Konversi Lahan TINJAUAN PUSTAKA

39 tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah PAD, dan lemahnya penegakan hukum. Hingga saat ini konversi lahan baik yang direncanakan melalui sistem kelembagaan maupun non kelembagaan secara alami masih terus berlangsung. Dugaan ini terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 625 km dari Jawa Barat hingga Jawa Timur Gambar 15, yang berpotensi memicu konversi lahan sawah produktif sekitar 4.264 ha Litbang Kompas, 2008. Konversi lahan yang semakin marak ini sulit dihindari karena faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain Irawan, 2004. Rasio land rent lahan pertanian adalah 1: 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan Nasoetion dan Winoto, 1996. Adimihardja 2006 berpendapat bahwa rendahnya persepsi masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah mengakibatkan lahan sawah mudah terkonversi, selain faktor eksternal, yaitu pembangunan sektor non-pertanian yang memilih lahan yang umumnya bertopografi relatif datar yang siap pakai dari karakteristik biofisik dan aksesibiltas. Menurut Tambunan 2008, umumnya konversi lahan sawah menjadi daerah permukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat Karawang, Subang, Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, dan Cirebon, Jawa Tengah Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Adapun menurut Pasandaran 2006, permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di daerah pinggiran kota. Secara keseluruhan, konversi lahan sawah untuk perumahan hampir 58.7 dan untuk industri, perkantoran, dan pertokoan sekitar 21.8, sedangkan di luar Jawa, hampir 49 untuk perkebunan, dan 16.1 untuk perumahan. Dari hasil pemantauan penutup lahan yang diinterpretasi dari citra Landsat ETM tahun 2000 dan 2005 Poniman dan Nurwadjedi, 2008, konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri mencapai 26,770.10 ha atau 5,354.02 hatahun. Penyusutan lahan sawah tersebut diikuti oleh penyusutan hutan seluas 4,975.26 ha, perkebunan 94.44 ha, dan ladang 64,707.32 ha, lahan 40 terbuka, 568.08 ha, semak belukar 544.79 ha, dan tubuh air 35,370.70 ha. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, pertambahan lahan permukiman dan industri mencapai 104,799.10 ha atau 34.933 hatahun. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Gambar 16, pada masa kejayaan Orde Baru atau era Presiden Suharto 1979-1990 berhasil mencapai prestasi swasembada pangan dan laju konversi lahan sawah di Jawa cenderung Tabel 4. Dinamika konversi lahan sawah di Jawa Periode Masa Pemerintahan Nama Kabinet Konversi Lahan ha Laju hatahun 1979-1984 Orde Baru Pembangunan III-1V 41,736 8,347 1985-1990 Orde Baru Pembangunan IV-V 37,631 7,526 1991-1996 Orde Baru Pembangunan V-VI 142,626 28,525 1997-2000 Krisis Ekonomi dan Reformasi Pembangunan VI-VII Reformasi Pembangunan Persatuan Nasional 186,813 62,271 2000-2005 Pascareformasi Gotong Royong Indonesia Bersatu 76,770 15,534 menurun dari 8,347 hatahun menjadi 7,526 hatahun. Pada saat itu, diperkirakan pemerintah berhasil mengendalikan konversi lahan sawah yang disertai dengan penerapan program intensifikasi melalui panca usaha tani, yaitu teknik pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan organik dan kimia, pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Pada periode 1990-1996, Gambar 15. Rencana jalan tol trans Jawa Litbang Kompas, 2008 Sumber: Data 1979-1999 dari Ilham et al. 2005, Data 2000-2005 dari Poniman dan Nurwadjedi 2008 41 laju konversi lahan mulai cenderung naik dan mencapai puncaknya, yaitu sekitar 62,721 hatahun, pada masa krisis ekonomi atau reformasi 1997-2000. Fenomena meningkatnya konversi lahan sawah pada masa krisis ekonomi atau masa reformasi ini bisa dimaklumi karena pada masa itu pintu demokrasi dibuka sehingga masyarakat memperoleh kemudahan atau kebebasan dari pemerintah untuk menyalurkan segala aspirasinya, termasuk melakukan konversi lahan sawah menjadi penggunaan lain. Pada masa krisis itu, Pulau Jawa juga sering dilanda bencana alam banjir dan tanah longsor. Guritno 2006 mencatat bahwa sejak tahun 1997 kejadian bencana banjir di Jawa cenderung meningkat. Pada tahun 2000-2005 pascareformasi, laju konversi lahan sawah menjadi menurun. Pada masa itu, pemerintah dihadapkan pada masalah krisis pangan dan bencana alam banjir dan tanah longsor. Prestasi swasembada pangan yang telah dicapai pemerintah orde baru tidak bisa dipertahankan. Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris berubah menjadi negara pengimpor beras. Simatupang dan Timmer 2008, dalam Tambunan, 2008 menjelaskan bahwa penurunan laju pertumbuhan produksi beras di Indonesia selama tahun 1998-2005 mencapai 1.22. Menurunnya produksi beras tersebut tentunya dipengaruhi oleh penyusutan lahan sawah di pulau Jawa karena konversi lahan sawah, mengingat hampir 60 produksi beras nasional disuplai dari pulau ini. Masalah penurunan produksi beras ini dibarengi oleh maraknya kejadian bencana banjir dan tanah longsor hampir di setiap wilayah, termasuk di Pulau Jawa. Kedua masalah ini menyadarkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian agar krisis 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 180,000 200,000 1979-1984 1985-1990 1991-1996 1997-2000 2000-2005 Tahun L ah an S aw ah T er ko n ver si h a Krisis ekonomi masa reformasi Orde Baru Pascareformasi Gambar 16. Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005 42 Gambar 17. Peta penutup lahan Pulau Jawa tahun 2000 43 Gambar 18. Peta penutup lahan pulau Jawa tahun 2005 44 Tabel 5. Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 ha Provinsi Hutan Perkebunan Ladang Sawah Permukiman Lahan Terbuka Semak Belukar Tubuh air Lain-lain Total DKI Jakarta 215.21 0.00 2,778.27 3,758.25 55,989.95 777.63 127.44 720.61 750.47 65,117.83 Banten 150,657.25 37,301.63 348,124.27 248,390.49 71,198.75 12,290.47 26,538.33 16,902.61 23,647.53 935,051.33 Jawa Barat 632,770.79 185,660.35 1,294,264.04 1,183,466.80 253,383.55 47,899.26 52,927.84 91,731.23 31,139.10 3,773,242.96 Jawa Tengah 696,686.45 23,191.95 1,089,538.22 1,075,398.61 410,046.50 4,687.87 38,662.30 53,543.45 49,325.92 3,441,081.27 DI. Yogyakarta 33,869.64 0.00 162,358.56 55,478.30 60,722.84 364.50 3,614.68 660.85 235.40 317,304.77 Jawa Timur 1,520,600.67 93,192.01 1,512,127.05 1,080,106.72 371,115.41 36,436.14 17,932.83 97,685.38 73,624.47 4,802,820.68 Total 3,034,799.99 339,345.93 4,409,190.40 3,646,599.17 1,222,457.00 102,455.86 139,803.42 261,244.12 178,722.89 13,334,618.84 Sumber: Poniman dan Nurwadjedi 2008 Tabel 6 . Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 ha Provinsi Hutan Perkebunan Ladang Sawah Permukiman Lahan terbuka Semak belukar Tubuh air Lain-lain Total DKI Jakarta 215.21 0.00 2,225.30 3,288.46 57,651.51 138.85 127.43 720.60 750.47 65,117.83 Banten 152,944.36 37,240.85 353,985.74 247,644.31 80,040.71 12,259.19 26,447.99 17,045.42 7,442.76 935,051.33 Jawa Barat 637,189.46 186,061.86 1,263,299.57 1,154,815.48 259,964.26 47,849.21 52,936.67 89,717.65 81,408.80 3,773,242.96 Jawa Tengah 695,056.52 23,166.00 1,084,917.94 1,057,283.08 426,909.20 4,928.61 38,533.79 22,938.08 87,348.05 3,441,081.27 DI. Yogyakarta 29,638.95 0.00 149,962.59 54,225.87 73,755.04 357.99 3,426.72 647.83 5,289.78 317,304.77 Jawa Timur 1,514,780.25 92,782.78 1,490,091.94 1,052,571.86 428,935.38 36,353.94 17,786.03 94,803.83 74,714.67 4,802,820.68 Total 3,029,824.73 339,251.49 4,344,483.08 3,569,829.06 1,327,256.10 101,887.78 139,258.63 225,873.42 256,954.53 13,334,618.84 Sumber: Poniman dan Nurwadjedi 2008 , Lain-lain : awan, rawa, tambak, pelabuhan laut, padang rumput, dan tidak ada data. 45 Tabel 7. Perubahan penutup lahan di Jawa 2000-2005 No. Tipe Penutup Lahan Tahun 2000 ha Tahun 2005 ha Perubahan ha 1. Hutan 3,034,799.99 3,029,824.73 -4,975.26 2. Perkebunan 339,345.93 339,251.49 -94.44 3. Ladang 4,409,190.40 4,344,483.08 -64,707.32 4. Sawah 3,646,599.17 3,569,829.06 -76,770.11 5. Pemukiman 1,222,457.00 1,327,256.10 104,799.10 6. Lahan Terbuka 102,455.86 101,887.78 -568.08 7. Semak Belukar 139,803.42 139,258.63 -544.79 8. Tubuh Air 261,244.12 225,873.42 -35,370.70 9. Lain-lain 166,444.77 193,496.35 27,051.58 Total 13,272,340.65 13,272,340.65 pangan dan bencana banjir tidak berkelanjutan. Berdasarkan pada data penutup lahan tahun 2000-2005 Poniman dan Nurwadjedi, 2008, selama 5 tahun lahan sawah di Pulau Jawa yang beralih fungsi ke penggunaan lain adalah 76,770.11 ha dengan laju 15,354.02 hatahun Tabel 8. Konversi lahan sawah ke bentuk penggunaan lain terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, yang secara berurutan adalah 28,651.32 ha dan 27,534.86 ha dengan laju 5,730 dan 5,507 hatahun. Apabila diasumsikan produktifitas lahan sawah yang terkonversi tersebut berkisar 5-6 tonha GKG gabah kering giling, maka produksi padi yang Gambar 14. Perubahan penutup lahan di Jawa 2000-2005 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000 3,500,000 4,000,000 4,500,000 5,000,000 H ut an P er kebu nan La dang S awa h P em uk im an La han T er buk a S em ak B el uk ar Tubu h A ir La in -Lai n Tipe Penutup Lahan L u as h a Tahun 2000 Tahun 2005 Gambar 19. Perubahan penutup lahan di Jawa 2000 – 2005 46 hilang setiap tahun akibat konversi lahan adalah 76,770 – 92,124 ton. Hasil penelitian Sumaryanto et al., 2001 menunjukkan bahwa di Jawa Barat sekitar 25 dari lahan sawah yang terkonversi adalah beririgasi teknissemi teknis, sementara di Jawa Timur mencapai 45. Peringkat tertinggi lahan sawah yang terkonversi terjadi di wilayah sekitar urban dengan pertumbuhan penduduk dan industrijasa yang tinggi. Di Jawa Barat, lahan sawah yang banyak mengalami konversi lahan adalah di wilayah Botabek, Jalur Pantura, dan Kabupaten Bandung; sedangkan di Jawa Timur adalah di Gresik, Sidoarjo, Kediri, dan Mojokerto. Tabel 8. Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005 Provinsi Tahun 2000 Tahun 2005 Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain ha Laju Konversi Lahan hatahun DKI Jakarta 3,758.25 3,288.46 469.79 94 Banten 248,390.31 247,644.31 746.18 149 Jawa Barat 1,183,466.80 1,154,815.48 28,651.32 5,730 Jawa Tengah 1,075,398.61 1,057,283.08 18,115.53 3,623 Yogyakarta 55,478.30 54,225.87 1,252.43 250 Jawa Timur 1,080,106.72 1,052,571.86 27,534.86 5,507 Total 3,646,599.17 3,569,829.06 76,770.11 15,354 Sumber data: Poniman dan Nurwadjedi 2008. Seperti yang dilaporkan oleh Sumaryanto et al. 2001, konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, penurunan pendapatan pertanian dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal, pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat. Selain itu, karena fungsinya secara hidrologis dapat menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir. Berkurangnya lahan sawah karena konversi lahan bersifat irreversibel. Tidak seperti halnya penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama 47 dan penyakit tanaman, kekeringan, atau banjir; menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Hampir tidak pernah dijumpai lahan sawah yang telah terkonversi ke penggunaan lain beralih fungsi lagi menjadi lahan sawah. Kerugian yang ditimbulkan oleh konversi lahan tersebut bersifat linier dengan tingkat produktifitas lahan sawah. Semakin tinggi produktifitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya. Kajian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. 2001 juga menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5-12.5 tonhatahun, tergantung pada kualitas lahan sawah, yakni ketersediaan air dan kesuburan tanah. Karena fungsinya sebagai tempat lapangan kerja bagi petani dan pendorong terciptanya banyak lapangan kerja bagi orang lain, hilangnya lahan sawah dapat berdampak negatif bagi kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan yang mengandalkan pada usaha tani padi sawah. Penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto et al. 2001 membuktikan bahwa konversi lahan dapat mengakibatkan masyarakat lokal pemilik tanah semula dan buruh tani banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Mereka umumnya tidak dapat bersaing dengan para pendatang yang memanfaatkan lahan sawah yang terkonversi. Selain itu, konversi lahan sawah ke penggunaan lain juga berarti memubazirkan nilai investasi yang telah ditanamkan. Menurut Sumaryanto et al. 2001, nilai investasi untuk menghasilkan 1 ha lahan sawah beririgasi teknis beserta sarana pendukungnya semakin mahal seiring dengan makin tingginya harga tanah dan makin sedikitnya sumber air yang potensial. Apabila nilai yang tak terukur intangible diperhitungkan, konversi lahan sawah dapat diartikan mencabut budaya usahatani padi yang sejak lama telah diperkenalkan oleh nenek moyang kita. Nilai budaya yang tercabut tersebut berdampak pada perubahan struktur kesempatan kerja bagi petani. Bagi buruh tani petani gurem, kondisi ini memaksa mereka beralih pekerjaan ke sektor non-pertanian atau dari budaya agraris ke budaya urban. Karena mereka tidak dapat bersaing dalam budaya urban, para buruh tani banyak yang tidak memperoleh kesempatan kerja, akibatnya kriminalitas semakin meningkat. 48

2.6 Degradasi Lahan dan Kerusakan Lingkungan

Keberlanjutan lahan sawah di Jawa di hadapkan pada masalah kesuburan tanah atau kejenuhan produksi Adiningsih et al., 2004, berkurangnya suplai air irigasi Prabowo, 2007, dalam Tambunan, 2008, dan kejadian bencana banjir dan kekeringan sebagai akibat pemanasan global Samhadi, 2007. Selama periode 2001-2008, produktivitas lahan sawah mengalami stagnasi atau pelandaian leveling off pada tingkat 5,2 tonha BPS, 2008. Kejenuhan tingkat produktifitas ini, menurut Adiningsih 1992, disebabkan oleh degradasi kesuburan tanah dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Menurut Samhadi 2007, penurunan produktifitas dan produksi pertanian di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa, sebagai akibat terganggunya siklus air karena pemanasan global. Terganggunya siklus hidrologi mengakibatkan perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim, sehingga terjadi pergeseran waktu, musim, dan pola tanam. Akibat perubahan iklim ini, curah hujan akan meningkat sebesar 2-3 per tahun dan musim hujan akan lebih singkat. Perubahan pola curah hujan ini dapat menambah resiko banjir dan kekeringan. Menurut Harian Kompas seperti yang dikutip oleh Tambunan 2008, luas tanaman padi di pulau Jawa yang kebanjiran sampai akhir Desember 2007 akibat La Nina seluas 56,034 ha, dibandingkan total luas tanaman padi yang kekeringan El Nino pada musim tanam 2006-2007 seluas 66.900 ha. Selain terganggunya siklus hidrologi, pemanasan global juga akan menaikkan permukaan air laut, yang berpotensi menenggelamkan lahan sawah produktif di sepanjang pantai Utara Pulau Jawa. Diperkirakan produksi beras di kabupaten Karawang dan Subang akan menurun hingga 95.

2.7 Ketimpangan Penguasaan dan Fragmentasi Lahan

Selain konversi dan degradasi lahan serta kerusakan lingkungan, ketimpangan distribusi penguasaanpemilikan dan fragmentasi lahan merupakan masalah serius yang harus diperhatikan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Menurut Mubyarto 1978 seperti yang dikutip oleh Jamal et al. 2002, masalah penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga 49 saat ini disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi penambahan lahan pertanian Jamal et al. 2002. Jamal et al. 2002 lebih lanjut menjelaskan bahwa dinamika penguasaan lahan di Jawa dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa feodalisme, masa pemerintahan kolonial, dan masa kemerdekaan Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa feodalisme, penguasaanpemilikan lahan pertanian dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu para petani tuna kisma petani yang berlindung pada keluarga petani berlahan, para petani sikep atau kuli yang memiliki hak penguasaan tanah, dan para petani pamong desa yang selain menguasai lahan pribadi juga berhak menguasai sejumlah besar lahan desa tanah lungguh dan tanah bengkok sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan. Pada masa pemerintahan kolonial, pemerintah Belanda memperkenalkan tanah komunal untuk memudahkan penarikan pajak tanah dan pelaksanaan kerja paksa dengan menggunakan lembaga desa. Kedudukan kerajaan digantikan oleh Belanda, namun struktur masyarakat pada tingkat bawah desa masih tetap sama. Petani tetap sebagai seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa. Pada masa kemerdekaan orde lama dan orde baru, penguasaan tanah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria UUPA No. 5 tahun 1965. Dalam UUPA, pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, walaupun sampai saat ini masih banyak ketentuan- ketentuan yang belum aplikatif. Tambunan 2008 mengemukakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit petani yang mampu membeli atau menyewanya. Menurut Isa 2006, keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McCulloh 2008, dalam Tambunan, 2008 menunjukkan bahwa lebih dari 75 50 dari jumlah rumah tangga petani RTP di Indonesia tidak menguasai lahan sawah Gambar 20. Putra 2009a menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan yang menjadi dampak dari sistem bagi waris dan konversi lahan menyebabkan skala usahatani terus menurun. Lahan pertanian petani yang sempit tidak akan dapat memberikan kesejahteraan kepada petani. Agar usahataninya menguntungkan, petani yang memiliki lahan sempit disarankan untuk dapat melakukan usaha bersama dengan pemilik lahan lain di wilayahnya. Menurut Jamal et al. 2002, masalah fragmentasi lahan dimungkinkan dapat dikurangi dengan memperbaiki sistem waris dan mengubah status kepemilikan tanah dari Hak Milik HM menjadi Hak Guna Usaha HGU. Gambar 20 Distribusi rumah tangga petani dari penguasan lahan sawah McCulloh, 2008; dalam Tambunan, 2008