Pengembangan Sea ranching di Indonesia

Pada tingkat pemanena harvest, berdasarkan simulasi didapatkan bahwa nilai manfaat dari wisata mempunyai kontribusi yang signifikan. Namun kegiatan ini tidak bisa dilakukan apabila kegiatan ranching tidak dilakukan, khususnya pancing. Karena bila kegiatan sea ranching tidak dilakukan, maka spesies target untuk kegiatan memancing tidak mencukupi. Demikian pula kegiatan snorkeling tidak bisa dilakukan bila karang yang menjadi salah satu prasyarat ekologis dalam sea ranching tidak terkelola dengan baik. Secara prinsip respon kelembagaan dalam pengelolaan sea ranching bisa adaptif menuju pola yang lebih mendukung; mengingat bahwa dalam kasus sea ranching di lokasi penelitian maupun di lokasi lain di Indonesia regulasi dan kebijakan makro masih memungkinkan untuk merubah pola ini. Pola ini akan semakin efektif apabila diterapkan pada wilayah perairan dengan pola pengelolaan berbasis hak misalnya hak ulayat atau adat. Berdasarkan pada analisis diatas, maka model sea ranching mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu : 1. Sangat kuat didasarkan pada kondisi ekosistem ecosystem based serta dipengaruhi oleh pola interaksi dalam ekosistem. 2. Spesies yang dipilih harus sesuai dengan ekosistem perairan, mempunyai ketersediaan stok juvenile yang cukup jumlah dan waktu dengan kualitas yang sesuai tetapi juga mempunyai nilai ekonomis yang memadai untuk biaya pengelolaan. 3. Pola pengelolaan harus didasarkan pada pengelolaan berbasis hak right based management , dengan pola spesifik hak pengelolan berbasis teritorial TURF. 4. Pengembangan sea ranching harus disesuaikan dengan daya dukung baik ekologis maupun sosial-ekonomis. 5. Nilai manfaat diperoleh dari pengelolaan aktivitas penangkapan maupun non-penangkapan wisata. 6. Kelembagaan pengelolaan harus legitimatif dan menggambarkan perwakilan kolektif dari masyarakat lokal, bukan privat atau perusahaan. 7. Bentuk kelembagaan dapat berupa pengelola sebagai representasi masyarakat adat yang mempunyai hak ulayat atau bila tidak ada masyarakat adat maka yang sesuai dengan regulasi adalah koperasi. 8. Pengelola mempunyai kapasitas pengelolaan kognitif dan keahlian yang cukup untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengawasi. Untuk dapat mendukung kondisi diatas maka dalam kasus Indonesia, perlu dilakukan perubahan rejim perikanan baik rejim pengelolaan, rejim hak yang berimplikasi pada rejim sumberdaya. Berdasarkan analisis pada regulasi yang diturunkan dari kebijakan makro, terdapat peluang untuk melakukan perubahan ini pada wilayah spesifik wilayah sea ranching. Perubahan ini harus eksplisit dan legal, untuk mendukung TURF yang demarkatif. Sumber dari perubahan ini adalah dari negara yang secara konstitusional adalah pemilik sumberdaya perairan laut. Mengingat bahwa sea ranching merupakan kegiatan yang berbasis ekosistem, maka pengembangan sea ranching harus didasarkan pada pengetahuan yang cukup tentang potensi ekosistem perairan dan kemungkinan terjadinya interaksi dalam ekosistem setelah adanya kegiatan sea ranching. Input ilmiah merupakan faktor penting untuk meningkatkan pengetahuan ini. Elemen dalam model pengembangan sea ranching kesesuaian ekologis, kepastian spasial, sistem hak, rencana pengelolaan dan tata kelola bersifat sekuensial sequence dan sebagian bersifat hirarkis vertikal, yang membutuhkan dukungan kelembagaan pada tingkat mikro, meso dan makro. Satu tahapan akan menjadi tahapan berikutnya. Kegagalan untuk membangun kecukupan kondisi salah satu elemen akan merusak dan meningkatkan kegagalan pengembangan model sea ranching . Perubahan rejim pengelolaan sumberdaya laut ke arah yang mendukung pengelolaan berdasar hak TURF untuk memberikan insentif bagi pengelola sea ranching dengan menjamin seluruh benefit dari pengelolaan secara maksimal akan diperoleh oleh pengelola. Perubahan rejim juga untuk memastikan bahwa TURF bisa diimplementasikan dengan baik, sehingga biaya transaksi semakin mengecil.

6.2 Manfaat, Biaya dan Bangkitan Ekonomi Sea Ranching

Sea ranching ikan kerapu macan, sangat tergantung pada kondisi ekosistem karang. Pengelolaan sea ranching bisa memberikan manfaat dengan mingkatnya bobot ikan somatic growth dan terpeliharanya ekosistem karang. Secara struktural penerimaan dari sea ranching bisa bersumber dari penjualan hasil penangkapan ikan harvest dan pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang baik untuk kegiatan non-penangkapan. Hasil simulasi kasus di perairan dangkal P. Semak Daun-KAKS menunjukan bahwa penerimaan dari kegiatan non- penangkapan lebih besar. Namun demikian, dengan ekosistem yang berbeda bisa terjadi sebaliknya. Kondisi ini tetap harus dipahami bahwa aktivitas utama adalah proses put-grow-take, sehingga kegiatan lain merupakan kegiatan tambahan optional terutama pada wilayah perairan dengan potensi pengembangan wisata yang rendah. Biaya pengelolaan secara umum mencakup : 1 biaya langsung operasional sea ranching , 2 biaya transaksi dan 3 biaya pengelolaan wisata. Biaya operasional langsung adalah biaya untuk melakukan aktivitas stocking ikan kerapu macan. Biaya ini sangat bervariasi tergantung jumlah ikan yang akan dilepas. Sedangkan biaya transaksi mencakup biaya mendapatkan informasi, monitoring, pelatihan, resolusi konflik, pertemuan, pengambilan keputusan serta penegakan dan pengawasan. Dua komponen biaya transaksi terbesar adalah : 1 biaya penegakan dan pengawasan, dan 2 biaya mendapatkan informasi. Secara umum, apabila sistem sudah berjalan dengan baik atas dukungan pihak internal pengelola dan eksternal maka biaya transaksi ini akan semakin menurun. Semakin efektif pelaksanaan hak dalam sistem TURF ini, maka biaya transaksi akan semakin menurun. Semakin berpengalaman pengelola maka biaya transaksi juga akan semakin menurun. Sedangkan biaya pengelolaan wisata akan berkorelasi positip dengan aktivitas wisata, yang akan diikuti oleh penerimaan secara linear. Tetapi kondisi ini akan terjadi bila kegiatan wisata dikembangkan sesuai dengan daya dukungnya. Bila melebihi, berpotensi akan merusak ekosistem yang selanjutnya akan berdampak buruk pada sistem sea ranching secara keseluruhan. Wilayah sea ranching secara ekologis harus pada ekositen perairan yang sesuai dan bersifat demarkatif. Beberapa wilayah yang potensial adalah wilayah yang secara ekonomi regional relative tertutup. Pada wilayah yang bersifat kepulauan bercirikan konektivitas dengan wilayah lain lebih terbatas, nilai ekonomi yang dibangkitkan dari kegiatan sea ranching yang menggerakan ekonomi lokal cukup besar. Semakin tertutup perekonomian wilayah perairan, maka potensi sea ranching menggerakan ekonomi lokal semakin besar. Analisis kasus sea ranching ini menunjukan bahwa kebocoran ekonomi terjadi pada pembelian input BBM dan ikan, yang tidak diproduksi lokal. Sehingga secara umum untuk mengurangi kebocoran ekonomi, dapat dilakukan dengan memperbesar proporsi input yang digunakan berasal dari kegiatan ekonomi lokal.

6.3 Interaksi Aktor Dalam Sea ranching

Walaupun sudah terdapat regulasi yang terkait pengelolaan sumberdaya perairan laut di Indonesia, tetapi dalam prakteknya rejim pengelolaan masih sangat kuat didasarkan pada rejim pengelolaan sumberdaya akses terbuka. Untuk implementasi pengelolaan sea ranching yang membutuhkan wilayah yang demarkatif, membutuhkan perubahan rejim pengelolaan yang didukung oleh perubahan rejim hak dan rejim sumberdaya. Rejim pengelolaan berubah dari akses terbuka open access menjadi akses tertutup atau terbatas closedrestricted access . Rejim hak berubah dari basis hak akses bundle of power, menjadi hak kepemilikan bundle of right. Sehingga rejim sumberdaya berubah dari sumberdaya milik bersama common pool resource menjadi sumberdaya milik kelompok tollgroup resources. Perubahan rejim ini juga akan merubah pola pemanfaatan, sehingga menambahkan aktor yang terlibat. Pada kasus sea ranching di perairan dangkal P. Semak Daun aktorlembaga yang terlibat adalah nelayan, pengambil pasir dan karang, pengelola sea ranching, pemandu wisata, penyedia perahu, wisatawan dan pemerintah KAKS dan TNKS. Aktorlembaga tersebut menempati posisi sebagai pendukung enabling agency, penyedia jasa service provider dan pemakai user. Interaksi antar aktor tersebut akan sangat terkait dengan imbal balik trade off antara biaya dan korbanan yang diterima atas adanya kegiatan sea ranching yang tidak hanya bersifat nilai kas cash value tetapi juga yang nilai non-kas. Imbangan antara biaya korbanan dan manfaat masing-masing aktorlembaga setelah adanya sea ranching akan sangat menentukan apakah akan melemahkan atau meningkatkan keragaan pengelolaan sea ranching. Banyak faktor yang diduga akan berpengaruh pada keputusan untuk mendukung atau menolak sea ranching diantaranya ; 1 kapasitas kognitif pengetahuan dan moralitas, 2 sosial, dan 3 ekonomis. Aktor yang mempunyai pemahaman dan moralitas baik pada kondisi sumberdaya perikanan tangkap dan aktivitas sea ranching cenderung akan mendukung. Demikian pula, aktor yang mempunyai modal sosial dengan pengelola dengan baik, berpotensi mendukung lebih besar. Secara ekonomis, disamping adanya imbangan trade off biaya dan manfaat, juga dipengaruhi tingkat ketergantungan pada sumberdaya dan ketersediaan alternatif sumberdaya lain untuk mendukung ekonominya. Nelayan yang mempunyai alternatif sumberdaya yang lebih besar akan merasa lebih menerima, seperti kasus di Findlandia Gaines 2013 dan sebaliknya. Nelayan muroami yang berasal dari Kel. P. Panggang mempunyai penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan nelayan yang menangkap di perairan dangkal P. Semak Daun. Demikian pula masyarakat yang akan membangun rumah di Kel. P. Panggang yang membutuhkan pasir dan karang untuk bahan bangunan, akan mempunyai tingkat penolakan yang tinggi. Krn belum adanya alternatif wilayah lain yang disepakati sebagai tempat untuk mengambil karang dan pasir non- komersial. Berdasarkan pada kondisi ini, maka pengembangan sea ranching perlu meningkatkan kapasitas kognitif antar aktor, membangun modal sosial serta meningkatkan nilai ekonomis sea ranching bagi aktor yang terlibat. Apabila sumberdaya bersifat terbatas, maka representasi aktorlembagaan pada kelembagaan pengelola sangat krusial untuk memastikan bahwa benefit akan kembali kepada mereka. 6.4 Model Kelembagaan untuk Sistem Sea Ranching Berdasarkan analisis IAD didapatkan bahwa faktor asset modal menjadi salah satu input dalam kelembagaan. Dalam perspektif kerangka kerja pengelolaan sumberdaya pesisir faktor pendorong driving force- tekanan pressure -keadaan state-dampak impact-respons response DPSIR, analisis kelembagaan ini digunakan untuk menganalisis respons dan dampak dari adanya tekanan yang berpengaruh pada kondisi state asset sumberdaya baik fisik maupun non-fisik. Tekanan ini dipicu oleh dinamika kondisi luar eksogenus yang memunculkan adanya kondisi lebih tangkap perikanan pantaipesisir. Respon yang terjadi adalah upaya mengimplementasikan sea ranching pada wilayah pesisir. Respons ini dilakukan dengan memperhatikan kondisi perairan dangkal, karakteristik masyarakat di Kel. P. Panggang dan KAKS secara umum, pelepasan ikan dan infrastruktur yang terbangun serta modal sosial masyarakat. Respon ini perlu dikelola dengan baik, agar diperoleh dampak baik untuk kondisi ekosistem terumbu karang, kesejateraan masyarakat dan pengembalian atas biaya yang dikeluarkan. Pengelolaan ini membutuhkan aturan main rules-in-use yang telah diputuskan pada tingkat kolektif dalam lembaga pengelola untuk memberikan rambu-rambu aksi dan interaksi pada aktor atau lembaga dalam arena aksi yaitu pengelolaan sea ranching. Arena aksi ini bisa menunjukan kondisi fisik yaitu perairan dangkal P. Semak Daun yang menjadi wilayah sea ranching dan menunjukan interaksi antar individu atau lembaga yang terlibat disana. Hak pemanfaatan berbasis wilayah TURF sebagai implementasi dari sistem pengelolaan sumberdaya berbasis hak, diputuskan secara kolektif collective choice sebagai aturan main rules-in-use. Aturan main ini digunakan untuk merumuskan aturan pengelolaan. Pengelola sea ranching yang memutuskan aturan main, merupakan hasil dari keputusan konstitusional constitutional choice yang sesuai dengan regulasi nasional maupun daerah Provinsi DKI Jakarta.