Prospek Pulau Jawa Berswasembada Beras
230 dimungkinkan mengakibatkan petani tidak dapat melakukan usahatani padi sawah
secara optimal karena berkurangnya subsidikredit dan bantuan-bantuan lainnya yang diberikan pemerintah kepada petani. Walaupun masih surplus, pada masa
krisis ekonomipascareformasi hingga sekarang, ketersediaan beras cenderung menurun. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
adalah peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkendali, pelandaian produktivitas lahan sawah, tingkat konsumsi beras yang tinggi, dan terjadinya
perubahan iklim global yang berdampak pada maraknya bencana banjir atau memanjangnya musim kemarau.
Dengan pendekatan zona agroekologi seperti yang telah dibahas di bab 4, potensi produksi padi per tahun di lahan sawah dengan luas 3,101,354 ha dapat
diprediksi sekitar 35,403,127 ton GKG atau setara dengan 23,012,032 ton beras. Produksi padi tersebut didasarkan pada luas panen lahan sawah 6,123,810 ha dan
produktivitas padi rata-rata 5.78 tonha. Berdasarkan distribusi zona agroekologi lahan sawah, provinsi Jawa Timur memberikan kontribusi produksi beras
terbesar, kemudian diikuti oleh provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, DI. Yogyakarta, dan DKI. Jakarta Gambar 83. Berdasarkan simulasi neraca produksi
beras dari tahun 2005-2025 Gambar 84, produksi beras di Jawa diprediksi akan surplus hingga tahun 2025 apabila diterapkan standar konsumsi beras 110-140
kgkapitath. Pada penerapan standar konsumsi beras 110-140 kgkapitatahun tersebut, kebutuhan beras per tahun masih belum melampaui potensi produksi
beras sekitar 23 juta ton. Simulasi neraca beras ini bermakna bahwa pulau Jawa diprediksi akan dapat berswasembada beras hingga tahun 2025 apabila luasan
lahan sawah sebesar 3,101,354 ha dapat dipertahankan tidak dikonversi menjadi non-pertanian, walaupun standar konsumsi beras nasional tetap
dipertahankan sebesar 139.15 kgkapitatahun seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pada saat ini. Apabila standar konsumsi beras dapat ditetapkan
menjadi 110 kgkapitatahun, pulau Jawa diyakini akan berswasembada atau mengekspor beras. Seperti yang telah dibahas di bab 4, standar konsumsi beras
110 kgkapitatahun atau setara dengan kandungan energi 1,130 kkaloranghari dinilai optimal untuk konsumsi beras di Indonesia karena kandungan energinya
telah memenuhi standar Pola Pangan Harapan Nasional PPHN, yaitu 50 dari
231 kebutuhan energi 2,200 kkaloranghari dari kelompok padi-padian Hardinsyah et
al., 2001. Pada pembahasan di bab 4 juga telah dikemukakan bahwa produksi aktual
padi sawah di Jawa belum pernah mencapai produksi potensial 35.4 juta ton GKG. Hingga tahun 2008, produksi aktual baru mencapai 32.35 juta ton GKG.
Walaupun demikian, peluang pulau Jawa untuk berswasembada beras masih terbuka. Selain dengan menerapkan kebijakan penurunan standar konsumsi
beras dari 139.15 kgkapitath menjadi 110 kgkapitath dan pelarangan konversi
Gambar 83. Potensi produksi padi sawah berdasarkan zona agroekologi
2 4
6 8
10
A S
1 IP
300 B
S 1
IP 200
C S
1 IP
10 D
S 2
IP 30
E S
2 IP
200 F
S 2
IP 100
G S
3 IP
300 H
S 3
IP 20
I S3
IP1 00
Zona Agroekologi
P ro
u d
u k
s i
j u
ta t
o n
G K
G
Banten DKI Jakarta
Jawa Barat Jawa Tengah
DI Yogyakarta Jawa Timur
Gambar 84. Simulasi neraca produksi beras di Jawa 2005-2025
Tahun
2005 2010
2015 2020
2025
Penduduk
128.470.256 134.357.700
141.585.700 146.508.900
151.468.000
Tahun
2005 2010
2015 2020
2025
Penduduk
128,470,256 134,357,700
141,585,700 146,508,900
151,468,000
5 10
15 20
25 30
2005 2010
2015 2020
2025
Tahun
K e
b u
tu h
a n
B e
ra s
J u
ta t
o n
Konsumsi beras 140 kgkapth Konsumsi beras 130 kgkapth
Konsumsi beras 120 kgkapth Konsumsi beras 110 kgkapth
Potensi produksi beras: 23 juta ton
232 lahan sawah, peluang pulau Jawa dapat berswasembada beras masih
dimungkinkan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pengelolaan lahan sawah seperti yang telah dibahas di bab 6. Kebijakan pengelolaan lahan tersebut
meliputi 1 pembangunan dan perbaikan irigasi, 2 penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi, 3
pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu, 4 pemberian subsidikredit usahatani, 5 peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, 6 revisi peta
RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif, 7 pengendalian jumlah penduduk, 8 pemberdayaan petani dan Poktan melalui kaderisasi petani dan peningkatan
ketrampilan bertani serta reforma agraria, dan 9 usahatani bersama. Harapan untuk mewujudkan pulau Jawa dapat berswasembada beras akan lebih diyakini
keberhasilannya apabila kebijakan-kebijakan pengelolaan lahan tersebut dipadukan dengan program Pengelolaan Tanaman Terpadu PTT padi sawah
yang dikemukakan oleh Zaini et al. 2009. Konsep PTT padi sawah ini berlandaskan pada lima hal, yaitu 1 varietas unggul baru, inbrida atau hibrida,
2 benih bermutu dan berlabel, 3 pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami atau bentuk kompos atau pupuk kandang, 4 pengaturan
populasi tanaman secara optimum, 5 pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara, dan 6 pengendalian organisme pengganggu tanaman
OPT dengan pendekatan PHT. Penggunaan varietas unggul seperti pada konsep PTT padi sawah tersebut
mempunyai peluang baik untuk mewujudkan swasembada beras karena potensi produksi beras berdasarkan zona agroekologi dalam penelitian ini menggunakan
varietas padi Ciherang yang banyak ditanam oleh petani di Jawa. Varietas padi unggul yang berpotensi meningkatkan produksi padi di Jawa disajikan pada
Tabel 50. Mengingat kontribusinya dalam produksi beras cukup besar 55, maka
terganggunya produksi beras di Jawa dikhawatirkan dapat memperlemah ketahanan pangan nasional, terutama dari aspek ketersediaan pangan. Untuk
mencegah kondisi buruk ini, keberlanjutan produksi beras di Jawa perlu dijaga, yakni dengan mengimplementasikan semua kebijakan-kebijakan pengelolaan
lahan sawah seperti yang telah dikemukakan. Implementasi kebijakan-kebijakan
233 Tabel 50. Daftar varietas padi unggul Suprihatno et al., 2009
Nama Varietas Padi
Potensi Hasil tonha
Ketahanan Hama dan Penyakit Tanaman
Ciherang 8.5
Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak tahan biotipe 3, tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV
Padi hibrida Maro 9.5
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV
Padi hibrida Rokan 9.0
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3, rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV
Padi hibrida Hipa 3 11.0
Agak rentan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII
Padi hibrida Hipa 4 10.0
Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar daun bakteri strain IV dan VIII
Padi hibrida Hipa 5 Ceva
18.4 Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2, agak tahan terhadap hawar
daun bakteri strain IV dan VIII, agak tahan terhadap penyakit tungro Padi hibrida Hipa 6
Jete 10.6
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 2 , agak rentan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV, rentan terhadap penyakit tungro
Padi hibrida Hipa 7 11.4
Rentan terhadap wereng coklat biotipe 3, agak rentan terhadap hawar daur bakteri strain IV dan VIII, tahan terhadap virus tungro
Padi hibrida hipa 8 10.4
Rentan terhadap wereng ciklat biotipe 3
untuk memantapkan ketahanan pangan dimaksud hanya memerlukan politcal will dari pemerintah karena permasalahan keberlanjutan lahan sawah sudah jelas
teridentifikasi dan kebijakan solusinya beserta peraturan perundang-undangnya sudah tersedia, seperti UUPR dan UUPLPPB. Untuk memantapkan ketahanan
pangan yang berkaitan dengan keberlanjutan lahan sawah di Jawa, Khudori 2009 mengkritik ketidakpedulian pemerintah untuk menangani berbagai
permasalahan yang cenderung memperlemah ketahanan pangan, seperti 1 masih tingginya pola konsumsi beras dan ketergantungan hampir semua perut
penduduk negeri ini pada beras, 2 prestasi menerapkan Pola Pangan Harapan PPH mengalami stagnasi sejak tahun 1980-an, 3 keengganan pemerintah untuk
melindungi petani dari gempuran pasar global, 4 implementasi kebijakan diversifikasi pangan tidak konsisten, bahkan kontradiktif, 5 pola konsumsi dan
penyediaan produksiketersediaan pangan warga tidak seimbang, 6 sistem distribusi pangan tidak efisien yang dicerminkan oleh tingginya perbedaan harga
riil price margin di tingkat produsen petani dan konsumen, 7 liberalisasi sektor pangan kebablasan. Permasalahan liberalisasi ini, tidak menyadarkan
pemerintah kalau harga pangan di pasar dunia bersifat distortif karena subsidi yang diberikan di negara-negara maju sangat besar. Di Amerika, pemerintah
mensubsidi pertanian 48.4 miliar dolar AS per tahun, sedang di Uni Eropa 110.3 miliar euro per tahun.
234 Rendahnya subsidi dari pemerintah kepada petani terlihat jelas pada
produksi padi di Jawa. Adanya HPP untuk padi membuat kesejahteraan petani semakin terpuruk. Belum pernah terjadi petani padi sawah menjadi semakin kaya.
Harga HPP padi mempersempit ruang gerak petani untuk menjual hasil panennya dengan keuntungan yang memadai. Dalam kehidupannya sebagai petani,
usahatani yang dijalani sepertinya bersifat tambal sulam karena keuntungan yang diperoleh pas-pasan. Kondisi yang memilukan ini tidak menggugah pemerintah
untuk peka mengatasinya. Pemerintah nampaknya tutup mata terhadap keterpurukan kehidupan petani. Kondisi ini merupakan masalah utama yang
melatarbelakangi ditetapkannya rekomendasi kebijakan pemberian subsidikredit usahatani dalam penelitian ini menempati prioritas pertama. Penerapan kebijakan
faktor ekonomi dalam pemberian subsidikredit usahatani, yang diikuti dengan peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, dan peninjauan kembali
terhadap peta RTRW serta pemberian insentif dan disinsentif kepada petani merupakan faktor kunci keberhasilan untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah
yang dapat membawa pulau Jawa berswasembada beras dan berdampak positif kepada kesejahteraan petani.