Hak Sumberdaya Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta

Pengelompokan barang baik merujuk Musgrave maupun Samuelson menjadi sangat penting terutama dalam pengelolaan sumberdaya, khususnya ketika menganalisis konteks aksi bersama collective action serta merumuskan aksi yang perlu dilakukan komunitas atau elemen kelembagaan lainnya. Olson 1965 dalam konteks public goods bahkan secara tegas menyatakan pengelompokan barang menjadi exclusive public goods dan inclusive public goods. Artinya dalam konteks barang-barang domain publik pun dapat dipilah kembali mana yang bersifat exclusive maupun inclusive. Hal ini akan menentukan siapa individu, kelompok, organisasi atau bahkan pemerintah yang dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut dan yang tidak,karena adanya konsepsi siapa yang termasuk kelompok inklusif maupun yang eksklusif. Ostrom mengidentifikasi dalam kaitan dengan perilaku aksi bersama, dengan memperhatikan klasifikasi Musgrave dan Samuelson, mengelompokkan barang sumberdaya menjadi barang sumberdaya public goods, toll goods, private goods serta common pool resourcers Ostrom et al. 1994 yang tetap melihat dari tingkat degree excludability dan substractibility. Tingkat ekskludabilitas excludability melihat apakah barang tersebut dalam pemanfaatan mudah untuk membatasi atau menentukan siapa yang berhak dan tidak tidak berhak untuk menikmati manfaatnya. Sedangkan konsep substractibility merujuk apakah konsumsi oleh individu mengurangi atau tidak pada jatah orang lain atas manfaat barang atau sumberdaya tersebut. Matrik pengelompokan berdasar karakteristik tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.2 berikut. Tabel 2.2 Pengelompokan sumberdaya berdasarkan tingkat excludibility dan substractibility Excl ud abi li ty Subtractibility Rendah Tinggi Sulit Public Goods Common Pool Resources Mudah Toll Goods Private Goods Sumber : Ostrom 1994. Secara prinsip, pengelompokan ini masih merujuk pada konsep Olsen, Musgrave maupun Samuelson seperti telah disinggung sebelumnya. Sebab, penentuan siapa yang berhak dan bagaimana dampak konsumsi individu pada orang lain akan berdampak pada konsekuensi tindakan yang akan dilakukan oleh pihak lain. Pengelompokan ini misalnya melihat bahwa barang atau sumberdaya yang bila dikonsumsi oleh seorang menyebabkan berkurangnya jatah untuk konsumsi oleh orang lain tetapi sulit untuk menentukan siapa yang berhak atau tidak berhak untuk memanfaatkan benefit tersebut maka akan masuk dalam kelompok common pool resources. Sebaliknya, walaupun barang dengan karakteristik ekskludibilitasnya sulit dilakukan, tetapi kalau konsumsi seseorang tidak terlalu berpengaruh pada jatah konsumsi oleh orang lain dapat dikelompokkan menjadi barang publik public good. Demikian pula toll goods, menunjukan karakteristik barang atau sumberdaya yang dapat dengan mudah ditentukan siapa yang berhak untuk menikmatinya. Tetapi kalau orang yang berhak kemudian mengkonsumsi barang atau memanfaatkan sumberdaya tersebut, akan tidak secara nyata berpengaruh pada konsumsi oleh orang lain. Pengelompokan secara jelas dapat dilihat pada kelompok barang privat, dimana pihak yang berhak memanfaatkan mudah ditentukan tetapi konsumsi oleh individu yang berhak akan mengurangi jumlah yang tersisa untuk konsumsi orang lain. Pengelompokan sumberdaya, merujuk pada karakteristik fisiknya, dapat dipengaruhi jumlah quantity. Bila kuantifikasi tidak bisa dilakukan, juga dapat dipengaruhi oleh kualitas atau kombinasi keduanya, tergantung pada jenis pemanfaatanya. Sebagai contoh, ikan yang disumberdaya perairan misalnya danau dapat menjadi common pool resource, tetapi air danau bisa menjadi public good. Sebab jumlah ikan yang ditangkap oleh seorang nelayan pada kondisi tertentu dengan asumsi stok biomasa konstan dapat berpengaruh pada jumlah yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan lain secara nyata. Sedangkan sumberdaya air yang digunakan untuk budidaya dengan sistem karamba jaring apung, maka pada luasan dan volume tertentu yang belum terlalu padat dapat menjadi public good, namun tidak menutup kemungkinan akan bergeser menjadi common pool resources . Perlu dipahami dengan baik, konsep pengelompokan diatas ini menunjukan konsep karakateristik fisik barang atau sumberdayanya ditinjau terhadap pemanfaatan arus benefitnya. Pengelompokan ini tidak dimaksudkan untuk mengelompokan hak right atas barang atau sumberdaya tersebut Ostrom 2000 dalam Rudd 2004. Sebagai contoh common pool resources tidak selalu efisien bila dimanfaatkan dengan sistem common property right, mungkin juga private property right maupun bahkan state property right Rudd 2004. Sebab antara sistem kepemilikan property berbeda dengan karakteristik sumberdayanya. Dalam konteks yang lebih spesifik terdapat pengelompokan barang atau sumberdaya berdasarkan karakteristik fisik seperti diterangkan diatas public goods , toll goods, private goods serta common pool resourcers, system kepemilikan atau hak common property right, private property right, state property right serta tipe organisasi pengelolanya individuprivat, masyarakat, organisasi pemerintah. Menurut Holling 1973, karakteristik sumberdaya dalam hal siklus ekologis ecocycles tumbuh, membusuk, hancur release, reorganisasi dan tumbuh; dapat dianalisis dalam hal kecepatan, skala, dan keterkaitannya connectedness dari keseluruhan siklus ekologisnya. Dalam konteks sistem sosial-ekologi SES, sekarang ini hampir semua ekosistem, atributnya dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Persoalannya sebenarnya dalam pengelolaan sumberdaya adalah kepada siapa sebenarnya kita bisa mempercayakan trust fungsi-fungsi ekosistem dan penyediaan jasa-jasa ekosistem yang lestari Sandberg 2007. Dalam konteks kebijakan public, Randall 1983 dalam Beare dan Newby 2005 mengemukakan bahwa konsep exclusive dan non-exclusiveness, serta rivalry dan non-rivalry mencirikan karakteristik sumberdaya merupakan hal yang penting. Hak milik dan hak akses sumberdaya Tahap awal yang penting dalam mengalokasikan sumberdaya adalah menetapkan hak atau akses terhadap sumberdaya Grima dan Berkes 1989. Instrumen dasar yang digunakan adalah peraturan dan larangan, dimana bentuknya bisa berupa pajak, insentif, intervensi langsung pemerintah, asuransi atau manajemen khusus tertentu. Hak atas sumberdaya dapat dibedakan dari dasar perolehannya menjadi akses access dan hak milik property right Sikor dan Lund 2006; Ribot dan Peluso 2003. Akses mendapatkan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hanya didasarkan pada kemampuan ability, yang menggambarkan kekuatan a bundle of power . Kepemilikan didasarkan pada hak right sesuai dengan klaim yang diakui. Sehingga kepemilikan menggambarkan adanya hak yang diakui a bundle of right , baik secara legal-formal, maupun informal Sikor dan Lund 2006; Ribot dan Peluso 2003; Ostrom 2002. Secara sederhana, kepemilikan property adalah hubungan antar aktor sosial terkait dengan nilai suatu objek von Benda-Beckman et al. 2006 dalam Sikor dan Lund 2006, dimana aktor sosial bisa individu atau kelompok. Hal ini menunjukan bahwa “kepemilikan” menunjukan pada klaim yang bisa dilakukan atas pemakaian atau benefit dari satu benda Mc Person 1973 dalam Sikor dan Lund 2006; Ostrom 2002; Gibbs dan Bromely 1989. Untuk menghilangkan kesalahpahaman konsep common property resource, maka perlu dibedakan antara konsep sumberdaya dan regim pengelolaan Berkes dan Farvar 1989. Pada konteks regim kepemilikan, secara umum sumberdaya yang bersifat common- property resource dibedakan dalam bentuk : open access, communal property, state property dan private property. Scott 2008 menyatakan bahwa setiap hak kepemilikan property mempunyai enam karakteristik yaitu ekslusivitas exclucivity, durasi duration, fleksibiltas flexibilty, kualitas hak quality of title , dapat dipindahkan transferability dan dapat dibagi divisibility. Ekslusivitas menunjukan adanya kemandirian dari pemegang hak milik, yang menunjukan adanya kebebasan pemilik dari hilang atau biaya yang timbul atas adanya intervensi pihak lain. Ekslusivitas menunjukan dua hal yaitu : a pengurangan atau pelanggaran dari intervensi fisik terhadap pemilik hak ata pemanfaatan sumberdaya yang menyebabkan mereka harus berbagi share dengan pemilik lainnya, dan b menunjukan tingkat kemandirian atau kebebasan pemilik sumberdaya dari aturan pemerintah yang dapat mengurangimembatasi pemanfaatan sumberdaya. Durasi dapat diukur dengan lamanya waktu hak milik yang memberi hak dalam tiga bentuk kepemilikan pengelolaan, penguarangan atau menerima manfaat atas sumberdaya. Dalam persepsi hukum modern, hak kepemilikan sederhana yang bebas free-simple tenure bersifat tidak terhingga atau permanen. Penyewaan leases, lisensi licences dan kepemilikan yang lain bersifat waktu tertentu determinate, terbatas pada waktu yang disetujui sesuai transaksi persetujuan privat atau persetujuan legislasi bagi pemilik sumberdaya publik atau negara. Durasi dapat dilihat dalam 2 cara, yaitu : a. Menunjukan periode waktu tertentu dimana pemilik hak milik dapat melakukan kegiatan yang berdampak perbaikan atau mengurangi sumberdaya seperti penanaman pohon atau bahkan penambangan barang tambang. b. Mengukur periode waktu dimana orang kedua harus menunggu sampai pemanfaat pertama selesai menguasainya. Fleksibilitas menunjukan tingkat sampai dimana kekuatan power dan kewajiban obligation bagi pemilik tanpa mengurangi kualitas kepemilikan. Bila pemilik tidak mempunyai fleksibilitas zero flexibility, maka pemilik tidak mempunyai pilihan terhadap tiga bentuk kepemilikan three of ownership yaitu pengelolaan management, pengurangan disposal dan menerima penghasilan atau manfaat. Bila terdapat fleksibiltas, maka pemegang hak dapat melakukan renegosiasi aturan selama masa kepemilikannya. Mungkin salah satu bentuk yang sangat fleksibel adalah ijin atau lisensi untuk memanfaatkan lahan milik publik atau sumberdaya akses terbuka open access resources yang hanya melalui kekuatan peraturan pemerintah yang dapat mengurangi tingkat fleksibiltas tersebut. Kualitas kepemilikan pada tingkat tertentu menunjukan sebuah hak untuk membuktikan menjamin terhadap klaim kepemilikan orang lain. Kualitas kepemilikan secara umum dianggap penting untuk pengelolaan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, karena dapat meyakinkan pemilik untuk mendapatkan hak mendapatkan imbalannya atas meningkatnya kualitas sumberdaya Scot 2008. Tetapi dampak dari kualitas kepemilikan biasanya sangat berhubungan dengan durasi kepemilikan, dimana faktanya perampasan mengurangi masa kepemilikan. Kepemilikan yang berkualitas tinggi akan memberikan keyakinan pada pemegang hak bahwa dia dapat menjaga atau meningkatkan kepemilikannya. Berdasarkan sejarahnya, maka kualitas kepemilikan dipengaruhi oleh tiga kondisi yaitu : legitimasi, kemampuan implementasinya enforceability dan kebebasan dan jaminan dari pengambil alihan secara paksa seizure oleh pemerintah. Kualitas kepemilikan quality of title pada tingkat tertentu menunjukan sebuah hak untuk membuktikan menjamin terhadap klaim kepemilikan orang lain. Kualitas kepemilikan yang baik secara umum diasumsikan penting untuk pengelolaan berkelanjutan dan meningkatkan kualitas lahan sumberdaya, karena dapat meyakinkan pemilik hak mendapatkan imbalannya atas meningkatnya kualitas sumberdaya. Tetapi dampak dari kualitas kepemilikan biasanya sangat berhubungan dengan durasi kepemilikan, dimana perampasan pada faktanya mengurangi masa kepemilikan. Kepemilikan yang berkualitas tinggi akan memberikan keyakinan pada pemegang hak bahwa dia dapat menjaga atau meningkatkan kepemilikannya. Pemindahan hak transferability juga disebut sebagai alienability. Meningkatnya transferability akan meningkatkan kepemilikan, dimana pemilik dapat mewariskan, memperdagangkan atau menjual sebagian dari sumberdaya miliknya. Dalam literatur ekonomi, transferability merupakan satu aspek yang utama indispensable dari hak kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya. Pasar yang sempurna mensyaratkan adanya transferability yang sempurna. Namun demikian, transferability yang sempurna sangat jarang karena adanya halangan yang terkait dengan kebiasan adat custom, hukum laws dan kontrak contracts. Bahkan di Eropa, transferability merupakan penemuan modern, khususnya sejak abad ketujuh belas Scott 2008. Divisibility disebut juga sebagai partibility, fragmentability atau separability . Secara ekonomis, divisibility merupakan bagian subset dari transferability yang menunjukan kemampuan untuk mengalihkan sebagian dari hak milik. Biasanya konsepsi transferability dan divisibility sangat umum dalam konsep alokasi sumberdaya. Divisibility dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu : a horisontal, b vertikal dan c pemanfaatan ganda multiple-use. Pembagian secara vertikal termasuk pembagian secara temporal dari satu bagian oleh para pengusaha atau pemilik berikutnya. Pembagian secara vertikal menunjukan adanya klaim intertemporal antar satu dengan yang lainnya dengan konsepsi “time in the land”. Pembagian secara horizontal mengijinkan seorang pemilik untuk memecah hak miliknya menjadi bagian yang lebih kecil melalui penyewaan, pembelian, pemberian atau penjualan. Pemanfaatan ganda mulitiple-use divisibility adalah karakteristik yang memungkinkan seorang pemegang hak membagi kekuasaannya untuk menghasilkan hak yang terpisah pada setiap pemanfaatan lahan atau sumberdaya. Istilah hak kepemilikan property right atau hak akses access right tidak merujuk pada obyek fisik dari satu sumberdaya tetapi pada arus manfaat dan biaya yang ditimbulkan dari objek atau sumberdaya tertentu Sikor dan Lund 2006; Bromely 1991 dalam Bear dan Newby 2005; Ribot dan Peluso 2003; Gibss dan Bromely 1989. Sehingga hak kepemilikan merupakan aset finansial dari sebagian atau seluruh penerimaan dari produktivitas sumberdaya Bear dan Newby 2005. Teori ekonomi menyatakan bahwa hak kepemilikan privat digunakan untuk mendorong penggunaan sumberdaya secara efisien Jaffe dan Louziotis 1996, Posner 1973, Reeve 1986 dalam Musole 2009. Hal ini senada pernyataan Demzet 1986 dalam Musole 2009, hak kepemilikan awalnya digunakan untuk mengarahkan insentif untuk mendapatkan insentif internalisasi yang lebih besar dari eksternalitas. Secara umum tujuan dari hak kepemilikan adalah untuk menghasilkan insentif bagi pemanfaatan sumberdaya yang efisien secara meyakinkan telah berakar dalam tradisi ekonomi terkait dengan hak kepemilikan terhadap efisiensi ekonomi Musole 2009. Jafe dan Louziotis 1996 dalam Musole 2009 menyatakan bahwa adanya hak kepemilikan yang kuat akan mengurangi resiko dikemudian hari. Namun demikian, Fuentes-Castro 2009 juga menunjukan simulasi matematis yang menunjukan bahwa inefisiensi juga terjadi baik pada kondisi eksploitasi berlebih overexploited karena lemahnya sistem ekslusi atau eksploitasi yang masih dibawah standar underexploited karena kuatnya sistem ekslusi. Eksploitasi yang berlebih menunjukan para pihak yang mempunyai hak memanfaatkan tanpa dapat melakukan eksklusi pada pihak lain. Sedangkan eksploitasi dibawah kapasitas underexploited terjadi ketika banyak pihak yang mampu melakukan ekslusi, sehingga sedikit pihak yang dapat melakukan eksploitasi anticommon theory. Bagi komunitas yang merasakan dapat mempengaruhi atau terlibat dalam penyusunan kebijakan dan mempercayai pihak berwenang, maka mereka akan melakukan pembatasan pemanfaatan sumberdaya secara mandiri self-restricted resource use , bahkan pada kasus sumberdaya milik umum sekalipun Bouma dan Ansink 2013. Dua perasaan ini menjadi persepsi atas legitimasi kebijakan yang diambil terkait dengan pengelolaan sumberdaya dan hak-hak mereka. Sistem ekslusi Sistem pengelolaan sumberdaya berevolusi, khususnya terkait dengan dinamika masyarakat. Sistem ekslusi adalah sistem yang dikembangkan oleh masyarakat untuk menghalangi orang lain yang tidak berhak untuk mendapatkan arus manfaat dari sumberdaya. Ostrom 2002 menyatakan bahwa sejalan dengan kemajuan dan teknologi, eksklusifitas excludability satu individu atau kelompok masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya semakin mudah dilakukan. Pada jaman dulu, ide ini secara nyata dilakukan pada sumberdaya teresterial misalnya dengan pembuatan tembok pembatas. Pada sumberdaya perairan seperti danau, waduk besar, perairan umum, sungai atau laut, hal ini sangat sulit sampai pada kondisi sekarang untuk dibangun batas-batas fisik. Namun dengan kemajuan teknologi seperti remote sensing dan pemetaan, hal ini dapat dilakukan dengan batas-batas maya sehingga terbangun satu area hak dalam bentuk property right. Persoalan kegagalan pasar market failure selalu ditunjuk sebagai penyebab terjadinya eksternalitas dan konsumsi bersama collective consumption Zarbe dan McCurdy 1999 dalam Beare dan Newby 2005. Untuk mengatasi permasalah ini, kebijakan pemerintah yang disarankan terdiri dari tiga bentuk Beare dan Newby 2005. Dua diantaranya melalui mekanisme pasar yaitu pengaturan subsidi atau pajak seperti disarankan Pigou 1932 dan mencabut atau menarik hak kepemilikan seperti diajukan oleh Coase 1937. Sedangkan ketiga adalah bahwa konsumsi bersama dianggap sebagai barang public public good dimana motivasinya sebagai fasilitas provision pelayanan pemerintah Samuelson 1954. Akan tetapi menurut Bear dan Newby 2005 perdebatan para ahli justru sebaliknya melemahkan konsep-konsep tersebut, karena perbedaan pandangan akan konsep dan efektivitasnya. Dalam teori ekonomi, persoalan besar dalam alokasi sumberdaya selalu dihubungkan dengan terjadinya pasar yang tidak sempurna incomplete market atau bahkan esktrimnya ketiadaan pasar no market. Hal ini menyebabkan harga yang terjadi di pasar tidak menggambarkan biaya koranan yang sebenarnya atau bahkan tidak ada harganya. Pasar yang tidak sempurna terjadi ketika barang yang ditransaksikan bersifat komposit bersama atau satu atau lebih barang penyusunnya tidak ada pasarnya not traded. Menurut Beare dan Newby 2005, barang komposit tersebut terjadi karena tiga faktor utama. Pertama adalah diproduksi bersama jointness production, seperti polusi udara dan air. Kedua dikonsumsi bersama jointness consumption, seperti pengelolaan sampah. Ketiga terjadi baik karena konsumsi dan produksi bersama-sama, seperti pada sumberdaya dapat pulih seperti ikan, dimana produksi dan konsumsinya adalah sama. Ketidaksempurnaan pasar terjadi karena kegagalan atau ketidakmampuan kelembagaan pasar untuk menetapkan hak kepemilikan tertentu secara efesien pada barang komposit atau penyusunnya. Ketidakmampuan menentuk hak milik property right, menyebabkan barang-barang tersebut bersifat non-exclusive. Sehingga mendorong terjadinya alokasi sumberdaya yang tidak efisien misallocation, misalnya terjadinya eksploitasi berlebihan. Tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh karakteistik sumberdaya yang bersifat rivalry dan non-rivalry juga berpengaruh pada terjadinya barang komposit. Namun Grima dan Berkes 1989 mengingatkan bahwa allokasi sumberdaya lebih menitik beratkan konsep akses dan pemanfaatan sumberdaya, bukan hak pada sumberdaya itu sendiri. Beare dan Newby 2005 menyatakan, secara umum kebijakan untuk mendorong terjadinya pasar yang lebih sempurna dalam pemanfaatan sumberdaya, akan sangat ditentukan oleh karakteristik sumberdaya dilihat dari sistem ekslusi exclusiveness dan persaingan penggunaannya rivalry. Oleh karenanya faktor exclusiveness dan rivalry perlu diperhatikan dalam pengelolaan sumberdaya Ostrom 2002. Mosimane dan Aribeb 2005 menyatakan bahwa konsep hak milik akan berguna ketika diikuti oleh eksklusifitas yang kuat. Beare dan Newby 2005 menyatakan, sistem ekslusi yang didasarkan oleh sistem hak yang kuat, akan terfleksikan dalam harga. Sehingga mekanisme pasar akan berjalan sempurna. Menurut Hall et al. 2011 dasar kemampuan eksklusi exclusion power dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu : 1 basis pasar, 2 kekuatan tertentu yang memaksa dan 3 regulasi pemerintah yang semuanya mendukung legitimasi. Efektivitas penerapa sistem ekslusi tersebut tergantung terpenuhinya prasyarat tersebut atau tidak, sebab setiap sistem mempunyai prasyarat yang berbeda. Mosimane dan Aribeb 2005 menunjukan bahwa sistem eksklusi terhadap sumberdaya juga dapat dikembangkan berbasis keanggotaan kelompok membership pada pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Untuk itu dibutuhkan pendefinisian wilayah dan sumberdaya, kelembagaan dan komunitas, yang semua dilakukan melalui sistem adatkebiasaan dan faktor-faktor sosial lainnya. Tubtim 2006 dalam Ruddle dan Satria 2010 menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat, juga berpotensi untuk menolak excluding kelompok lain, tanpa harus menimbulkan konflik. Faktor yang mendorong eksklusi juga dapat lebih dari satu yang berperan simultan. Tubtim 2006 dalam Ruddle dan Satria 2010 menyatakan terdapat satu kasus di Laos dimana penguasaan pengelolaan exclusive management wilayah perairan danau oleh satu komunitas tertentu yang pada musim awal bersifat inklusif, menjadi eksklusif bagi kelompok lainnya pada musim yang lain. Hal ini terjadi, karena disamping dipengaruhi oleh kepercayaan setempat, kesadaran masyarakat yang ditolak akan kebutuhan ekslusi bagi kelompok tersebut untuk membangun sekolah serta deklarasi dan dukungan dari pemerintah lokal. Hal yang lain adalah bahwa kelompok yang ditolak dapat menerima karena kelompok yang mempunyai hak tersebut mempunyai reputasi yang baik, dan mempunyai nilai yang sama bahwa kepemilikan kolektif sesuai dengan ideologi mereka. Kemampuan untuk menolak atau mengeluarkan kelompok atau individu lain untuk akses sumberdaya juga dapat dipengaruhi ole posisi individu dalam kelembagaan yang diakui oleh masyarakat. Foale dan Macintyre 2000 mendapatkan bahwa daya eksklusivitas dalam sistem masyarakat Nggela Barat di Kepulauan Solomon-Melanesia terkait dengan sistem adata tenurial laut, juga sering dipengaruhi oleh pengaruh individu yang menduduki posisi tertentu dalam kelembagaan adat, gereja atau pemerintahan. Sehingga menyebabkan satu individu menjadi orang kuat big man dan mampu untuk menghalangi atau menolak pihak lain untuk mendapatkan manfaat. Kemampuan ini menunjukan adanya kemampuan tertentu yang mampu memaksa orang lain untuk tidak memperoleh akses terhadap sumberdaya, seperti diungkap oleh Hall et al. 2011. Sitem tenurial merujuk pada siapa yang memiliki dan boleh memanfaatkan jenis sumberdaya apa dan dalam jangka waktu berapa lama Sunderline et al. 2008, sehingga merupakan salah satu sistem eksklusi. Secara umum sekarang terjadi persaingan antara tenurial sistem adat dan legal statutory tenurial. Berbeda dengan sistem adat yang berbasis hukum adat, sistem tenurial statutorial didasarkan pada keputusan negara state dan dikodifikasi dalam sistem hukum negara Sunderline et al. 2008. Sistem adat tenurial laut customary marine tenure =CMT adalah salah satu bentuk sistem pengelolaan berbasis masyarakat Hivding dan Ruddle 1991. Bennet 2012 menyatakan bahwa pada komunitas yang sudah tidak lagi memiliki sistem tenurial laut tradisional, akan mendapat tantangan besar oleh para pihak untuk mencapai tujuan pengelolaan sumberdaya laut yang lestari melalui pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Ciri khas sistem adat tenurial laut meliputi wilayah laut tertentu, akses terkontrol, pengawasan mandiri, dan penegakan peraturan dan regulasi oleh masyarakat dan pemimpin setempat. Sistem tradisional telah berevolusi selama bertahun-tahun dan secara umum mencakup larangan untuk penangkapan pada spesies atau lokasi tertentu Bennet 2012. Dalam konsep sistem adat tenurial laut, adat merujuk pada konsep hukum adat customary law, sementara tenurial tenure merujuk pada proses sosial atas aktivitas interaktif terkait dengan kontrol wilayah tertentu atau akses atas sumberdaya Bennet 2012. Sistem adat tenurial laut sangat khas, karena terdiri dari sejumlah aturan tak tertulis yang menjamin pengetahuan ekologis lokal yang menyatu dalam kultur mereka untuk mengelola akses kepada wilayah penangkapan dan stok sumberdaya Adaye, 2000 dalam Bennet, 2012. Walaupun sistem adat tenurial laut efektif, namun terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan sistem tersebut tidak berfungsi lagi sebagai dampak dari modernisasi dan kolonisasi. Sejumlah faktor sosial ekonomi tersebut meliputi : masuknya sistem ekonomi berbasis uang kas, peningkatan kapasitas penangkapan karena peningkatan teknologi, perubahan sosial, situasi politik dan demografi, melemahnya kekuatan tokoh dan penghargaan pada adat, agama dan pendidikan barat Bennet 2012. Sebenarnya pemanfaatan sumberdaya secara adat terbentuk dalam sistem kelembagaan dan prektek tradisional yang bertingkat-tingkat. Pada masa lampau pemanfaatan ini telah menjamin keadilan sosial, menegakan norma sosial melalui tekanan sosial, berbagi sistem nilai dan menentukan konsep kepemilikan dan wilayah dan juga menentuk peran laki-laki dan perempuan dalam komunitas perdesaan Bennet 2012. Pengembangan sistem tenurial lokal baik pada sumberdaya lahan maupun sumberdaya lainnya dapat mendorong investasi oleh masyarakat lokal pada sumberdaya dan lahan, mendorong akses kredit karena adanya jaminan kepemilikan, meningkat pasar sumberdaya lahan, menetapkan sistem ekslusi bagi competitor secara legal sehingga mengurangi konflik, mendorong pemanfaatan sumberdaya secara lestari dan mendukung transfer sumberdaya lahan dari satu generasi ke generasi selanjutnya secara legal Sunderline et al. 2008. Namun demikian Sunderline et al. 2008 menyatakan bahwa sekarang ini terjadi kecenderungan kesadaran pada negara-negara di dunia terhadap sistem tenurial adat, dan memberikan format baru pada sistem tenurial lega bagi masyarakat lokal indigenous people, masyarakat, individu dan swasta. Akan tetapi, dalam kasus sistem tenurial kehutanan, perkembangan reformasi sistem tenurial ini masih lambat karena beberapa faktor diantaranya adalah Sunderline et al. 2008 : terbatasnya kemampuan penegakan dan implementasi reformasi, sedikitnya kemajuan hak yang melengkapi reformasi tenurial, keinginan yang lebih besar pemerintah untuk memberikan konsesi industri dan konservasi dibanding kepada masyarakat, persaingan diantara masyarakat hutan dan kinerja pemerintah yang lemah dalam pengembangan reformasi.

2.3 Biaya Transaksi

Pada awalnya terminologi biaya transaksi transaction cost selama berabad-abad selalu dianalogikan dengan biaya transportasi dan selalu dikaitkan dengan adanya friksi Hardt 2009. Terminologi biaya transaksi transaction cost dimulai dengan ide Coase tahun 1937 Allen 1999 yang menyatakan masih diperlukan biaya walaupun sudah digunakan mekanisme harga. Williamson 1970 dalam Hardt 2009 kemudian memperjelas terminologi biaya transaksi yang dikaitkan dengan studi kelembagaan. Sehingga, Cheung 1998 dalam Musole 2009 menyebutkan sebagai biaya kelembagaan institutional cost. Biaya transaksi merupakan konsekuensi logis dari kesadaran dalam ilmu ekonimi bahwa variable sosial berpengaruh pada efisiensi ekonomis Rudd 2004. Hal ini juga kesadaran bahwa aktor manusia dan sosial tidak bisa dipisahkan dalam analisis efisiensi ekonomi dari beberapa bentuk tata kelola organisasi Williamson 1999 dalam Rudd 2004. Webster dan Lai 2003 dalam Musole 2009 menyebutkan bahwa biaya transaksi yang umum dinyatakan dalam literatur adalah biaya ekslusi, transaksi dan pengorganisasian. Sehingga kemudian dinyatakan sebagai biaya untuk memiliki dan menggunakan sumberdaya. Williamson 1985 dalam Musole 2009 menyatakan bahwa transaksi muncul ketika pemindahan barang dan jasa melewati titik pertemuan interface teknologi tertentu, ketika satu tahapan selesai sementara tahapan lainnya justru baru dimulai. Hal ini berbeda dengan Common 1934 dalam Musole 2009 justru melihat bahwa transaksi adalah pemindahan hak alienation dan akuisisi antar individu tentang hak barang fisik tertentu di kemudian hari. Musole 2009 menyatakan bahwa transaksi itu sendiri berasal dari beberapa bentuk seperti transaksi pertukaran exchange transaction, transaksi kontrak contract transaction dan transaksi dengan eksternalitas. Jenis-jenis transaksi tersebut bisa bersifat ex-ante sebelum adanya kontrak, tetapi juga bisa muncul ex- post setelah adanya kontrak. Terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh pada biaya transaksi, Sholtz 2001 dalam Musole 2009 menyatakan bahwa untuk mencapai suatu kontrak yang biasa saja, diawali usaha untuk memilih, mengorganisir, negosiasi,dan memasuki kontrak. Sehingga semua biaya yang timbul dari usaha-usaha tersebut adalah biaya transaksi, dimana sumbernya bisa bermacam-macam. Musole 2009 menyatakan, menurut para ahli, sumber biaya transaksi tersebut bisa : jumlah dan beragamnya para pihak agen, kompleksitas dan nilai hak yang dipertukarkan, teknologi yang tersedia, faktor kebijakan, kesulitan pemasarannya, besaran dan struktur transaksinya. Karena beragamnya konsep dan variasi biaya transaksi, maka memunculkan permasalahan dalam pengukuran biaya transaksi. Oleh karena itu pengukuran biaya transaksi dapat dikelompokan menjadi Klaes 2000 dan Allen 1999 dalam Musole 2009 : pendekatan objektif objectivist approach dan pendekatan subjektif subjectivist approach. Pendekatan objektif mengukur biaya transaksi dengan referensi harga pasar, yang pada umumnya dilakukan studi dari sisi finansial. Sedangkan pendekatan subjektif sering disebut sebagai pendekatan hak kepemilikan atau kelembagaan baru, mengukur biaya transaksi dengan mencoba untuk mendapatkan nilai perkiranaan kuantitatif yang memadai, dengan mencoba membuat ranking kualitatif suatu alternatif. Biaya transaksi ternyata sangat terkait dengan sistem hak kepemilikan property right. Allen dan Luek 2005 menyatakan bahwa analisis ekonomi kelembagaan baru NIE didasarkan pada premis bahwa biaya transaksi positif akan mendorong hak kepemilikan yang tidak sempurna incomplete property right . Sehingga, hal mendasar dari adanya biaya transaksi adalah bahwa hak kepemilikan harus terlindungi Allen 1997. Berdasarkan pendekatan hak kepemilikan, Allen 1991, 1999 menyatakan bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk menegakkan enforcing dan memelihara hak kepemilikan baik terjadi atau tidaknya mekanisme pasar, termasuk deadweight losses yang diakibatkan oleh penegakan hak kepemilikan. Oleh karenanya biaya transaksi lebih dari sekedar biaya dalam mekanisme pasar. Hak kepemilikan tersebut perlu ditegakkan dalam bentuk kontrak privat, melalui pengadilan atau pihak ketiga; atau melalui mekanisme pasar. Sehingga biaya transaksi mencakup pendekatan baik insentif mencegah terjadinya moral hazard secara tradisional maupun pengawasan dan penegakan aset yang dibagi bersama. Lebih spesifik Libecap 1986 dalam Musole 2009 menyatakan bahwa biaya transaksi meliputi biaya-biaya untuk bernegosiasi bargaining, menginformasikan, mengukur, menegakkan, dan membuat tindakan politik. Hal in juga sejalan dengan Farrubton dan Richter 2000 dalam Musole 2009 yang menyatakan adanya 1 biaya transaksi pasar, dan 2 biaya transaksi managerial dan 3 biaya transaksi politis. Biaya transaksi pasar adalah biaya yang timbul karena adanya kebutuhan informasi dan proses tawar-menawar untuk mencari informasi sebagai karakteristik pasar. Biaya ini terdiri dari i biaya penyiapan kontrak, ii biaya untuk menetapkan kontrak biaya pengambilan keputusan dan tawar-menawar, dan iii biaya untuk pengawasan dan penegakan kewajiban kontrak. Biaya transaksi manajerial merupakan biaya yang timbul untuk mencoba suatu perintah dalam organisasi. Biaya transaksi manajerial terdiri dari : i biaya untuk menyusun, memelihara dan merubah struktur manajemen perusahaan, ii biaya untuk menjalankan organisasi terdiri dari biaya informasi dan biaya untuk mengirimkan barang dan jasa diantara beberapa tempat yang terpisah. Biaya transaksi political yaitu biaya yang dikeluarkan terkait pelaksanaan dan adaptasi kelompok politik. Biaya ini tediri dari i biaya yang timbul untuk menyusun, memelihara dan merubah susunan organisasi politik formal maupun informal dan ii biaya untuk menjalan kelompok politik tertentu polity. Musole 2009 mengingatkan bahwa setiap biaya transaksi tersebut terdri dari dua kelompok, yaitu biaya tetap dan biaya variable. Kuperan et al. 1999 menyatakan bahwa dengan pendekatan konsep umum ekonomi biaya transaksi Williamson, maka biaya transaksi pada ko-manajemen sumberdaya perikanan dapat dikelompokan menjadi : 1 biaya pengumpulan informasi, 2 biaya pengambilan keputusan bersama dan 3 biaya operasional bersama. Biaya pengumpulan informasi dan pengambilan keputusan bersifat ex- ante , sementara biaya operasional bersama bersifat ex-post.

2.4 Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya

Analisis Kelembagaan Kelembagaan institution sangat penting baik bagi perikanan maupun bagi nelayan Jentoft 2004. Kelembagaan mengikat manusia, baik secara individu maupun sosial.Sehingga kelembagaan sangat penting bagi perikanan, pengelolaan sumberdaya dan pembangunan berkelanjutan. Namun demikian definisi dan konsepsi tentang kelembagaan sangat beragam diantara para ahli, dalam literatur sosial, yang masing-masing mempunyai titik perhatian dan mungkin saling tumpang tindih. Satu konsep menyatakan sebagian bagian dari budaya culture yaitu satu set kebiasaan habits, aturan rules dan nilai values Jentoft 2004. Elster 1989 dalam Jentoft 2004 sebaliknya menyatakan bahwa kelembagaan bukan hanya aturan, tetapi juga instrumen yang menjamin adanya kepatuhan, sehingga kelembagaan merupakan aturan yang menegakan mekanisme. Pendekatan lain menyatakan bahwa kelembagaan terkait dengan struktur organisasi. Hayami dalam Jentoft 2004 menyatakan bahwa organisasi memanfaatkan aturan agar berfungsi, dan sistem aturan dilaksanakan oleh masyarakat yang mengorganisasi agar berfungsi functioining body. Djogo et al. 2003 membuat batasan kelembagaan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama. Secara akademis, kelembagaan tidak bersifat uni-elemen, tetapi terkonstruksi atas sejumlah elemen yang mendukung performa kelembegaan. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah : institusi, norma tingkah laku, peraturan dan penegakan aturanhukum, aturan dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik property rights atau tenureship, organisasi, dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah players of the game dan aturan main rules of the game yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama Kartodiharjo dan Jhamtani 2006. Wadah atau organisasi dan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menjalankan organisasi menjadi hal yang tidak terpisahkan perlu mendapat perhatian yang sangat besar dalam pengembangan kelembagaan yang efektif. Artinya pengembangan kelembagaan tidak hanya mendasarkan pada pembentukan institusilembaga seperti halnya yang sering dipahami sekarang ini, tetapi juga menyangkut peraturan yang harus dan atau dapat dipatuhi oleh anggotanya, sehingga institusi tersebut dapat berperan secara efektif. Elemen-elemen seperti disebutkan diatas tidak hanya terdapat pada kelembagaan formal, tetapi juga pada kelembagaan informal. Perbedaanya terletak pada artikulasi elemen-elemen tersebut, sehingga dapat segera