Rancangan Kebaruan Penelitian Kerangka Pemikiran .1 Rasional

15

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Lahan Sawah

Sistem usahatani lahan sawah di Jawa telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu Adiningsih et al., 2004; Soemarwoto, 2008. Teknologi sistem usahatani di Jawa pertama kali diperkenalkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989. Budaya Dong Son tersebut mewariskan sistem usaha tani lahan sawah dalam hal pengolahan tanah dengan kerbau Buffalo-trampling, penanam padi tipe bulu, dan penggunaan ani-ani untuk panen padi. Pengaruh sistem usahatani lahan sawah budaya Dong Son ini kemudian beralkulturasi dengan budaya India pada abad ke-9. Kedatangan budaya India mewariskan teknologi pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak dan penggunaan sabit untuk panen Poniman, 1989. Lombard 1990b mengemukakan bahwa pembukaan lahan persawahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur diawali pada abad ke-8 dan ke-13, sedangkan di daerah – daerah Pasundan Jawa Barat baru dibuka secara sistimatis pada abad ke-17 dan ke-18. Sejarah awal mula persawahan di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya prasasti tentang Tanggul Banjir Harinjing di desa Kepung, di wilayah Sungai Brantas, tertanggal 726 Tahun Caka atau 808 M Angoedi, 1984, dalam Gani, 2006. Pada zaman Mojopahit abad ke-14, lahan sawah di Jawa sangat dilindungi. Perlindungan daerah persawahan ini tertuang dalam kitab Negarakertagama yang ditulis Pangeran Wengker, paman Hayam Wuruk, yaitu: ”Anda hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan pedesaan pradesa, bendungan situ, jalanan damarga, bangunan dari batu gerha. Semua karya karya yang berguna itu harus dirawat dengan baik”. Pada masa itu berlaku hukum adat: Barangsiapa membiarkan sawah terbengkelai, harus dianggap bersalah dan membayar denda sebanyak harga beras yang dihasilkan tanah seluas itu. Pada zaman Jawa kuno tersebut, sistem irigasi pembagian air telah diterapkan di lembah Brantas, Jawa Timur. Sistem irigasi kuno lainnya juga dikembangkan, seperti: 1 di hulu Kali Konto yang bersumber di lereng-lereng Gunung Kawi dan mengalir ke Barat sampai bermuara di kali Brantas sebelah Utara Kertosono yang dibangun pada tahun 804 16 pada masa kerajaan Daha di Kediri, 2 di hulu Kali Pikatan yang mengalir dari lereng-lereng Gunung Welirang dan mengalir ke Barat Laut sampai bermuara di Kali Brangkal, satu anak sungai Kali Brantas yang dibangun pada awal abad ke- 10 pada masa pemerintahan Mpu Sendok, kerajaan Singasari. Pada masa akhir kerajaan Mojopahit tahun 1489, Raja Girindrawardana membangun sistem irigasi besar di Selatan Kali Porong di kaki Gunung Penanggungan di sebelah Timur Mojokerto. Pada masa kerajaan Mataram akhir abad ke-16 – awal abad ke-19, lahan persawahan dikembangkan ke arah Barat, sejajar dengan jalan islamisasi di sepanjang wilayah pesisir dari Giri ke Demak, lalu dari Demak ke Cirebon dan Gambar 5. Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15 Sumber: Lombard, 1990b 17 Banten. Pada masa itu, pembangunan pertanian mendapat perhatian serius. Laporan perjalanan duta Van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan luasnya daerah persawahan dengan saluran irigasi yang dibuat dari batu. Di Mataram para penguasa kebanyakan mempunyai kali kecil yang disalurkan melintasi rumah mereka. Nama sebuah ”bendungan” untuk mengingatkan pentingnya pengairan dicatat di keraton Sultan Agung dan Amangkurat I, yaitu di Plered. Pada masa kesultanan, beras merupakan komoditi ekspor utama selain tembakau yang dikirim ke Sulawesi atau Penang Malaysia. Pada masa itu pula, mulai muncul industri pengrajin tenun, batik, pembuatan garam, gula aren, industri ”kertas jawa” dluwang yang dibuat dari kulit jayu pohon rumbai tertentu. Akibatnya, muncul kegiatan sektor ekonomi yang menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Sementara itu, pemerintahan terus berupaya meningkatkan pemasukan dari pajak. Kemajuan itu tampaknya mendukung perkembangan hak milik, yang membawa akibat munculnya golongan sosial baru, yaitu golongan sikep orang-orang terkemuka yang menguasai tanah. Golongan itu tidak diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa, yang mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa Lombard, 1990b. Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda – Orde Lama 1965, lahan sawah di Jawa mulai tertekan karena peningkatan jumlah penduduk. Untuk mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, pada awal abad 20 pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan program transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk Jawa ke pulau-pulau lain. Setelah kemerdekaan, kepemilikan lahan sawah di Jawa menjadi semakin terpecah-pecah karena semakin banyaknya tuan-tuan tanah. Pada tahun 1963, kepemilikan lahan sawah petani gurem di Jawa adalah 0,637 ha Lombard, 1990b. Pada masa orde lama, kedaulatan pangan menghadapi masalah. Pada masa demokrasi terpimpin itu, pemerintah mengabaikan ketersediaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibat terjadinya kelangkaan produksi beras yang dipasok oleh lahan sawah inilah yang menjadi penyebab kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965 Modjo, 2009. Pada masa Orde Baru tahun 1966-1998, pemerintah mengintesifkan penerapan revolusi hijau, yaitu dengan mencanangkan berbagai program