Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta

terlibat dalam penangkapan. Agar proses ini dapat berjalan dengan baik, maka disamping memerlukan perhitungan berapa jumlah ikan yang dapat ditebar dan berapa yang akan ditangkap daya dukung ekologis, juga memerlukan analisis berapa jumlah individu yang dapat terlibat dan siapa saja daya dukung sosial ekonomis. Hal ini dilakukan, karena pola penangkapan yang diatur dengan input terbatas, merupakan hal baru di wilayah tersebut. Sehingga perlu dibangun sistem pemilahan siapa yang berhak dan tidak berhak dalam proses penangkapan melalui sistem ekslusi. Sistem eksklusi exclusion system, akan menentutkan siapa yang berhak terlibat dalam kegiatan perikanan tangkap dalam sistem sea ranching dan mengarahkan kelembagaan yang diperlukan dalam pengelolaan sea ranching ini. Dalam konteks sistem sea-ranching, Alban dan Boncoeur 2008 menyatakan aspek spasial menjadi salah satu hal kritikal. Bukan hanya pada sisi penangkapan terbatas dan penentuan areal tertentu yang bersifat demarcated, tetapi juga dalam wilayah yang sudah ditentukan perlu pengaturan kebutuhan ruang. Pada kegiatan marikultur terbatas berupa karamba pembesaran rearing bagi ikan yang tertangkap tapi belum sampai pada ukuran konsumsi, perlu pengaturan jumlah karamba, yang berimplikasi pada luasan yang. Sehingga perlu analisis berapa jumlah unit pembesaran yang dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan daya dukung ekosistem karang serta kebutuhan kegiatan penangkapan. Sehingga dalam sistem budidaya terbatas, disamping perlu analisis daya dukung lingkungan dengan faktor pembatas adalah ekosistem terumbu karang, juga perlu analisis bagaimana secara ekonomis masih dapat dilaksanakan tetapi secara sosial juga masih dapat diterima. Karena dari dua daya dukung tersebut akan menentukan bagaimana sistem pemilahan siapa yang berhak atau tidak berhak untuk melakukan budidaya terbatas dalam wilayah sea-ranching. Secara prinsip, hak terhadap sumberdaya menyangkut dua hal pokok, yaitu akses access dan hak kepemilikan property Ribot dan Peluso 2003. Bila hak terkait dengan adanya kemampuan ability untuk memperoleh benefit dari sumberdaya, sementara kepemilikan property terkait dengan adanya hak yang dilegitimasi baik formal maupun informal terhadap benefit atas sumberdaya. Dua hak tersebut mempunyai karakteristik dan implikasi yang berbeda terhadap perilaku pemanfaatan sumberdaya. Common 1968 dalam Schlagger dan Ostrom 1992 dengan melihat bahwa hak right sebagai implikasi dari aturan rules, menyatakan hak kepemilikan sebagai kewenangan authority untuk melakukan tindakan tertentu terkait dengan kepemilikan specific domain. Menurut Schlagger dan Ostrom 1992, hak individual dalam level operasional terkait dengan sumberdaya milik bersama common pool resource mencakup hak untuk memasuki wilayah access dan mengambil sumberdaya withdrawal. Tetapi individu yang telah mempunyai hak akses dan mengambil tersebut juga bisa terlibat dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan lebih lanjut dalam pengambilan keputusan kolektif collective choice untuk menentukan keputusan operasional. Hak ini mencakup hak pengelolaan management, hak pemilahan yang berhak exclusion dan hak pemindah tanganan hak kolektif alienation. Charles 2001 menyatakan bahwa hak kepemilikan property right dapat ditinjau dari dua sisi yaitu rejim dan tipe kepemilikan. Berdasarkan rejim hak kepemilikan, maka dapat dibedakan menjadi akses terbuka, negara, masyarakat dan swasta individu dan perusahaan. Sedangkan berdasarkan tipenya, hak kepemilikan dapat dikelompokan menjadi hak pengalihan, hak ekslusif, hak pengelolaan, hak pemanfaatan dan hak akses. Pada wilayah perairan Kepulauan Seribu telah diinisiasi kegiatan sea farming . Adrianto 2010 dalam Rudiyanto 2011 menyatakan bahwa tiga pilar kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung sea farming adalah hak penangkapan fishing right, insentif teknis ekonomi dan sosial, dan pengelolaan sumberdaya. Seperti halnya sea farming, sistem hak menjadi salah satu elemen penting yang dikembangkan dalam sistem sea ranching. Sebagai dasar rancangan sistem pemilahan exclusion system untuk menentukan siapa yang berhak atau tidak berhak untuk menikmati manfaat dari sistem sea ranching yang akan dikembangkan. Hall et al. 2011 menyebutkan bahwa dasar kemampuan memilah pemanfaat sumberdaya exclusion power dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu basis pasar, kekuatan tertentu yang memaksa dan regulasi pemerintah yang semuanya mendukung legitimasi. Efektivitas penerapa sistem pemilahan tersebut tergantung terpenuhinya prasyarat tersebut atau tidak, sebab setiap system tersebut mempunyai prasyarat yang berbeda. Salah satu indikator utama keberhasilan pengelolaan sumberdaya adalah adanya kelestarian sumberdaya. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian sumberdaya bersifat tak terbatas unlimited. Berdasar analisis terhadap karya Wade, Ostrom, Balland dan Platteau; Agrawal 2001 mendapatkan bahwa pada umunya keberhasilan pengelolaan sumberdaya ditentukan oleh 4 faktor yang terkait yaitu : a karakteristik sumberdaya, b kondisi kelompok masyarakat yang bergantung pada sumberdaya terebut, c rejim kelembagan tertentu yang digunakan untuk mengelola sumberdaya dan d kondisi hubungan antara kelompok masyarakat dengan faktor eksternal dan otoritas seperti pasar, pemerintah dan teknologi. Lane dan Stepenson 1995 menyatakan bahwa untuk pengelolaan sumberdaya perikanan kajian biologis perlu dikombinasikan dengan pertimbangan teknis, sosial, ekonomi untuk menganalisis sistem perikanan yang rumit. Gerber et al. 2008 menunjukan dengan kerangka kerja rejim kelembagaan sumberdaya IRR=Institutional Resource Regime, terdapat tiga hal sebagai susbsistem dalam analisis ini, yaitu 1 Pihak yang memanfaatkan dapat memperoleh hak sumberdaya untuk memperoleh akses terhadap manfaat sumberdaya, 2 Hak atas sumberdaya hanya dapat dilakukan apabila ada kelembagaan yang menjamin pemilik hak, dan 3 IRR ditambah dengan sistem nilai dan norma, dapat secara langsung berpengaruh terhadap kondisi sumberdaya. Parapihak yang memanfaatkan sumberdaya ini akan bertindak tertentu dan berinteraksi dengan pihak lain. Tindakan dan interaksi para pihak ini akan menentukan siapa parapihak dan pelaku actor serta wilayah arena aksi, yaitu aksi pemanfaatan sumberdaya. Tindakan dan interaksi ini akan sangat tergantung dengan norma, sistem nilai dan kesepakatan yang dibangun diantara para pihak. Arena aksi ini akan mempengaruhi pola interaksi, yang berdampak pada sumberdaya pesisir yang ada. Untuk menganalisis ini, maka dapat dilakukan analisis kelembagaan Institutional Analysis and Development = IAD Ostrom 1990, 1999; Rudd 2004. Rudd 2004 melakukan modifikasi pendekatan dan kerangka kerja IAD dan dikolaborasikan dengan kerangka kerja pressure-state- respon PSR untuk mengembangkan kebijakan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Modifikasi ini mencakup baik orientasi kerangka kerja mata pencaharian berkelanjutan secara struktural maupun kerangka kerja pressure- state-respon PSR untuk eksperimen kebijakan. Schlager dan Ostrom 1992 menyatakan bahwa hak right yang menggambarkan kewenangan, secara melekat juga mengidentifkasi kewajiban duties yang harus dilakukan oleh pemegang hak right holder. Agar hak dan kewajiban ini dapat dilaksanakan dengan baik, memerlukan rancana aturan main yang akan dilaksanakan rules-in-use. Sehingga dalam sistem sea ranching juga membutuhkan adanya sistem aturan. Untuk menjamin bahwa aturan tersebut dapat menjadi rujukan dalam sistem arena aksi, maka sistem aturan tersebut setidaknya mencakup aturan batasanmasuk, aturan positioning, aturan timbal balik, aturan informasi dan agregasi dan aturan cakupan dan pay-off. Aturan tetang tata batas boundary yang menentukan batas keluar-masuk dalam wilayah sea-ranching, akan dapat mengidentifikasi siapa yang terlibat participant dalam sistem ini. Keterlibatan ini dalam bentuk apa dan dalam posisi apa, sehingga selanjutnya perlu dirancang aturan posisikedudukan. Selanjutnya, aturan kedudukan ini akan mengidentifikasi kesepakatan seseorang harus bertindak sesuai dengan posisinya atau posisi ini juga akan menjadi dasar tindakan seseorang dalam sistem sea-ranching. Hal ini membutuhkan aturan kewenangan dan timbal baliknya authority and pay-off rule dari setiap individu yang terlibat. Keterlibatan ini harus dipahami oleh seluruh individu yang terlibat dalam sistem ini, sehingga perlu dibangun bagaimana aturan agregasi keterlibatan individu dan bagaimana alur informasi yang diperlukan. Aturan agregasi dan informasi kemudian akan ditransformasi kedalam hasil outcome sesuai dengan tujuan operasional pengembangan sea ranching. Untuk mencapai tujuan operasional, perlu sistem pelingkupan kegiatan dan timbal-baliknya scope and pay-off rules. Secara sistemik, sistem aturan ini akan menjadi panduan untuk mendorong kepatuuhan setiap para pihak dan keterlibatan peserta dalam sistem sea-ranching. Secara ringkas, kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 1.2. Berdasarkan pada kerangka pemikiran diatas, maka penelitian ini akan difokuskan pada unsur ekonomis, sosial dan distribusi kekuatan power dari kelembagaan pengelolaan sea-ranching. Interaksi sebagain kegiatan proses pembesaran dalam marikultur dan penangkapan terbatas pada ekosistem terumbu karang akan didasarkan dari hasil penelitian sebelumnya.

1.5 Kebaharuan Novelty

Penelitian ini berhasil mendapatkan kebaharuan novelty baik pada aspek pengembangan keilmuan yang terkait dengan pola sea ranching maupun kebijakan untuk implementasi pengembangan sea ranching di Indonesia. Kebaharuan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Rumusan model konseptual sea ranching pada perairan tropik dan akses terbuka di Indonesia. 2. Rumusan model konseptual untuk pengembangan sea ranching pada rejim pengelolaan sumberdaya perairan akses terbuka di Indonesia. 3. Rumusan model kelembagaan pengelolaan sea ranching berbasis hak dengan instrumen hak pemanfaatan perikanan teritorial TURF pada rejim pengelolaan sumberdaya perairan akses terbuka di Indonesia. Gambar 1.2 Kerangka pemikiran penelitian 15 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peningkatan Stok dan Sea ranching

Pelepasan ikan yang dibudidayakan ke alam secara garis besar mencakup tiga bentuk yang berbeda yaitu pelepasan kembali restocking, pemacuan stok stock enhancement dan sea ranching Lorenzen et al. 2008; Arnason 2008. Bell et al. 2008 menyatakan bahwa sea ranching adalah pelepasan juvenil yang dibudidayakan ke lingkungan laut tertutup enclosed dalam proses kegiatan lepas put, tumbuh grow dan ambil take. Dalam kasus sea ranching juvenile yang dilepas tersebut tidak dimaksudkan untuk meningkatkan biomasa ikan yang bertelur spawning biomass, meskipun hal ini dapat terjadi ketika ukuran ikan pada saat ditangkap melebihi sesuai dengan ukuran pada ukuran matang gonad pertama first maturity atau ketika seluruh ikan yang dilepas tidak seluruhnya ditangkap kembali.Secara ekonomis terlihat bahwa jika kegiatan pemacuan stok stock enhancement dilakukan, maka perikanan tangkap konvensional harus dimodifikasi. Untuk itu secara kelembagaan, perlu kombinasi pajak dan subsidi dapat dilakukan untuk mendorong mekanisme ini. Bentuk lain yang mungkin lebih efisien adalah mengimplementasikan hak kepemilikan individual dalam bentuk ijin penangkapan yang dapat diperdagangkan tradeable dan kuota pelepasan stok atau lisensi Arnason 2008. Maasaru 1999 dalam Kurnia 2012 mengemukakan bahwa ada dua tipe sea ranching , yaitu sea ranching tipe rekrutmen recruitment type dan tipe panen harvest type. Perbedaannya, pada sea ranching tipe rekruitmen, benih yang ditebar pada suatu wilayah perairan dibiarkan sampai bereproduksi. Sebagian ikan yang tumbuh tertangkap kembali, namun beberapa ikan dewasa akan tetap tinggal menjadi induk. Sedangkan pada jenis tipe panen, benih yang akan ditebar akan diproduksi dan dibesarkan sampai ukuran tertentu. Pemanenan di alam dilaksanakan pada saat ikan tersebut telah mencapai ukuran komersial. Withmarsh 2001 menyatakan bahwa hasil studi menunjukan bahwa efisiensi ekonomis sea-racnhing bervariasi tergantung pada : 1 spesies yang dipilih, 2 lingkungan laut dimana spesies tersebut dilepas, 3 teknologi produksi induk, 4 pola atau metode penangkapan kembali, 5 kondisi pasar pada waktu membeli induk dan menjual hasil tangkapan, 6 regim hak kepemilikan terhadap stok dan tangkapan,dan 7 besarnya kemampuan mengendalikan tekanan penang- kapan. Atas karakteristik seperti diatas, persoalan alokasi hak pemanfaatan right- to-use sumberdaya harus dilihat dalam konteks kultural-kelembagaan Grima dan Berkes 1989.

2.2 Hak Sumberdaya

Karakteristik sumberdaya Konsepsi sumberdaya alam, tidak bisa dipahami secara sederhana sebagai input produksi seperti dalam konsep ekonomi pasar, karena adanya fungsi-fungsi ekosistem yang tidak atau belum dihargai sistem pasar dengan semestinya Grima dan Berkes 1989. Kelangkaan sumberdaya, termasuk pemersalahan