Perkembangan Lahan Sawah TINJAUAN PUSTAKA

17 Banten. Pada masa itu, pembangunan pertanian mendapat perhatian serius. Laporan perjalanan duta Van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan luasnya daerah persawahan dengan saluran irigasi yang dibuat dari batu. Di Mataram para penguasa kebanyakan mempunyai kali kecil yang disalurkan melintasi rumah mereka. Nama sebuah ”bendungan” untuk mengingatkan pentingnya pengairan dicatat di keraton Sultan Agung dan Amangkurat I, yaitu di Plered. Pada masa kesultanan, beras merupakan komoditi ekspor utama selain tembakau yang dikirim ke Sulawesi atau Penang Malaysia. Pada masa itu pula, mulai muncul industri pengrajin tenun, batik, pembuatan garam, gula aren, industri ”kertas jawa” dluwang yang dibuat dari kulit jayu pohon rumbai tertentu. Akibatnya, muncul kegiatan sektor ekonomi yang menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Sementara itu, pemerintahan terus berupaya meningkatkan pemasukan dari pajak. Kemajuan itu tampaknya mendukung perkembangan hak milik, yang membawa akibat munculnya golongan sosial baru, yaitu golongan sikep orang-orang terkemuka yang menguasai tanah. Golongan itu tidak diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa, yang mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa Lombard, 1990b. Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda – Orde Lama 1965, lahan sawah di Jawa mulai tertekan karena peningkatan jumlah penduduk. Untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, pada awal abad 20 pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan program transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk Jawa ke pulau-pulau lain. Setelah kemerdekaan, kepemilikan lahan sawah di Jawa menjadi semakin terpecah-pecah karena semakin banyaknya tuan-tuan tanah. Pada tahun 1963, kepemilikan lahan sawah petani gurem di Jawa adalah 0,637 ha Lombard, 1990b. Pada masa orde lama, kedaulatan pangan menghadapi masalah. Pada masa demokrasi terpimpin itu, pemerintah mengabaikan ketersediaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibat terjadinya kelangkaan produksi beras yang dipasok oleh lahan sawah inilah yang menjadi penyebab kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965 Modjo, 2009. Pada masa Orde Baru tahun 1966-1998, pemerintah mengintesifkan penerapan revolusi hijau, yaitu dengan mencanangkan berbagai program 18 intensifikasi usaha tani padi sawah seperti program Bimas Bimbingan Massal, Insus Intesifikasi khusus, Inmas Intensifikasi Massal, Inmun Intensifikasi Umum, Opsus Operasi khusus, dan Supra Insus. Program intensifikasi usaha tani padi tersebut diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas padi dengan pemakaian benih varietas unggul, pupuk kimia, dan obat-obatan kimia dan pestisida pemberantas hama dan penyakit tanaman. Penerapan revolusi hijau tersebut disertai pembangunan infrastruktur irigasi secara pesat. Namun demikian, sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, produksi padi cenderung semakin merosot hingga 2 Fagi dan Kartaatmadja, 2003; Salikin, 2003. Penurunan produktivitas lahan pertanian tersebut mengindikasikan bahwa revolusi hijau juga membawa dampak buruk atau eksternalitas negatif, yaitu meningkatnya erosi tanah, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil pertanian, dan lain-lain Salikin, 2003. Menurut Yansen 2008, revolusi hijau yang diterapkan saat ini juga tidak diikuti pengurangan kemiskinan. Pada masa krisis ekonomi, reformasi hingga sekarang 1997 – sekarang , lahan pertanian sawah di Jawa semakin tertekan karena peningkatan jumlah penduduk dan buruknya infrastruktur irigasi. Selama satu dekade terakhir, infrastruktur irigasi yang telah dibangun secara pesat pada masa Orde Baru tidak terpelihara dengan baik Yansen, 2008; Khudori 2008. Buruknya infrastruktur irigasi tidak disebabkan oleh tidak adanya dana, melainkan karena para penyelenggara dan pemutus kebijakan negeri ini masih terjebak belenggu urban bias. Misalnya, dari 24 proyek yang ditransaksikan dalam infrastruktur Summit 2005, mayoritas untuk orang kota 17 proyek jalan tol, dua proyek pipa gas, empat proyek pengadaan air, dan satu proyek pembangkit listrik, dengan total investasi enam miliar dolar AS Khudori, 2008. Agar tidak berdampak lebih buruk terhadap penduduk desa yang mayoritas pencahariannya mengandalkan usaha tani, Khudori lebih lanjut manyarankan tentang pentingnya pembangunan infrastruktur desa jalan desa dan irigasi. Kedua infrastruktur ini berperan penting untuk menjaga keberlanjutan usaha tani pada khususnya dan kesejahteraan petani pada umumnya. 19 Agar sektor pertanian pangan tidak semakin terpinggirkan dalam perkonomian nasional, revitalisasi pertanian mutlak diperlukan, yaitu dengan mengambil tiga langkah penting: 1 pemeliharaan dan investasi pembangunan infrastruktur irigasi, 2 melaksanakan reformasi agraria agar pengurangan kemiskinan bisa dicapai, dan 3 target ekspor beras harus tetap diintegrasikan dengan target ketahanan pangan nasional Yansen, 2008. 2.2 Karakteristik Biofisik 2.2.1 Agroklimat Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun pada periode 1998-2007, agroklimat pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi 9 sembilan tipe iklim Oldeman, yaitu A 1 , B 1 , B 2 , B 3 , C 2 , C 3 , D 3 , E 3 , dan E 4 . Klasifikasi agroklimat Oldeman tersebut didasarkan pada lama bulan basah dan kering berturut-turut, yang disesuaikan dengan rata-rata hujan bulanan untuk menanam padi sawah 200 mm dan untuk tanaman palawija 100-140 mm. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bulan basah adalah yang hujannya lebih besar dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah yang hujannya kurang dari 100 mm Oldeman, 1975. Karakteristik dan peta tipe iklim Oldeman disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 6-7. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6-7, distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan basah lebih banyak daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering. Tipe iklim A1 dan B1 hanya dijumpai di provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tipe iklim B3 dijumpai di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Cakupan tipe iklim C2, C3, dan D3 menyebar di semua provinsi, tetapi tipe C3,D3, dan E3 paling luas berada di Jawa Timur. Gambar 8 menunjukkan bahwa awal musim hujan di Jawa sangat bervariasi. Musim hujan di Jawa Barat dan bagian Barat Jawa Tengah dimulai pada bulan September. Musim hujan di pantai utara provinsi Banten –DKI Jakarta –Bekasi-Karawang dan Gresik, Probolinggo-Banyuwangi dimulai pada bulan Desember. Di sebagian besar wilayah provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, musim hujan dimulai pada bulan Oktober-November. 20 Tabel 2. Klasifikasi agroklimat Oldeman Oldeman, 1975 Tipe Iklim Bulan basah berturut-turut Bulan kering berturut-turut A 1 9 2 A 2 9 2-4 B 1 7-9 2 B 2 7-9 2-4 B 3 7-9 5-6 C 1 5-6 2 C 2 5-6 2-4 C 3 5-6 5-6 C 4 5-6 6 D 1 3-4 2 D 2 3-4 2-4 D 3 3-4 5-6 D 4 3-4 6 E 1 3 2 E 2 3 2-4 E 3 3 5-6 E 4 3 6 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 A1 B1 B2 B3 C1 C2 C3 D3 E3 E4 Tipe Iklim L u as h a Banten Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Gambar 6. Distribusi tipe iklim di Jawa berdasarkan data curah hujan tahun 1998-2007 BMG, 2008 21 Gambar 7. Peta zona agroklimat Oldeman Jawa BMG, 2008