Klasifikasi Penataan Ruang Konsep Penataan Ruang .1 Prinsip Dasar

204 dan rencana sistem jaringan prasarana. Adapun rencana pola terdiri atas ruang peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya. Lebih lanjut, peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya yang mencakup peruntukan ruang untuk kepentingan kelestarian lingkungan, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan. Dalam rangka pelestarian lingkungan hidup, pemangku kepentingan harus menetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 dari luas daerah aliran sungai UUPR Pasal 17 ayat 5. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya UUPR Pasal 32 ayat 1 Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lain UUPR Pasal 33 ayat 1. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi UUPR Pasal 35. Peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi ditetapkan dengan: a peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem nasional; b peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem provinsi; dan c peraturan daerah kabupatenkota untuk peraturan zonasi sistem kabupatenkota UUPR Pasal 35 dan Pasal 36. Ketentuan perijinan dikeluarkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW dibatalkan oleh pemerintah. Ijin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan RTRW dapat dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah dengan memberikan ganti rugi yang layak UUPR Pasal 37. Pemberian insentif merupakan upaya memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, yaitu berupa keringanan pajak, pembangunan serta pengadaan infrastruktur, kemudahan prosedur perijinan, dan atau pemberian penghargaan UUPR Pasal 38 ayat 2. Sebaliknya, disinsentif juga dapat diterapkan apabila terdapat pelaksanaan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW, yaitu berupa pengenaan pajak yang tinggi dan pembatasan penyediaan infrastruktur serta penalti UUPR Pasal 38 ayat 3. 205 Pengawasan penataan ruang dilakukan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang; yang terdiri atas pemantauan, evaluasi, dan pelaporan. Pengawasan penataan ruang tersebut dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangannya masing-masing dengan melibatkan peran masyarakat UUPR Pasal 35. 6.3 Bahan dan Metode 6.3.1 Perumusan Pilihan Kebijakan Data yang digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan ini adalah hasil identifikasi permasalahan faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah berdasarkan indeks keberlanjutan yang telah dibahas di bab 5. Faktor penghambat kebelanjutan lahan sawah tersebut mencakup faktor biofisik, ekonomi, dan sosial- budaya. Perumusan alternatif kebijakan didasarkan pada telaah pustaka dari berbagai sumber dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama Undang-Undang Penataan Ruang UUPR. Pilihan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah disajikan pada Tabel 43.

6.3.2 Penentuan Kebijakan Prioritas

Penentuan kebijakan prioritas menggunakan metoda Proses Hirarkhi Analitik AHP, seperti yang dijelaskan oleh Marimin 2004. Penyusunan hirarkhi mengacu pada proses pencapaian pertanian berkelanjutan berdasakan konsep agroekologi, yaitu melalui tiga aspek kriteria, yaitu 1 biofisik, 2 ekonomi, dan 3 sosial-budaya. Ketiga aspek ini merupakan pilihan kebijakan yang dipentingkan atau diprioritaskan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Masing-masing kriteria tersebut kemudian dikelompokkan menjadi tiga sub-kriteria, yang merupakan pilihan kebijakan untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah di setiap faktor penghambat yang ada di setiap zona agroekologi ZAE. Masing-masing pilihan kebijakan yang dikelompokkan di sub-kriteria selanjutnya dijabarkan di semua zona agroekologi sebagai alternatif untuk penentuan wilayah prioritas penerapan kebijakan Gambar 76.