100.000 50,000 sd Rice field sustainability index for supporting spatial use management case study in Java island

240 Keberhasilan membangun basisdata zona agroekologi lahan sawah berbasis SIG untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan atau ketahanan pangan ditentukan oleh kesiapan IDSN. Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi IDSN di negara kita ditinjau dari aspek kelengkapan data utama, kelembagaan, jaringan komputer dan SDM masih belum memadai. Belum siapnya IDSN ini tentunya dapat menghambat keberhasilan pembangunan basisdata zona agroekologi lahan sawah. Dari aspek kelengkapan data utama, ketersediaan peta dasar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, terutama skala provinsi 1: 250,000 dan kabupatenkota 1: 50,000, 1: 25,000 masih belum lengkap. Wilayah yang belum lengkap peta dasarnya diantaranya pulau Kalimantan, Sumatera, kepulauan Maluku, dan Provinsi Papua. Disamping peta dasar, peta- peta tematik sumber daya lahan yang diperlukan untuk membangun basisdata zona agroekologi lahan sawah seperti peta agroklimat, peta potensi sumberdaya air dan kondisi irigasi juga masih banyak yang belum tersedia. Permasalahan belum lengkapnya peta dasar dan tematik juga masih dijumpai sistem format data yang belum standar. Kondisi tersebut jelas akan dapat mempersulit terwujudya basisdata zona agroekologi lahan sawah yang diinginkan. Selain itu, karena Gambar 87. Perubahan paradigma dalam pengelolaan data spasial Matindas et al., 2009 P P e e t t a a d d i i g g i i t t a a l l P P e e t t a a c c e e t t a a k k a a n n a a n n a a l l o o g g F F i i l l e e s s a a n n d d T T i i l l e e s s N N L L P P B B a a s s i i s s d d a a t t a a s s e e a a m m l l e e s s s s W W o o r r k k f f l l o o w w W W o o r r k k f f l l o o w w I I n n d d i i v v i i d d u u a a l l W W o o r r k k f f l l o o w w s s B B a a s s i i s s d d a a t t a a E E n n t t e e r r p p r r i i s s e e 241 adanya perubahan iklim, data-data sumber daya lahan yang bersifat dinamis seperti penutup lahan dan agroklimat banyak yang mengalami perubahan. Dari aspek kelembagaan, tugas dan fungsi instansi-instansi penghasil data masih ada yang tumpang tindih. Kondisi ini jelas dapat memberi peluang terjadinya ego sektor, karena masing-masing instansi penghasil data mempunyai persepsi terhadap apa yang dilakukan telah sesuai dengan tugas dan fungsinya. Disamping itu, belum adanya peraturan perundangan mengenai pemanfaatan data bersama antar instansi penghasil data dan masih maraknya pelanggaran hak cipta merupakan kendala bagi pertukaran data spasial. Dari aspek SDM, ketersediaan SDM yang diperlukan untuk membangun basisdata SDA berbasis SIG di instansi-instansi simpul jaringan masih belum memadai, terutama tenaga ahli sistem analis dan programmer yang memahami Inderaja dan SIG. Kedua kualifikasi tenaga ahli tersebut mempunyai fungsi sangat penting untuk pengembangan basisdata SIG. Dari pengalaman proyek Land Resource Evaluation Project LREP dan Marine Resource Evaluation Project MREP, penyediaan tenaga ahli bidang Inderaja dan SIG yang ditempatkan di Bappeda Provinsi tidak berfungsi optimal seperti yang diharapkan. Banyak diantara tenaga ahli yang telah trampil dimutasikan untuk alasan pengembangan karier di unit kerja lain. Kendala dari aspek SDM ini merupakan faktor penghambat yang perlu diatasi untuk membangun sinergi basisdata SISTEM . KEM KEHUTANAN SISTEM BAKOSURTANAL SISTEM KEM. PU SISTEM KEM. PERTANIAN SISTEM BMKG SISTEM BPN Gambar 88. Ilustrasi pengelolaan data spasial yang belum terpadu sebagai GIS islands Matindas et al., 2009 242 sumberdaya lahan berbasis SIG untuk mendukung keberlanjutan lahan sawah dengan pendekatan konsep agroekologi. Hambatan lain yang menghadang pembangunan basisdata spasial secara umum adalah belum adanya peraturan perundangan setingkat Undang-Undang tentang pengelolaan data spasial. Kondisi ini mengakibatkan instansi penghasil data masih enggan untuk melakukan pertukaran data. Tanpa adanya kesediaan wali data untuk melakukan pertukaran data, tujuan pembangunan IDSN mustahil akan dapat direalisasikan. Hambatan dari aspek kelembagaan ini diharapkan segera dapat diatasi dengan segera disahkannya Undang-Undang Informasi Geospasial UUIG, yang sampai sekarang masih dalam proses legislasi di lembaga legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Tujuan utama pembangunan IDSN adalah untuk menata pengelolaan data spasial secara terstruktur, transparan, dan terintegrasi, sehingga pertukaran data secara on line yang dilakukan oleh instansi-instansi penghasil data wali data dapat diwujudkan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut dalam kaitannya dengan pembangunan basisdata zona agroekologi lahan sawah diperlukan pertukaran data spasial secara on line yang didukung oleh sistem jaringan komputer yang terintegrasi Gambar 89. Melalui sistem jaringan komputer yang terintegrasi, masyarakat pengguna dapat mengakses metadata di penghubung simpul atau langsung di simpul jaringan. Metadata tersebut mendiskripsi sifat data spasial yang ada di wali data. Apabila pengguna menginginkan untuk mendapatkan data spasial seperti yang diuraikan dalam metadata, pengguna dapat mengakses data melalui unit kliring yang ada di instansi penghasil data. Melalui IDSN ini, instansi-instansi terkait diharapkan dapat mengakses data spasial dari instansi- instansi terkait secara cepat untuk keperluan pembangunan basisdata zona agroekologi lahan sawah secara efektif dan efisien. Menurut Rais 2007, pertukaran data melalui jaringan komputer dianalogikan dengan jalan tol agar informasi spasial dapat mencapai para pengguna dengan cepat. Terwujudnya pertukaran data dengan konsep IDSN ini memerlukan kesadaran instansi-instansi penghasil data untuk mau membagi bersama share karena “data yang dikembangkan oleh institusi Pemerintah dan dibiayai oleh APBN seharusnya adalah public domain, bukan data milik instansi 243 tersebut. Pemerintah sebagai penghasil data seyogyanya tidak berperilaku sebagai pebisnis data spasial”. Gambar 97. Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk pertukaran data spasial Penghubung Simpul Jaringan Simpul Jaringan Gambar 89. Konfigurasi sistem jaringan komputer terintegrasi untuk pertukaran data spasial Matindas et al., 2009 244

8. KESIMPULAN, SARAN, DAN KEBARUAN

8.1 Kesimpulan

1. Zona agroekologi lahan sawah di pulau Jawa sebagian besar merupakan lahan di kawasan budidaya yang sesuai untuk tanaman padi sawah dengan didukung oleh infrastruktur irigasi yang memadai. Zona agroekologi lahan sawah yang dipetakan pada skala 1: 250,000 tersebut memiliki luas total 3.10 juta ha dengan potensi produksi 35.40 juta ton GKG atau setara dengan 23. 01 juta ton beras setiap tahun. Meskipun pencapaian potensi produksinya dimaksud cukup tinggi, zona agroekologi lahan sawah di pulau Jawa masih menghadapi kendala pelandaian produktivitas. 2. Kondisi daya dukung lahan sawah di pulau Jawa sebagian besar telah memasuki kondisi bersyarat. Kondisi daya dukung yang cukup mengkhawatirkan ini terutama dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dan penerapan standar konsumsi beras yang masih tergolong tinggi. 3. Indeks keberlanjutan yang mencerminkan status keberlanjutan lahan sawah untuk pengendalian pelaksanaan penataan ruang dalam rangka mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan di pulau Jawa umumnya termasuk kategori cukup berkelanjutan. Ancaman keberlanjutan lahan sawah terutama disebabkan oleh indikator yang mencakup faktor biofisik ketersediaan air, C- organik, N-total, P-tersedia, dan K-tersedia, faktor ekonomi perolehan keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, dan konversi lahan, dan faktor sosial-budaya persepsi terhadap harga padi HPP, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani, dan usia petani. 4. Kebijakan faktor ekonomi berperan paling penting untuk menangani permasalahan keberlanjutan lahan sawah apabila dibandingkan dengan penerapan kebijakan faktor sosial-budaya dan biofisik. Pemilihan lokasi prioritas untuk menerapkan kebijakan faktor ekonomi dan biofisik umumnya dipengaruhi oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah kecuali untuk penerapan kebijakan faktor sosial-budaya. Ketiga kebijakan tersebut dirumuskan dalam 9 paket kebijakan prioritas dengan urutan 1 pemberian subsidikredit usahatani, 2 peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, 245 3 revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif, 4 pengendalian jumlah penduduk, 5 pemberdayaan petani Poktan dan reforma agraria, 6 usahatani bersama, 7 pembangunan dan perbaikan irigasi, 8 penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, 9 pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu. Penerapan kesembilan paket kebijakan ini diyakini akan memberikan peluang pulau Jawa untuk dapat mempertahankan swasembada beras atau berperan sebagai pengekspor beras apabila diikuti dengan penerapan kebijakan standar konsumsi beras 110 kgkapitatahun dan diversifikasi pangan, pengelolaan tanaman terpadu, pengaturan kelembagaan pemangku kepentingan, dan penataan data melalui pembangunan IDSN. Untuk mendukung penataan ruang, keberhasilan penerapan kebijakan tersebut memerlukan koordinasi dengan para pemangku kepentingan mengingat lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama.

8.2 Saran

1. Pulau Jawa diusulkan sebagai pusat produksi beras nasional mengingat 55 produksi beras nasional dikontribusi dari pulau ini. Keberhasilan pulau Jawa untuk berperan sebagai pusat produksi beras tersebut memerlukan komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan lahan sawah melalui penerapan 9 paket kebijakan dari hasil penelitian ini. Dengan disertai penerapan kebijakan ektensifikasi lahan sawah di luar pulau Jawa, intensifikasi lahan sawah di pulau Jawa melalui penerapan 9 paket kebijakan dimaksud diyakini akan mendorong Indonesia untuk mampu berswasembada beras atau bahkan sebagai pengekspor beras. 2. Penerapan kebijakan untuk mengfungsikan pulau Jawa sebagai pusat produksi beras nasional perlu sinkronisasi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, mengingat lahan sawah produktif yang berada di pantai utara sebagian merupakan dataran aluvial pantai yang termasuk kawasan pesisir. 3. Untuk memperbaiki daya dukung lahan sawah di pulau Jawa, pemerintah disarankan untuk merevisi kebijakan konsumsi beras nasional dari 139.15 246 kgkapitatahun menjadi 110 kgkapitatahun dengan diikuti langkah konsisten untuk melakukan program diversifikasi pangan dan mengedepankan produk pangan dalam negeri. 4. Pengelolaan lahan sawah sebaiknya dilakukan oleh lembaga khusus, yaitu Badan Persawahan Nasional agar permasalahan pengaturan kelembagaan dalam penataan ruang dapat diatasi. 5. Pengembangan peta zona agroekologi lahan sawah melalui IDSN memerlukan dukungan kelengkapan peta dasar RBI dan peta-peta tematik pendukungnya, kesiapan sumberdaya manusia, dan ketersediaan jaringan komputer terintegrasi. Keberhasilan pengembangan peta zona agroekologi tersebut memerlukan dukungan kebijakan akses data yang berbasis free of charge gratis, terutama peta digital dengan tingkat skala regional ≤ 1: 250,000, agar sharing data melaui IDSN dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

8.3 Kebaruan

Berdasarkan pada hasil penelitian ini, kebaruan penelitian indeks keberlanjutan lahan sawah yang diperoleh meliputi: 1. Pengklasifikasian lahan sawah berbasiskan zona agroekologi yang dapat mencerminkan kesamaan potensi produksi padi, intensitas pertanaman, dan status kawasan budidaya. 2. Penetapan indikator utama keberlanjutan lahan sawah berdasarkan pada data geospasial zona agroekologi. 3. Penentuan prioritas kebijakan pengelolaan lahan sawah berdasarkan indikator utama pada zona agroekologi untuk mendukung pengendalian pelaksanaan penataan ruang.