Faktor Sosial-Budaya Indeks Keberlanjutan Lahan Sawah untuk Penataan Ruang

191 menanamkan “cinta bertani” kepada generasi muda agar usahatani padi sawah tetap dapat berkelanjutan. Semua upaya pengelolaan lahan sawah dimaksud adalah untuk mewujudkan penataan ruang kawasan perdesaan yang diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat perdesaan UUPR Pasal 48 ayat 1 butir a dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan UUPR Pasal 48 butir c. 5.5 Kesimpulan dan Saran 5.5.1 Kesimpulan 1. Status keberlanjutan lahan sawah ditentukan oleh indikator faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya petani yang ada di setiap zona agroekologi lahan sawah. Jumlah indikator utama dari ketiga faktor tersebut bervariasi, tergantung pada karakteristik zona agroekologi lahan sawah. 2. Indeks keberlanjutan lahan sawah di Jawa sebagian besar termasuk kategori cukup berkelanjutan. Indikator utama yang sebagian besar berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah adalah ketersediaan air, bahaya banjir, kandungan C-organik tanah, N-total, P-tersedia, K-tersedia, perolehan keuntungan, modal usahatani, akses pupuk, potensi konversi lahan, persepsi terhadap harga padi, penguasaan dan fragmentasi lahan, pendidikan petani, dan usia petani. Indikator utama yang berperan sebagai pendukung keberlanjutan di semua zona agroekologi lahan sawah adalah tingkat salinitas, kandungan unsur hara K-total dan P-total, fasilitas pengolahan hasil panen dan pemasaran yang kondusif, serta kondisi sosial-budaya masyarakat petani yang memiliki motivasi bertani tinggi, menolak konversi lahan sawah menjadi non- sawah, dan kearifan lokal pengelolaan lahan sawah yang mendukung kelestarian sumberdaya tanah. 3. Indeks keberlanjutan sawah yang dipetakan berdasarkan zona agroekologi dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan untuk mendukung pelaksanaan penataan ruang, terutama dalam hal pengendalian ruang yang bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan lahan sawah berkelanjutan. 192

5.5.2 Saran

1. Penanganan permasalahan keberlanjutan lahan sawah di Jawa disarankan untuk dapat difokuskan pada indikator utama yang berperan sebagai faktor penghambat, dengan tetap menjaga indikator yang berperan sebagai faktor pendukung keberlanjutan. Indikator yang berperan sebagai faktor penghambat keberlanjutan lahan sawah dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk merumuskan kebijakan pengelolaan lahan sawah yang mendukung penataan ruang dalam rangka menjaga ketahanan pangan dari aspek ketersediaan beras. Indikator yang berperan sebagai faktor pendukung perlu dijaga kualitasnya agar tidak berbalik menjadi faktor penghambat yang dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah. 2. Kekhawatiran budaya eksploitatif petani dengan melakukan pemompaan air tanah untuk memaksakan penanaman padi dengan IP300 disarankan untuk dikaji lebih detil agar tidak berkembang meluas. Pengkajian dampak pemompaan air tanah untuk pengairan padi sawah pada musim kemarau dapat diarahkan ke langkah-langkah pencegahan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan karena gangguan keseimbangan neraca air. 3. Untuk mengantisipasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah perlu dibuat peraturan yang melarang pemilikan lahan sawah di luar wilayah desa kawasan persawahan. Lahan sawah tidak boleh dikonversi menjadi non- sawah tanpa seijin penduduk di wilayah desa dimana lahan sawah berada. 4. Para pemangku kepentingan disarankan melakukan sosialisasi kepada petani padi sawah tentang konservasi lingkungan dan adaptasi perubahan iklim dengan menggali potensi kearifan lokal, agar kelangkaan air dan bahaya banjir sebagai dampak perubahan iklim global yang dapat mengancam keberlanjutan lahan sawah dapat dikurangi secara efektif dan efisien. 193

6. KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN SAWAH BERBASIS ZONA AGROEKOLOGI

UNTUK MENDUKUNG PENATAAN RUANG

6.1 Rasional

Kebijakan merupakan suatu tindakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan permasalahan yang didefinisikan Parsons, 2008. Dalam sektor pertanian, pengelolaan lahan sawah berperanan penting untuk menangani berbagai permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Karena lahan sawah bersifat multifungsi yang dapat memberikan manfaat terhadap lingkungan biofisik, sosial- budaya, dan ekonomi Irawan et al., 2004, maka pengelolaan lahan sawah harus bersifat holistik agar perannya sebagai produsen padi dapat ditingkatkan secara berkelanjutan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang mencakup faktor lingkungan biofisik, sosial- budaya, dan ekonomi telah dipetakan pada peta indeks keberlanjutan berdasarkan zona agroekologi. Oleh karena itu, zona agroekologi dapat digunakan sebagai basis kajian pengelolaan lahan sawah untuk menangani permasalahan keberlanjutan lahan sawah. Seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 262007 Pasal 2, tujuan penataan ruang pada hakekatnya adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di berbagai sektor, termasuk sektor pertanian yang mengandalkan potensi sumberdaya alam. Adapun tujuan utama dimunculkannya ide konsep agroekologi adalah untuk menjaga keberlanjutan pertanian Altieri, 1989. Oleh karena itu, kebijakan teknis hasil kajian pengelolaan lahan sawah yang berbasiskan zona agroekologi dapat dimanfaatkan untuk mendukung penataan ruang di kawasan budidaya, terutama untuk perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian peruntukan lahan sawah agar keberlanjutan lahan sawah dapat dijaga. Dermawan 2005 menjelaskan bahwa ketepatan pemilihan alternatif kebijakan ditentukan oleh model pengambilan keputusan yang diterapkan. Menurut Marimin 2004, model pengambilan keputusan dengan AHP dapat digunakan untuk menangani permasalahan berbagai aspek multidimensi secara menyeluruh dengan memberikan berbagai prioritas alternatif kebijakan. Sehingga,