Interaksi Subsistemik Penyusunan Model .1 Perkembangan Konsep Sea ranching
Pickering 1998. Merujuk hukum Romawi terhadap binatang, Walrut 2002 menyatakan bila termasuk dalam ferae naturae maka tidak bisa dilakukan
ekslusi; sebaliknya bila termasuk dalam rejim domitae naturae ekslusi dapat dilakukan.
Sea-ranching dalam konsep put-grow-take tanpa pakan belum pernah
diterapkan di Indonesia sampai sekarang. PKSPL-IPB mengembangkan konsep sea farming
Adrianto 2010 dalam Rudiyanto 2011, namun pola sea ranching
belum bisa diterapkan. Rejim open access dan common property, menjadi salah satu kendala dominan. Oleh karenanya, model konseptual yang dikembangkan
adalah sea ranching yang memanfaatkan perairan dangkal pesisir tertentu, yang memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kapasitas perikanan tangkap dengan
pola put-grow-take. Disamping aspek bio-ekologis, permasalahan terkait dengan sistem hak menjadi isu elementer mengingat bahwa sistem ini membutuhkan
wilayah perairan yang demarcated Alban dan Boncoeur, 2008; Arnason 2008; Gaines 2013.
Model konseptual didasarkan pada interaksi subsistemik antara komponen dalam ekosistem sea ranching. Secara umum, model sea-ranching
menggabungkan unsur penangkapan dan budidaya, dalam ekosistem perairan dangkal. Integrasi budidaya dan penangkapan Garcia dan Granger 2005;
mencakup pembibitan, pembesaran dan penangkapan kembali pada ukuran tangkapan.
Pelepasan ikan muda juvenile untuk peningkatan stok stocking merupakan hasil budidaya hatchery agar ukuran seragam, yang didasarkan pada
perhitungan kebutuhan jumlah tangkapan berdasar daya dukung lingkungan dan asumsi daya hidup juvenil. Faktor alamiah ini tidak mungkin disimulasikan
adanya perubahan kapasitas, mengingat bila kelebihan kapasitas, stocking justru akan berdampak negatif pada ekosistem. Pendekatan perhitungan daya dukung
pernah dilakukan di wilayah ini Mansyur 2013; Kurnia 2012 yang merujuk pada daya tampung perairan terkait siklus unsur hara penting yaitu pospor P dan
nitrogen N. Perbandingan total nitrogentotal pospor menggambarkan potensi dampak pada perairan dan repson tropik atas sejumlah sumber pengkayaan
lingkungan Yeo et al. 2004. Pada perairan laut unsur nitrogen N pada umumnya mempunyai kelimpahan yang cukup, sehingga unsur pospor P
menjadi faktor pembatas. Konsep penting dalam model sea ranching ini adalah proses pertumbuhan
ikan muda didasarkan ketersediaan pakan alami no feeding. Oleh karenanya, seperti halnya pengkayan perikanan lainnya, perhitungan besaran daya dukung ini
menjadi salah satu dasar perhitungan yang sangat krusial, dan perlunya masukan ilmiah Lorenzen 2014.
Simulasi kebutuhan stok mencakup jumlah dan waktu pelepasan stok. Jumlah dan waktu pelepasan stok akan dipengaruhi oleh jumlahbesaran panen
harvest baik melalui penangkapan terkendali regulated fishing maupun
penangkapan rekreasional. Untuk dapat dilakukan analisis, maka jumlah individu yang dilepas harus seragam dan berasal dari lingkungan yang sama. Garlock et
al. 2013 mendapatkan bahwa individu juvenil Florida largemouth bass
Micropterus floridanus ; mempunyai pertumbuhan, aktivitas, metobolisme dan
daya hidup yang berbeda antara ikan yang ditangkap alami, dari hatchery yang dimanipulasi dan hatchery standar.
Secara empiris sea-ranching dalam konsep put-grow-take tanpa pakan masih sangat sedikit diterapkan di Indonesia sampai sekarang. Demikian pula
studi yang komprehensif, sehingga pengembangan model dalam kasus di Indonesia penting di lakukan. Studi awal tentang sea ranching telah dilakukan
oleh Yulianto 2015 tentang kemungkinan implementasi sea ranching di Taman Nasional Karimunjawa-Jawa Tengah. Namun demikian studi ini tidak
menganalisis model kelembagaan dan analisis implementasi pengelolaan sea ranching
di lokasi penelitian. PKSPL-IPB mengembangkan konsep sea farming Rudiyanto 2011 di
KAKS. Akan tetapi pelasapan ikan yang kemudian ditangkap kembali dalam pola lepas-tumbuh-tangkap belum diterapkan. Rejim open akses dan common property
dalam pengelolaan sumberdaya perairan menjadi salah satu kendala dominan. Oleh karenanya, model konseptual yang dikembangkan dalam analisis ini adalah
sea ranching yang memanfaatkan perairan dangkal pesisir tertentu, yang
memenuhi persyaratan untuk meningkatkan kapasitas perikanan tangkap dengan pola put-grow-take. Studi sebelumnya, disamping bio-ekologis, permasalahan
terkait dengan sistem hak menjadi isu elementer mengingat bahwa sistem ini membutuhkan wilayah perairan yang demarcated Gaines 2013; Alban dan
Boncoeur 2008; Arnason 2008. Model konseptual didasarkan pada interaksi subsistemik antara komponen
dalam ekosistem sea ranching. Secara umum, model sea-ranching menggabungkan unsur penangkapan dan budidaya, dalam ekosistem perairan
dangkal. Integrasi budidaya dan penangkapan Garcia dan Granger 2005; mencakup pembibitan, pembesaran dan penangkapan kembali pada ukuran
tangkapan. Aktivitas dalam sea ranching secara prinsip terbagi dalam tiga kelompok
yaitu pelepasan juvenile put, menumbuhkan ikan grow dan memanenmenangkap kembali take. Tiga aktivitas tersebut akan mengikat dari
dua dua dimensi dalam sea ranching yaitu dimensi sumberdaya alam dan dimensi sosial. Setiap aktivitas mempunyai pertimbangan dan implikasi yang berbeda pada
dua dimensi tersebut yang saling terkait. Dimensi sumberdaya alam dan dimensi sosial masing-masing saling terkait sehingga perubahan salah satunya akan
berpengaruh pada dimensi yang lain secara resiprokal. Keterkaitan ini terjadi pada setiap aktivitas dalam tahapan sea ranching yaitu lepas-tumbuh-tangkap, seperti
terlihat dalam Gambar 3.6. Berdasarkan pada Gambar 3.6, aktivitas dalam sea ranching menjadi
pengikat bagi interaksi sistem sumberdaya dan sistem sosial. Hanya dalam tahapan awal, interaksi ini akan sangat ditentukan dari sistem sumberdaya yaitu
kondisi ekosistem. Berdasarkan pada keterkaitan dimensi tersebut, sea ranching sangat dipengaruhi dan harus memperhatikan faktor yang membentuk dimensi
sosial, faktor yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan dan faktor hasil interaksi antara dimensi sosial dan dimensi ekologis berupa respon pengelolaan.