211 Gambar 77. Hasil perhitungan bobot kriteria dan alternatif kebijakan dengan AHP
Tujuan: Mewujudkan Pertanian Lahan Sawah Berkelanjutan
Berdasarkan Zona Agroekologi 1.00
Biofisik 0.246
Ekonomi 0.455
Sosial-Budaya 0.298
A 0.030
B 0.121
C 0.182
D 0.030
E 0.121
F 0.182
G 0.030
H 0.121
I 0.182
K 0.478
ZAE ZAE
ZAE ZAE
ZAE ZAE
ZAE ZAE
ZAE
Keterangan:
K : Pembangunan dan perbaikan irigasi
L : Penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi
M : Pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu
N : Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran
O : Pemberian subsidikredit usahatani
P : Revisi RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif
Q : Pengendalian jumlah penduduk
R : Usahatani bersama
S : Pemberdayaan petani Poktan dan reforma agraria
L 0.344
M 0.178
N 0.324
O 0.415
P 0.261
Q 0.411
R 0.258
S 0.331
A 0.114
B 0.114
C 0.114
D 0.114
E 0.114
F 0.114
G 0.114
H 0.114
I 0.114
A 0.156
B 0.031
C 0.063
D 0.063
E 0.156
F 0.188
G 0.031
H 0.156
I 0.156
A 0.118
B 0.118
C 0.118
D 0.118
E 0.118
F 0.118
G 0.118
H 0.118
I 0.118
A 0.156
B 0.156
C 0.065
D 0.130
E 0.130
F 0.052
G 0.104
H 0.130
I 0.078
A 0.218
B 0.206
C 0.059
D 0.103
E 0.118
F 0.029
G 0.097
H 0.147
I 0.021
A 0.111
B 0.111
C 0.111
D 0.111
E 0.111
F 0.111
G 0.111
H 0.111
I 0.111
A 0.111
B 0.111
C 0.111
D 0.111
E 0.111
F 0.111
G 0.111
H 0.111
I 0.111
A 0.111
B 0.111
C 0.111
D 0.111
E 0.111
F 0.111
G 0.111
H 0.111
I 0.111
212 Tabel 45. Penerapan kebijakan faktor biofisik berdasarkan zona
agroekologi
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan
Lahan Sawah Nilai
Bobot Zona Agroekologi
Prioritas nilai bobot
Kondisi irigasi Pembangunan dan per-
baikan irigasi K 0.478
1. Zona C, F, dan I 0.182 2. Zona B, E, dan H 0.121
3. Zona A, D, dan G 0.030
C-organik, N-total, P- tersedia, K-tersedia
rendah, dan keterse- diaan air
Penambahan unsur hara berimbang dan keter-
sediaan air minimum untuk pertum buhan padi
L 0.344
Zona A, B, C, D, E, F, G, H, dan I 0.114
Serangan hama dan penyakit tanaman
Pengendalian hama dan penyakit tanaman terpa-
du M 0.178
1. Zona F 0.188 2. Zona A, H, I 0.156
3. Zona C dan D 0.063 4. Zona B dan G 0.031
yaitu 0.182. Ketiga zona agroekologi lahan sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan. Perbaikan saluran irigasi diprioritaskan di zona A S1IP300, zona
B S1IP200, zona D S2IP300, zona E S2IPIP200, zona G S3IP300, dan zona H S3IP200; yang kesemuanya merupakan sawah irigasi. Tujuan
penetapan kebijakan pembangunan dan perbaikan irigasi ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2001 Pasal 2 tentang Irigasi, yaitu untuk
mewujudkan kemanfaatan air yang menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani.
Kebijakan penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi Kebijakan L dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh indikator kandungan C-organik tanah, indikator N-total, indikator P-tersedia, dan indikator
K-tersedia, serta indikator ketersediaan air. Penetapan kebijakan penambahan unsur hara berimbang dapat mengacu pada pemupukan berimbang, sedangkan
ketersediaan air minimum mengacu pada konsep konservasi tanah dan air. Berdasarkan pada hasil penelitian ini, kebijakan tersebut harus diterapkan di
semua zona agroekologi lahan sawah, tanpa kecuali, karena semua zona memiliki nilai bobot sama, yaitu 0.114.
Cakupan wilayah kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
213 Implementasi kebijakan pemupukan berimbang dapat mengacu pada konsep
yang telah dijelaskan oleh Setyorini et al. 2004, seperti pada Tabel 46. Menurut mereka, pemupukan berimbang adalah pemberian pupuk ke dalam tanah untuk
mencapai status semua hara esensial seimbang sesuai kebutuhan tanaman dan optimum untuk meningkatkan produksi dan mutu hasil, meningkatkan efisiensi
pemupukan, kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Pemupukan berimbang ini mengkombinasikan pupuk organik dan anorganik.
Penerapan takaran pupuk berimbang memerlukan data hasil analisa tanah, terutama unsur hara P dan K, dan analisa tanaman. Untuk takaran pupuk organik,
Pramono 2004 menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa pemberian pupuk organik dalam bentuk kompos dengan dosis 1000 kgha dapat meningkatkan
produktivitas padi sawah. Penggunaan pupuk organik ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia. Selain itu, seperti yang
dijelaskan oleh Karama et al. 1990, penambahan bahan organik pada tanah sawah dapat meningkatkan kapasitas tukar kation KTK, meningkatkan daya
sangga tanah, dan penyedia sumber energi utama bagi aktivitas jasad renik. Mengingat begitu pentingnya peranan bahan organik, maka penambahan bahan
organik pada tanah sawah yang kesuburannya mulai menurun menjadi sangat penting untuk menjaga kelestarian sumberdaya tanah.
Tabel 46. Kelas status hara P dan K tanah sawah serta rekomendasi pemupukannya Setyorini et al., 2004
Kelas Status Hara
Kandungan Hara HCl 25 Rekomendasi Pupuk
P2O5 K2O
SP-36 kgha
KCl kgha mg100g
mg100g -Jerami
+Jerami Rendah
20 10
100 100
50 Sedang
20 - 40 10 - 20
75 50
Tinggi 40
20 50
50
Implementasi konservasi tanah dan air diarahkan untuk memperbaiki kondisi ekosistem DAS bagian hulu, tengah, dan hilir. Arsyad 2008
menjelaskan bahwa pengelolaan air di bagian hulu DAS dimaksudkan untuk menjaga agar tanah tidak rusak dan fungsi hidrologisnya tidak hilang, dengan
214 melakukan konservasi tanah, yaitu upaya menggunakan tanah sesuai dengan
kemampuannya dan memberikan perlakukan sesuai dengan sifat dan kualitas tanahnya. Seperti yang telah disebut sebelumnya, pengelolaan air pada lahan
dengan kelas kemampuan lahan VI, VII, dan VIII lereng 30 dapat diterapkan melalui penanaman vegetasi permanen dengan pohon-pohon hutan penghutanan.
Pengelolaan air di bagian tengah dan hilir DAS, tempat sebagian besar pemakaian air terjadi, bertumpu pada kebijakan dan upaya mengefisienkan pemakaian air,
yang lebih banyak memerlukan metode konservasi air. Untuk mengefisienkan pemakaian air pada lahan sawah dapat diterapkan irigasi macak-macak atau irigasi
berselang Subagyono et al., 2004. Nurrochmad 2007 melaporkan hasil penelitiannya tentang penerapan irigasi berselang yang dapat menghemat
pemakaian air 33.8, apabila dibandingkan dengan pemberian air irigasi dengan penggenangan yang selama ini dipraktekkan oleh petani.
Kebijakan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu dimaksudkan untuk mengendalikan serangan hama dan penyakit agar produki tanaman padi
tidak merosot atau gagal panen. Pengendalian hama terpadu PHT adalah pengendalian hama yang menggunakan semua teknik dan metode yang sesuai
dalam cara-cara yang seharmonis-harmonisnya dan mempertahankan populasi hama di bawah tingkat yang menyebabkan kerusakan ekonomi di dalam keadaan
lingkungan dan dinamika populasi spesies hama yang bersangkutan Smith, 1983; dalam Oka, 2005. Walaupun prioritas penanganannya menempati urutan ke-3,
kebijakan ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah. Berdasarkan hasil survei lapangan, serangan hama tanaman padi sawah di Jawa
terbanyak disebabkan oleh hama wereng batang coklat. Menurut Ismail 2010, serangan hama wereng batang coklat terhadap padi sawah semakin meningkat.
Sampai bulan Mei 2010, luas sawah yang terserang hama wereng tercatat 26,008 ha. Provinsi Jawa Barat merupakan daerah terkena serangan wereng paling parah,
yaitu mencapai 15,223 ha, kemudian diikuti provinsi Jawa Tengah 3,654 ha, Jawa Timur 2,091 ha, dan Banten 8,555 ha. Penyebab serangan hama wereng coklat
tersebut diduga dipicu oleh benih padi hibrida, kesalahan pemakaian pestisida, perubahan iklim yang semakin tak menentu, penanaman padi yang tidak serentak,
dan kelalaian petani memberantas serangan wereng. Untung 2010, dalam Ismail,
215 2010 menyarankan agar petani membatasi penggunaan varietas yang peka hama
khususnya hibrida dan harus jeli terhadap pengunaan jenis pestisida. Kebijakan untuk menangani serangan hama dan penyakit tanaman tersebut sesuai dengan
ketentuan yang diamanatkan dalam UUPR Pasal 3 butir c, yaitu terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan
akibat pemanfaatan ruang. Keseriusaan pemerintah untuk menerapkan PHT ini didasarkan atas Instruksi Presiden No. 3 tahun 1986 untuk merespon kasus
mengganasnya wabah wereng di Jawa Tengah yang menyerang sekitar 75 ribu ha tanaman padi sawah pada tahun 1986 Oka, 2005. Pokok-pokok yang
terkandung dalam Instruksi tersebut meliputi 1 pengembangan sumberdaya manusia pada tingkat para petani sendiri dan para petugas lapangan melalui
pelatihan-pelatihan, 2 menghindari pencemaran lingkungan oleh pestisida, termasuk menjaga kesehatan para pelaku produksi petani dan masyarakat dari
dampak-dampak negatif penggunaan pestisida, 3 lebih meningkatkan efisiensi masukan-masukan dalam berproduksi, dan 4 pelarangan penggunaan 57 jenis
insektisida yang terbukti selalu atau sesekali menimbulkan resirjensi atau yang diantisipasi akan menimbulkan resirjensi. Hasil analisis AHP dari penelitian ini
Tabel 41 menyarankan agar penerapan kebijakan pengendalian hama dan penyakit tanaman terpadu diprioritaskan di zona F S2IP100, kemudian diikuti
zona A S1IP300, H S3IP200, I S3IP100; zona C S1IP100 dan D S2IP300; serta zona B S1IP200 dan G S3IP300.
6.4.1.2 Kebijakan Faktor Ekonomi
Hasil analisis kebijakan dengan AHP Tabel 47 menunjukkan bahwa kebijakan pemberian subsidikredit usahatani menempati urutan pertama bobot
0.415, kemudian disusul oleh peningkatan posisi tawar petani dalam penawaran bobot 0.324, dan revisi peta RTRW dan pemberian insentif dan disinsentif
bobot 0.261. Hasil analisis dalam penelitian ini memberikan makna penerapan setiap kebijakan untuk diprioritaskan di zona agroekologi yang berbeda-beda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pemberian subsidikredit usahatani memegang peran paling utama untuk mengatasi permasalahan
keberlanjutan faktor ekonomi. Penerapan kebijakan pemberian subsidi dan kredit lebih utama diprioritaskan di lahan sawah irigasi dengan kelas kesesuaian lahan
216 sangat sesuai, seperti zona A S1IP300 dan B S1IP200 dengan nilai bobot
0.156. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani dan perolehan keuntungan yang rendah. Berdasarkan hasil
survei di lapangan, subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada petani, misalnya dalam harga pupuk, dirasakan masih sangat kurang. Bahkan yang
sering terjadi di lapangan adalah tingginya harga pupuk karena permainan para spekulan. Selain itu, pemberian subsidi kepada petani juga untuk
mengkompensasi harga padi yang ditetapkan oleh pemerintah HPP yang masih rendah. Keberhasilan penerapan kebijakan ini memerlukan dukungan penuh dari
sektor perbankan untuk dapat lebih berpihak kepada petani sebagai pemeran sangat penting untuk menjaga kelangsungan produksi beras.
Tabel 47. Penerapan kebijakan faktor ekonomi berdasarkan zona agroekologi
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan
Lahan Sawah Nilai
Bobot Zona Agroekologi
Prioritas nilai bobot
Perolehan Keuntungan rendah
Peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran
N 0.324
Zona A, B, C, D, E, F, G, H, I 0.118
Modal usahatani kecil Pemberian subsidikredit
usahatani O 0.415
1. Zona A dan B 0.156 2. Zona D, E, dan H 0.130
3. Zona G 0.104 4. Zona I 0.072
5. Zona C 0.065 6. Zona F 0.052
Konversi lahan Revisi RTRW dan pemberi-
an insentif dan disinsentif P 0.261
1. Zona A 0.218 2. Zona B 0.206
3. Zona H 0.147 4. Zona E 0,118
5. Zona D 0.103 6. Zona G 0.097
7. Zona C 0.059 8. Zona F 0.029
9. Zona I 0.021
Selain kebijakan pemberian subsidikredit usahatani, kebijakan peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran juga penting untuk mengatasi permasalahan
keberlanjutan faktor ekonomi. Kebijakan yang harus diberlakukan di semua zona agroekologi ini karena memiliki nilai bobot sama 0.324 dimaksudkan untuk
meningkatkan daya jual padi dengan harga yang layak. Saat ini, posisi tawar
Cakupan wilayah kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
217 petani dalam pemasaran hasil panennya di daerah penelitian masih sangat lemah
karena tergantung pada harga HPP yang rendah, yaitu sekitar Rp 2,500,-kg GKG. Berdasarkan wawancara dengan para petani di lapangan, peran DOLOG untuk
membeli hasil panen padi petani masih belum optimal. Banyak diantara petani menjual padi hasil panennya kepada tengkulak pedagang beras, bukan langsung
ke DOLOG. Menurut Nuryanti 2005, rendahnya posisi tawar petani disebabkan oleh panjangnya jalur distribusi komoditas padi. Untuk mengatasi kondisi ini,
penetapan harga padi sesuai dengan kondisi pasar merupakan solusi alternatif yang perlu dikaji oleh pihak-pihak terkait dan peran DOLOG dapat ditingkatkan
agar petani dapat memperoleh keuntungan yang memadai. Walaupun menempati urutan prioritas ke-3, kebijakan untuk merevisi
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RTRW provinsi dan pemberian insentif dan disinsentif kepada petani sangat penting untuk menjaga keberlanjutan lahan
sawah dalam jangka panjang. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengatasi ancaman konversi lahan sawah menjadi non-sawah. Kebijakan untuk melindungi
lahan sawah dari ancaman konversi lahan sawah ini didukung oleh UUPR Pasal 3 butir c terwujudnya perlindungan fungsi ruang, UUPR Pasal 22 perencanaan
tata ruang wilayah provinsi mengacu pada daya dukung dan daya tampung lingkungan, UUPR Pasal 35 pengendalian pemanfaatan ruang melalui penetapan
peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Hasil analisis pada Tabel 47 juga menunjukkan bahwa kebijakan revisi
peta RTRW Provinsi, pemberian insentif, dan disinsentif untuk lebih diprioritaskan di lahan sawah produktif yang terancam konversi lahan. Zona
agroekologi lahan sawah yang paling besar terancam konversi lahan dimaksud adalah zona A S1IP300, zona B S2IP200 dan zona H S3IP200, yang
ketiganya merupakan lahan sawah produktif yang diunggulkan sebagai penopang produsen padi di Jawa. Pemberian insentif dan disinsentif dimaksud telah diatur
pada UUPR Pasal 38 ayat 2 dan 3. Pemberian insentif dalam pemanfaatan ruang dapat berupa a keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan,
sewa ruang, dan urusan saham; b pembangunan serta pengadaan infrastruktur; c kemudahan prosedur perizinan; dan atau d pemberian penghargaan kepada
masyarakat, swasta danatau pemerintah daerah UUPR Pasal 38 ayat 2.
218 Pemberian disinsentif dapat berupa a pengenaan pajak yang tinggi, b
pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. Hasil overlay antara peta ZAELS dan RTRW Provinsi Gambar 78
menunjukkan bahwa distribusi lahan sawah produktif yang berada di kawasan budidaya, permukiman dan lindung secara berurutan adalah 2,695,204 ha 87,
393,739 ha 12.7, dan 12,412 ha 0.4. Peruntukan kawasan permukiman di lahan sawah produktif terluas berada di provinsi Jawa Timur 148,251 ha; 38,
kemudian diikuti oleh provinsi Jawa Tengah 112,257 ha; 29, Jawa Barat 102,688 ha; 26, DI Yogyakarta 18,212 ha; 5, dan Banten 12,331 ha; 3.
Peruntukan kawasan lindung pada lahan sawah di setiap provinsi sangat kecil 10,000 ha atau 1. Hasil penelitian ini memberikan makna bahwa hampir
13 lahan sawah produktif di Jawa terancam terkonversi menjadi daerah permukiman. Ancaman konversi lahan sawah produktif ini berpotensi
mengakibatkan kehilangan produksi padi sekitar 4.5 juta ton GKGth atau 3 juta ton berasth Tabel 48.
Rencana pengalokasian daerah permukiman di lahan sawah produktif ini bertentangan dengan kebijakan penataan ruang yang diatur dalam UUPR Pasal 3
butir c terwujudnya perlindungan fungsi ruang, UUPR Pasal 22 perencanaan tata ruang wilayah provinsi mengacu pada daya dukung dan daya tampung
Gambar 78. Distribusi lahan sawah produktif pada pola pemanfaatan ruang peta RTRW Provinsi
0.0 0.2
0.4 0.6
0.8 1.0
B ant
en D
K I J
ak ar
ta Jaw
a B ar
at Jaw
a T eng
ah D
I Y og
ya ka
rta Jaw
a T im
ur
Provinsi L
u as
ju ta h
a
Kaw asan Budidaya Kaw asan Permukiman
Kaw asan Lindung
219 Tabel 48. Prediksi produksi beras di lahan sawah produktif yang terancam
terkonversi menjadi kawasan permukiman
Zona Agroekologi
Luas ha
Produktivitas
1
tonha Intensitas
Pertanaman Produksi Padi
ton GKG th Produksi
Beras
2
tonth A S1IP 300
2,862 6.02
a
3 51,689
33,598 B S1IP 200
296,948 6.02
a
2 3,575,252
2,323,914 C S1IP 100
4,465 6.02
a
1 26,881
17,473 D S2IP300
811 5.64
b
3 13,720
8,918 E S2IP 200
17,132 5.64
b
2 193,246
125,610 F S2IP 100
6,001 5.64
b
1 33,844
21,999 G S3IP300
764 5.23
c
3 11,992
7,795 H S3IP 200
63,772 5.23
c
2 667,058
433,588 I S3IP 100
984 5.23
c
1 5,145
3,344 Total
393,739 -
- 4,578,826
2,976,237 Keterangan:
1
Sumber data dari BPS 2003-2008, a,b,c : berbeda sangat nyata P 0,01
2
Produksi beras = 0,65 x Produksi padi = 0.65 x Luas x Produktivitas x Intensitas Pertanaman
a Peta Pola Pemanfaatan Ruang pada RTRW Provinsi
b Peta zona agroekologi lahan sawah
Kawasan Permukiman
Zona A S
1
IP 300 Kawasan Budidaya
Kawasan Lindung
Gambar 79. Contoh alokasi kawasan permukiman dialokasikan di lahan sawah produktif: zona A S1IP300.
220 lingkungan, dan PP-RTRWN Pasal 66 kawasan peruntukan pertanian ditetapkan
dengan kriteria memiliki kesesuaian lahan. Hasil penelitian ini membuktikan pendapat Isa 2006 tentang adaya indikasi kuat konversi lahan sawah irigasi
melalui mekanisme RTRW Provinsi. Zona agroekologi lahan sawah produktif yang terancam oleh konversi lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagaimana yang diatur dalam UUPLPPB Pasal 5. Lahan sawah yang termasuk LPPB dilindungi dan dilarang dialihfungsikan
UUPLPPB Pasal 44 ayat 1. Untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah, konversi lahan sawah menjadi
kawasan permukiman harus dicegah karena konversi lahan tersebut bersifat permanen atau irreversible Sumaryanto et al., 2001; Rustiadi et al., 2008.
Karena lahan sawah bersifat multifungsi, yaitu sebagai produsen padi dan pemberi jasa atau manfaat terhadap lingkungan biofisik, sosial-budaya, dan ekonomi
Irawan et al., 2004, maka lahan sawah dapat juga dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama Common Pool Resource, CPR. Sehingga, rencana
konversi lahan sawah menjadi kawasan permukiman berpotensi menimbulkan dampak negatif yang bersifat multidimensi. Karakteristik sumberdaya CPR yang
rentan terhadap overuse, free rider, dan opportunistik dapat menjadi pemicu masalah kelembagaan dalam penataan ruang, yang dapat mengakibatkan
degradasi berbagai sumberdaya dan kegagalan pasar market failure. Untuk mengatasi masalah pengelolaan CPR seperti yang terjadi dalam penelitian ini,
para pemangku kepentingan perlu melakukan dialog dalam proses perencanaan pengalokasian sumberdaya Adams et al., 2001, dalam hal ini adalah proses
perencanaan RTRW. Gerber et al. 2008 mengemukakan bahwa pengelolaan CPR memerlukan kebijakan terpadu dari instansi-instansi terkait di tingkat pusat
dan daerah karena pemanfaatan sumberdaya ini bersifat terbatas substractibility atau ada persaingan rivalness dan tidak bisa dieksklusifkan.
6.4.1.3 Kebijakan Faktor Sosial-Budaya
Hasil analisis kebijakan sosial-budaya dengan AHP Tabel 49 menunjukkan bahwa kebijakan pengendalian jumlah penduduk bobot 0.411 adalah paling
penting untuk mengatasi permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang
221 disebabkan oleh penguasaan lahan, fragmentasi lahan, usia petani yang lanjut, dan
pendidikan petani rendah. Kebijakan pemberdayaan petani dan kelompok tani, dan reforma agraria bobot 0.331, dan usahatani bersama bobot 0.258
menempati prioritas kedua dan ketiga. Semua alternatif zona agroekologi untuk pemilihan prioritas wilayah penerapan ketiga kebijakan tersebut memiliki nilai
bobot yang sama, yaitu 0.111. Hasil analisis AHP ini memberi makna tentang tidak adanya skala prioritas zona agroekologi untuk penerapan kebijakan
pengelolaan lahan sawah dimaksud. Semua wilayah persawahan di Jawa disarankan untuk menerapkan ketiga kebijakan ini, tanpa kecuali.
Tabel 49. Penerapan kebijakan faktor sosial-budaya berdasarkan zona agroekologi
Permasalahan Kebijakan Pengelolaan
Lahan Sawah Nilai
Bobot Zona Agroekologi
Prioritas nilai bobot
- Penguasaan lahan - Fragmentasi lahan
- Persepsi petani terhadap harga padi HPP
- Pendidikan petani rendah Usia lanjut
Pengendalian jumlah penduduk Q
0.411 Zona A, B, C, D, E,
F ,G, H, I 0,111 Usahatani bersama R
0.258 Pemberdayaan petani
Poktan dan reforma agraria S
0.331
Kebijakan pengendalian jumlah penduduk pada hakekatnya merupakan faktor kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam
pertanian lahan sawah, karena peningkatan jumlah penduduk adalah pemicu awal dari timbulnya semua permasalahan baik dari faktor lingkungan biofisik, ekonomi,
dan sosial budaya. Keberhasilan pengendalian jumlah penduduk dalam jangka panjang diprediksi dapat menekan permasalahan ketimpangan penguasaan dan
fragmentasi lahan yang berperan sebagai penyebab penurunan kesejahteraan petani, khususnya para petani penggarap yang berpenghasilan pas-pasan
marginal. Putra 2009b mengemukakan bahwa kebijakan pengendalian jumlah penduduk tersebut dapat dilakukan dengan menggalakkan kembali program
keluarga berencana KB yang saat ini kurang bergema seperti pada era orde baru. Upaya untuk menggalakkan program KB tersebut dapat dilakukan dengan
Cakupan wilayah kabupaten untuk setiap zona agroekologi disajikan pada Lampiran 17
222 membuat semboyan “Dua Anak Cukup” seperti yang sukses digalang oleh Prof.
Dr. H. Haryono Suyono, MA semasa pemerintahan Orde Baru. Kebijakan penting lainnya untuk menjaga keberlanjutan pertanian lahan
sawah adalah pemberdayaan petani dan kelompok tani Poktan, serta reforma agraria. Kebijakan pengelolaan lahan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi
permasalahan keberlanjutan lahan sawah yang disebabkan oleh tingkat pendidikan petani yang rendah, keterbatasan sumberdaya manusia usia produktif, penguasaan
dan fragmentasi lahan. Kebijakan pemberdayaan petani untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani dalam usahatani dapat melalui penyuluhan
dan kaderisasi petani. Selain meningkatkan pengetahuan petani, kebijakan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat ”cinta bertani” pada anggota
keluarga rumah tangga petani secara berkelanjutan. Melalui kebijakan pemberdayaan petani seperti ini diharapkan dapat menarik generasi muda untuk
berprofesi sebagai petani secara profesional. Kebijakan pemberdayaan Poktan lebih diarahkan untuk mengatasi kesulitan akses yang dialami oleh petani dalam
memperoleh sarana produksi terutama pupuk, adopsi teknologi, pemasaran produksi, dan lain-lain. Seperti yang dibahas di bab sebelumnya, banyak para
petani di beberapa wilayah di semua provinsi kesulitan memperoleh pupuk disebabkan oleh tidak dijualnya pupuk di pasar bebas. Petani hanya dapat
membeli di kelompok tani Poktan yang ada. Ironisnya, tidak semua wilayah perdesaan lahan sawah memiliki Poktan yang dapat melayani kebutuhan pupuk
para petani. Kebijakan pemberdayaan Poktan ini dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi Poktan sebagai fasilitator agar dapat mempermudah
petani memperoleh berbagai kebutuhan sarana produksi, terutama pupuk. Kebijakan pemberdayaan petani dan Poktan akan lebih mantap apabila
disertai reforma agraria. Melalui kebijakan reforma agraria, permasalahan ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan dimungkinkan dapat diatasi
dengan menata ulang ketimpangan struktur penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan tanah kearah berkeadilan Temenggung, 2008.
Prinsip berkeadilan dari reforma agraria ini bersinergi dengan prinsip pertanian berkelanjutan yang dikemukakan oleh Gibs 1986, dalam Sabiham, 2008.
Tujuan mulia dari reforma agraria tersebut, namun demikian, sampai saat ini
223 masih belum dapat diwujudkan karena berbagai kendala. Masalah pokok yang
menghambat pelaksanaan reforma agraria yang mencakup land reform dan access reform, terutama yang berkaitan dengan distribusi pemilikan dan penguasaan
lahan adalah tidak tersedianya data keagrariaan yang lengkap dan akurat sebagai akibat belum adanya sistem kependudukan di suatu wilayah yang baik Jamal et
al., 2006. Karena ketimpangan penguasaan lahan merupakan masalah mendasar yang dapat menghambat terwujudnya pertanian lahan sawah berkelanjutan dan
merupakan amanat dari UUPA Pasal 7 ayat 2, Pasal 17 ayat 2, Undang- undang Nomor 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10
ayat 3 dan 4; maka penerapan kebijakan reforma agraria mutlak memerlukan political will dari pemerintah dan dukungan lembaga legislatif agar progam
tersebut dapat dilaksanakan secara nasional. Melalui kebijakan ini, ketimpangan penguasaan dan fragmentasi lahan dapat dicegah atau prinsip keadilan dalam
pendistribusian sumberdaya dan kekuasaan dapat dicapai, dan tingkat kesejahteraan petani atau harkat martabat sosial petani dapat ditingkatkan. Untuk
mengimplementasikan reforma agraria tersebut, Nasoetion 2006 mengemukakan bahwa reforma agraria harus sejalan dengan dinamika perkembangan sosial,
politik, dan ekonomi Indonesia. Kebijakan usahatani bersama cooperative farming dimaksudkan untuk
mengatasi permasalahan ketidakberdayaan petani dalam melakukan usahatani melalui mekanisme usahatani dengan pendekatan konsep bottom-up policy.
Konsep usahatani bersama ini telah diusulkan oleh Nuryanti 2005 untuk memperkecil kelemahan yang dihadapi petani padi dan palawija, seperti lemah
dalam permodalan, lahan garapan yang sempit, usahatani hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga subsisten dan belum berorientasi pasar, dan lemahnya
lembaga ekonomi desa. Model usahatani, seperti yang dijelaskan oleh Nuryanti 2005, merupakan
model pemberdayaan petani melalui kelompok, dengan melakukan rekayasa sosial, ekonomi, teknologi, dan nilai nilai tambah. Rekayasa sosial dapat
dilakukan dengan penguatan kelembagaan tani, penyuluhan, dan pengembangan SDM. Rekayasa ekonomi dilakukan dengan pengembangan akses permodalan
untuk pengadaan saprodi dan akses pasar. Rekayasa teknologi dapat dilakukan
224 dengan pencapaian kesepakatan teknologi anjuran dengan kebiasaan petani.
Rekayasa nilai tambah dilakukan melalui pengembangan usaha off farm yang terkoordinasi secara vertikal dan horisonal. Dalam model usahatani tersebut,
stakeholder yang terlibat antara lain petani, swasta, dan pemerintah. Petani akan bertindak sebagai anggota sekaligus sebagai pengelola. Sebagai anggota, petani
harus berpartisipasi secara aktif dalam perencanaan usaha on-farm dan off-farm, serta menyepakati teknologi yang akan dilaksanakan dan menerapkan teknologi
tersebut. Pihak swasta berperan sebagai investor melalui jaringan kemitraan cooperative farming dari sub-sistem hulu sampai hilir. Sebagai sub-sistem hulu,
pihak swasta menanamkan modal dengan menyediakan saprodi pertanian, seperti benih, pupuk, dan obat-obatan. Sebagai mitra sub-sistem hilir, pihak swasta
bertanggungjawab sebagai penampung produksi dan mitra pemasaran. Pihak pemerintah akan bertindak sebagai fasilitator sekaligus katalisator dalam kegiatan
perencanaan, penyusunan strategi usaha, introduksi teknologi yang efisien, pengadaan modal, serta fasilitator dalam pemasaran Gambar 80.
Karena pendekatannya yang memihak kepada kepentingan petani, penerapan kebijakan usahatani bersama akan dapat memperdayakan posisi petani yang pada
umumnnya merupakan petani penggarap yang memiliki lahan sempit 0.3 ha. Gambar 80. Model usahatani bersama berbasis padi sawah
Modifikasi dari Nuryanti, 2005
Pengelolaan Usahatani Bersama
Swasta Pemerintah
Pengelolaan Parsial Berdasarkan Kesepakatan
On-Farm Off-Farm
50 -100 ha Pengelolaan
Korporasi - Pengolahan
hasil - Pemasaran
Pengelolaan Korporasi
- Permodalan - Sarana mekanisasi
Petani Dukungan
Saprodi dan Pelayanan
Pengumpulan dan Penjualan
Hasil
225 Melalui usahatani bersama, para petani yang berlahan sempit dapat berkelompok
untuk membentuk sistem pengelolaan secara korporasi, sehingga sistem produksi usahatani akan lebih efisien daripada sistem usahatani yang dilakukan secara
individual. Model usahatani bersama ini juga dimungkinkan untuk diterapkan dalam suatu keluarga tani yang secara parsial memiliki lahan yang sempit.
Dengan menerapkan usahatani bersama, para petani dalam satu keluarga dapat menggabungkan sistem pengelolaan usahataninya secara korporasi. Keuntungan
dari model usahatani bersama ini adalah untuk mencegah fragmentasi lahan karena sistem waris.
6.5 Kesimpulan dan Saran 6.5.1 Kesimpulan
1. Zona agroekologi lahan sawah dapat digunakan sebagai acuan lokasi
penerapan kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang wilayah dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah.
2. Kunci keberhasilan untuk mewujudkan pertanian lahan sawah berkelanjutan
di Jawa lebih dominan ditentukan oleh kebijakan untuk mengatasi permasalahan faktor ekonomi daripada kebijakan untuk mengatasi
permasalahan faktor sosial-budaya dan faktor lingkungan biofisik. Secara berurutan, kebijakan prioritas untuk mengatasi faktor ekonomi meliputi
pemberian kredit dan subsidi usahatani, peningkatan posisi tawar petani dalam pemasaran, dan revisi peta RTRW Provinsi dan pemberian insentif
dan disinsentif kepada petani. Untuk mengatasi permasalahan faktor sosial-budaya, kebijakan pengendalian penduduk berperan paling penting
apabila dibandingkan dengan penerapan kebijakan pemberdayaan petani dan kelompok tani, reforma agraria maupun usahatani bersama. Kebijakan
pembangunan dan perbaikan saluran irigasi serta konservasi tanah dan air berperan paling penting untuk mengatasi permasalahan lingkungan biofisik,
apabila dibandingkan dengan kebijakan penambahan unsur hara berimbang dan ketersediaan air minimum untuk pertumbuhan padi serta pengendalian
hama dan penyakit tanaman terpadu. Penentuan wilayah prioritas untuk
226 penerapan setiap kebijakan pengelolaan lahan tersebut sebagian besar
dipengaruhi oleh karakteristik zona agroekologi lahan sawah.
6.5.2 Saran
1. Implementasi kebijakan pengelolaan lahan sawah untuk mendukung
penataan ruang wilayah dalam rangka menjaga keberlanjutan lahan sawah harus dikoordinasikan dengan para pemangku kepentingan. Faktor kunci
untuk menjaga keberlanjutan lahan sawah tersebut pada hakekatnya terletak pada pengaturan kelembagaan. Kegagalan dalam pengaturan kelembagaan
harus dihindari karena dapat mengakibatkan kesejahteraan hidup petani menjadi semakin marginal.
2. Karena lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai
sumberdaya milik bersama, maka peninjauan peta RTRW Provinsi perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi pemerintah terkait baik di tingkat
pusat maupun daerah. Koordinasi antar instansi tersebut terutama dimaksudkan untuk menyelaraskan proses perencanaan pengalokasian pola
ruang untuk peruntukan pertanian dan permukiman agar tidak tumpang tindih.
3. Pola pemanfaatan ruang pada peta RTRW Provinsi di Jawa disarankan
untuk dapat ditinjau ulang. Karena lahan sawah memiliki multifungsi yang dapat dikategorikan sebagai sumberdaya milik bersama, maka peninjauan
peta RTRW Provinsi tersebut perlu dikoordinasikan dengan instansi-instansi pemerintah terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk peninjauan
RTRW Provinsi dimaksud, kelembagaan kabupaten, kecamatan, dan desa perlu difungsikan.
4. Peta zona agroekologi lahan sawah dari hasil penelitian ini disarankan dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi di Jawa dalam hal perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Untuk perencanaan tata ruang, peta zona agroekologi lahan sawah dapat digunakan sebagai acuan
penetapan kawasan budidaya untuk peruntukan pertanian pada peta RTRW Provinsi. Untuk pemanfaatan ruang, peta zona agroekologi lahan sawah
227 dapat digunakan sebagai acuan penetapan luasan kawasan lahan pertanian
pangan berkelanjutan untuk ketahanan pangan. Untuk pengendalian pemanfaatan ruang, peta indeks keberlanjutan lahan sawah sebagai peta
turunan dari peta zona agroekologi dapat digunakan sebagai perangkat untuk memantau tingkat keberlanjutan lahan sawah dari ancaman kepunahan
yang dipicu oleh faktor biofisik, ekonomi, dan sosial-budaya.