kemudian menjawab bahwa hal seperti ini tidak dikerjakan oleh para salaf. Ia kemudian ditanya, "Abu Bakar Ash-Shiddiq RA —sesuai yang mereka sebutkan— pernah melakukan sujud pada hari Yamamah karena anugerah Allah SWT. Apakah kamu pernah mendengar kisah ini?" Ia menjawab, "Aku tidak pernah mendengar kisah itu, dan aku kira mereka telah mendustakan Abu Bakar. Ini termasuk kesesatan yang diakibatkan oleh pendengaran seseorang terhadap sesuatu." Ia lalu berkata, "Orang ini belum mendengamya dariku. Allah SWT telah memenangkan Rasulullah SAW dan kaum muslim setelahnya. Apakah kamu mendengar ada orang di antara mereka yang mengerjakan hal ini? Jadi, apa pun yang pernah terjadi pada diri manusia, pasti ada hal-hal yang terdengar (untuk diketahui); dan hendaknya kamu juga demikian, sebab jika ada, niscaya telah disebutkan, karena hal itu adalah bagian dari perkara-perkara yang ada pada manusia, yang selalu berputar di antara mereka. Apakah kamu pernah mendengar salah seorang dari mereka melakukan sujud? Ini adalah ijma'."

Jadi, bila ada suatu hal datang kepadamu dan kamu tidak tahu, maka tinggalkanlah —kesempurnaan riwayat—. Adapun pertanyaan dan jawaban untuk masalah ini telah dijelaskan pada pembahasan yang lalu.

Pertanyaan: Bid'ah adalah melaksanakan sesuatu yang tidak ada keputusannya dari Pemberi syariat; baik boleh dilakukan maupun harus ditinggalkan. Tidak ada hukum khusus atasnya, walaupun hukum asal segala sesuatu adalah boleh (ja’iz), sebagaimana hukum asalnya boleh untuk meninggalkannya, karena itu adalah makna boleh. Jika ia mempunyai dasar secara global, maka yang paling layak adalah boleh mengerjakannya hingga ada dalil yang melarang atau memakruhkannya. Jika demikian masalahnya, maka tidak ada lagi pertentangan terhadap maksud syari' (Pembuat syariat) Pertanyaan: Bid'ah adalah melaksanakan sesuatu yang tidak ada keputusannya dari Pemberi syariat; baik boleh dilakukan maupun harus ditinggalkan. Tidak ada hukum khusus atasnya, walaupun hukum asal segala sesuatu adalah boleh (ja’iz), sebagaimana hukum asalnya boleh untuk meninggalkannya, karena itu adalah makna boleh. Jika ia mempunyai dasar secara global, maka yang paling layak adalah boleh mengerjakannya hingga ada dalil yang melarang atau memakruhkannya. Jika demikian masalahnya, maka tidak ada lagi pertentangan terhadap maksud syari' (Pembuat syariat)

Jawaban: Makna yang disebutkan Imam Malik adalah diam dari hukum untuk melaksanakan atau meninggalkan yaitu bila didapatkan makna yang menunjukkan hukum adanya ijma' dari setiap orang yang tidak menentukan hukum bahwa tidak ada tambahan atas apa yang telah ada. Karena, seandainya hal itu layak atau boleh menurut syariat, maka mereka akan mengerjakannya, sebab mereka adalah orang yang paling berhak untuk mengejamya dan bergegas mengerjakannya.

Hal itu apabila kita melihat pada kemaslahatan, karena dalam suatu kejadian pasti ada kemungkinan terdapatnya kemaslahatan atau tidak. Namun untuk bagian yang kedua tidak ada seorang pun yang mengatakannya. Adapun yang pertama, kemungkinan maslahat yang baru terjadi itu; lebih kuat daripada maslahat yang ada pada zaman pembebanan atau tidak lebih kuat dari itu, dan tidak mungkin bersama maslahat yang baru terdapat tambahan pembebanan, sebab menguranginya akan lebih layak pada zaman- zaman yang terakhir karena diketahui kurangnya kemauan dan kemalasan, dan karena bertentangan dengan tujuan diutusnya Nabi SAW dengan agama yang toleran dan terangkatnya kesulitan dari umat.

Hal ini dalam pembebanan ibadah, karena adat kebiasaan adalah perkara lain — sebagaimana akan datang penjelasannya— yang telah kita jelaskan sedikit sebelumnya, namun tidak tersisa kecuali maslahat yang nampak sekarang ini sama dengan maslahat yang ada pada zaman pensyaratan atau lebih lemah darinya. Ketika itu kejadian-kejadian yang baru menjadi sia-sia atau hanya sebagai penyempuma (kekurangan) syariat, karena maslahat yang ada pada zaman pensyariatan —jika benar bagi orang-orang pertama tanpa Hal ini dalam pembebanan ibadah, karena adat kebiasaan adalah perkara lain — sebagaimana akan datang penjelasannya— yang telah kita jelaskan sedikit sebelumnya, namun tidak tersisa kecuali maslahat yang nampak sekarang ini sama dengan maslahat yang ada pada zaman pensyaratan atau lebih lemah darinya. Ketika itu kejadian-kejadian yang baru menjadi sia-sia atau hanya sebagai penyempuma (kekurangan) syariat, karena maslahat yang ada pada zaman pensyariatan —jika benar bagi orang-orang pertama tanpa

Nampak dari kebiasaan yang berlaku pada hal-hal yang kita bahas saat ini bahwa sikap orang-orang pertama yang tidak melakukan sesuatu karena suatu perkara tanpa menentukan alasan. Walaupun tercakupnya hal tersebut di bawah dalil-dalil global dan adanya kemungkinan merupakan dalil bahwa perkara itu tidak berlaku dan itu merupakan ijma' mereka untuk meninggalkannya.

Ibnu Rusyd —dalam mensyarah masalah Al Atabiyyah— berkata, "Alasan hal tersebut adalah tidak disyariatkannya hal itu dalam agama — maksudnya sujud syukur— baik secara fardhu maupun sunah, karena Nabi SAW tidak memerintahkan dan tidak pula mengerjakannya. Kaum muslim juga tidak berijma' untuk mengerjakannya, padahal seluruh syariat tidak ditetapkan kecuali dari salah satu perkara ini."

Ia berkata, "Pengambilan dalilnya adalah berdasarkan tindakan Rasulullah SAW yang tidak mengerjakannya, begitu juga kaum muslim setelahnya. Jika hal tersebut ada, maka pasti telah dinukil (pengambilan dalil itu benar), karena tidak boleh ada faktor-faktor meninggalkan penukilan syariat dari syariat-syariat agama, sementara beliau diperintahkan untuk menyampaikan."

Ia berkata lagi, "Ini adalah salah satu dasar dari dasar-dasar agama, dan atas dasar ini datang pengguguran zakat sayur-mayur walaupun terkadang ada zakat padanya, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah SAW bahwa Pada apa yang disirami oleh air hujan, mata air, dan tumbuhan yang hanya hidup dengan airhujan, zakatnya sepersepuluh. Sedangkan pada sesuatu yang disirami dengan pompa, zakatnya separuh dari sepersepuluh.

Hal ini karena kita memposisikan sikap meninggalkan penukilan

—bahwa Nabi SAW mengambil zakat dari sayur-mayur— adalah seperti Sunnah yang memberi putusan tidak ada zakat padanya. Demikian halnya dengan memposisikan sikap meninggalkan penukilan sujud dari Nabi SAW dalam bersyukur sebagai Sunnah yang memberi keputusan tidak adanya sujud padanya. Kemudian diceritakan penentangan Syafi'i dan penolakan atasnya. Adapun yang dimaksud dari masalah ini adalah pengarahan Imam Malik bahwa hal itu adalah perbuatan bid'ah, bukan pengarahan bahwa hal itu adalah bid'ah secara mutlak.

Atas dasar ini sebagian ubma berpendapat sama dalam mengharamkan nikah muhallil, sebab ia adalah bid'ah munkarah. Hal ini dilihat dari sisi adanya makna yang mengharuskan hal tersebut pada zaman Nabi SAW untuk memberi keringanan kepada suami istri agar keduanya kembali rujuk. Hal itu tidak ada syariatnya sama sekali, walaupun istri Rifa'ah sangat ingin kembali kepada suaminya. Dengan demikian, hal ini menunjukkan tidak disyariatkannya penghalalan itu untuknya (istri Rifa'ah) dan untuk wanita lain. Inilah dasar yang benar; dan apabila dianggap, maka jelaslah permasalahan yang sedang kita bicarakan lantaran pelaziman membaca doa setelah shalat dengan suara keras untuk jamaah yang hadir di masjid-masjid yang mengadakan shalat jamaah. Seandainya benar atau boleh menurut syariat, maka Nabi pasti menjadi orang yang lebih utama untuk mengerjakannya.

Orang yang mengingkari posisi ini berdalih dengan illat-illat yang menunjukkan hukum boleh. Ia membangun hal itu atas asumsi bahwa tidak ada nash yang menentangnya dan dasar setiap hal yang tidak ditentukan hukumnya (dibiarkan) adalah boleh.

Adapun yang dasar adalah boleh, maka itu tertahan, karena sekelompok ulama bermadzhab bahwa segala sesuatu sebelum adanya syariat dilarang dan bukan dibolehkan. Apa dalil pembolehannya sebagaimana yang dikatakan? Seandainya kita terima apa yang dikatakan, maka apakah hal itu diterima secara mutlak? Adapun dalam masalah-masalah yang sudah biasa dikerjakan, mungkin bisa diterima, tapi kami tidak menerima apa yang sedang Adapun yang dasar adalah boleh, maka itu tertahan, karena sekelompok ulama bermadzhab bahwa segala sesuatu sebelum adanya syariat dilarang dan bukan dibolehkan. Apa dalil pembolehannya sebagaimana yang dikatakan? Seandainya kita terima apa yang dikatakan, maka apakah hal itu diterima secara mutlak? Adapun dalam masalah-masalah yang sudah biasa dikerjakan, mungkin bisa diterima, tapi kami tidak menerima apa yang sedang

Seandainya diterima bahwa ia termasuk adat kebiasaan atau termasuk sesuatu yang logis maknanya, maka kita juga tidak boleh mengerjakannya, karena Nabi SAW meninggalkannya seumur hidupnya, begitu juga salafush- shahh. Sebagaimana yang telah lalu, bahwa hal itu berarti sebagai nash dalam meninggalkannya dan ijma dari setiap orang yang meninggalkannya, karena ijma' adalah seperti nashnya, sebagaimana diisyaratkan oleh Malik dalam perkataannya.

Di samping itu, ia juga memberikan dalih-dalih yang tidak benar, dan penolakannya ada dari beberapa sisi.

1. Doa dengan bentuk seperti itu untuk menampakkan sisi pensyariatan dalam berdoa. Doa yang dilakukan setelah selesai shalat adalah perbuatan yang diharapkan. Perkataannya menuntut adanya hukum sebagai perbuatan sunah, sebab pelaksanaannya dilakukan secara terus-menerus. Adapun menampakkannya kepada jamaah dan berada di masjid-masjid, maka sebenamya itu bukanlah sunah (menurut kesepakatan kami dan dia). Jika demikian, maka sisi pensyaratannya terbalik.

Di samping itu, menampakkan pensyariatan pada zaman Nabi SAW adalah lebih utama, karena cara-cara yang dibicarakan lebih utama untuk ditampakkan. Tapi, mengapa Nabi SAW tidak mengerjakannya?

Hal itu menunjukkan bahwa beliau tidak mdakukannya, walaupun ada makna yang terkandung, sehingga tidak ada pilihan lain setelah zaman beliau kecuali meninggalkannya.

2. Imam yang menghimpun mereka berdoa agar perkumpulan mereka lebih dekat diijabah. Illat ini ada pada zaman Nabi SAW, karena tidak ada seorang pun yang lebih cepat diijabah doanya daripada beliau. Bcrbeda dengan yang lain, betapa pun tingginya kedudukannya dalam agama, ia tidak akan mencapai ketinggian derajat beliau. Jadi, beliau lebih berhak menambahkan doa untuk mereka lima kali sehari semalam sebagai tambahan doa mereka untuk diri mereka sendiri.

Di samping itu, tujuan penghimpunan doa setelah zaman Nabi SAW tidak lebih besar keberkahannya daripada perkumpulan yang di dalamnya terdapat pemimpin para rasul dan sahabatnya. Oleh karena itu, mereka lebih utama untuk menggunakan cara seperti ini.

3. Tujuan mengajarkan doa adalah mengambil —dari doa beliau— sesuatu yang dapat mereka gunakan untuk mendoakan diri mereka sendiri, agar mereka tidak berdoa dengan sesuatu yang tidak dibolehkan, baik menurut akal maupun syariat. Dalih ini tidak byak, karena Nabi SAW adalah guru yang pertama dan dari beliaulah kita menerima lafazh- lafazh doa beserta makna-maknanya.

Dahulu di kalangan bangsa Arab ada orang yang tidak tahu kadar

rububiyyah, sehingga ia berkata, Wahai Tuhan seluruh hamba, kami tidak memiliki apa yang

Engkau miliki

Turunkanhh hujan kepada kami, namun kami tidak

menghiraukan Engkau

Dalam syair yang lain,

Bukan masalah jika Engkau yang mewarnai zamanku

Namun bukan Engkau yang merubah segala hal setelahku

Dalam syair yang Iain,

Wahaianakku, barangkali aku tidak mencintai kalian

Kalian mendapatkan Tuhan seperti yang aku dapatkan. Ini adalah lafazh-lafazh yang berasal dari seorang penyair yang

membutuhkan pengajaran. Memang mereka lebih dekat dengan zaman jahilyyah yang memperlakukan berhala-berhala seperti perlakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan tidak menyucikan-Nya sebagaimana yang layak terhadap keagungan-Nya. Oleh karena itu, tidak disyariatkan bagi mereka untuk berdoa dalam bentuk perkumpulan setelah selesai shalat, untuk mengajarkan mereka atau membantu mereka belajar ketika mereka shalat bersamanya. Tetapi beliau mengajarkannya di majelis taklim dan berdoa untuk dirinya setelah selesai shalat, ketika nampak hal itu baginya, dan ketika itu beliau tidak menolehkan pandangannya kepada jamaah, dan beliau adalah makhluk yang paling berhak dengan hal tersebut.

4. Dalam perkumpulan untuk doa terdapat rasa saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, dan itu diperintahkan. Perkumpulan yang demikian itu adalah lemah, karena Allah berfirman, "Dan tolong- menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan ketakwaan' (Qs. Al Maa’idah [5]: 2). Begitulah beliau mengerjakannya, seandainya berkumpul untuk berdoa dengan suara keras setelah shalat masuk dalam kategori kebaikan, maka beliaulah orang pertama yang melakukannya, namun beliau tidak melakukannya, demikian juga orang-orang setelah beliau, hingga terjadilah apa yang terjadi. Jadi, hal itu tidak termasuk kategori kebaikan dan takwa.

5. Kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang tata cara orang Arab mengucapkan bahasa mereka, sebab bisa jadi lahn -lah yang menjadi sebab tidak ada jawaban. Diriwayatkan dari Al Ashma'i tentang cerita syair dan bukan masalah fikih, dan perkumpulan ini lebih mendekati permainan daripada momen yang dianggap serius; bahwa salah seorang ulama yang ditunjuk untuk memimpin doa tidak 5. Kebanyakan orang tidak memiliki pengetahuan mendalam tentang tata cara orang Arab mengucapkan bahasa mereka, sebab bisa jadi lahn -lah yang menjadi sebab tidak ada jawaban. Diriwayatkan dari Al Ashma'i tentang cerita syair dan bukan masalah fikih, dan perkumpulan ini lebih mendekati permainan daripada momen yang dianggap serius; bahwa salah seorang ulama yang ditunjuk untuk memimpin doa tidak