Pilar Kelembagaan Analisis Legitimasi Kelembagaan

6 PEMBAHASAN UMUM

6.1 Pengembangan Sea ranching di Indonesia

Sea ranching merupakan salah satu instrumen untuk meningkatkan produktivitas perikanan tangkap pantai Bell et al. 2008; Bell et al. 2006. Sebagian besar perikanan pantai di Indonesia mengalami persoalan lebih tangkap yang menyebabkan produktivitas menurun. Perikanan pantai merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi rumah tangga nelayan pesisir. Peningkatan armada perikanan tangkap disamping membutuhkan biaya yang besar, waktu lebih lama, penguasaan keahlian penangkapan dan pengelolaan usaha dengan menggunakan armada yang lebih. Disamping itu, faktor krusial lainnya adalah persoalan kultural, dimana tidak semua nelayan pantai mempunyai semangat dan kebiasaan untuk melakukan penangkapan dengan waktu yang lebih lama di laut dan meninggalkan keluarga. Mengingat bahwa sebagian besar nelayan pantai melakukan penangkapan dengan pola harian one day fishing. Secara kultural nelayan melakukan aktivitas dengan melakukan perburuan hunting, yang secara ekonomis merupakan pola produksi pendapatan cepat quick yield . Pola perburuan ini, juga sering menyebabkan nelayan masuk dalam perangkap jebakan harapan expectation trap yang tinggi Purnomo dan Taryono, 2005, berdasarkan pada pengalaman. Pelaku usaha pada pola pendapatan cepat, biasanya pola perencanaan produksi sangat tergantung dari alam dan dengan sifat cenderung kurang bisa menunggu waktu yang lama. Hal inilah yang sulit bagi nelayan untuk beralih mata pencaharian dengan pola produksi dan pengelolaan usaha yang berbeda. Pada beberapa wilayah perairan di Indonesia, sebenarnya juga berpotensi untuk yang bersifat pembudidayaan farming seperti budidaya laut. Tetapi dengan karakteristik individu nelayan sekarang yang kurang sesuai untuk pola kerja budidaya dan kecakapan budidaya laut masih kurang memadai, maka alih profesi menjadi pembudidaya laut kurang berhasil. Sementara, potensi yang ada sebagian besar adalah sumberdaya perairan laut. Pada kondisi tersebut diatas, maka sea ranching menjadi salah satu pilihan yang paling memungkinkan. Sea ranching adalah pola usaha perikanan yang berbasis pelepasan juvenile ke wilayah perairan laut, yang kemudian diharapkan tumbuh maksimal somatic production sehingga bisa ditangkap kembali. Pada proses ini, maka pengelola sea ranching tidak harus melakukan pemeliharaan sebagaimana budidaya laut marikultur, tetapi hanya melakukan pengawasan agar ikan tersebut tidak terganggu proses pertumbuhannya. Sehingga kegiatan marikultur masih memungkinkan untuk dikembangkan sebagai alternatif pendapatan nelayan pada perikanan tangkap yang sudah mengalami lebih tangkap over fishing . Secara global, sea ranching telah banyak dikembangkan untuk spesies laut yang mempunyai ruaya terbatas khususnya yang melekat pada dasar perairan sedentary species. Hal ini dilakukan spesies yang dilepas tidak bergerak ke wilayah perairan lain. Sehingga spesies yang akan dilepas harus sesuai dengan kondisi ekosistem yang ada untuk mengurangi potensi ikan bermigrasi pada ekosistem perairan lainnya. Proses sea ranching ada tiga tahapa yaitu pelepasan ikan juvenile put, pertumbuhan somatic ikan dan akhirnya penangkapan kembali takeharvest. Pengembangan sea ranching harus memperhatikan tiga tahapan tersebut. Pada tahap pelepasan, maka karakteristik ekosistem yang akan dikembangkan menjadi faktor yang paling mendasar sehingga pengembangan sea ranching harus berbasis ekosistem ecosystem based. Kesesuaian ekosistem yang diperlukan harus memperhatikan unsur biologis dan teknik pengelolaan sea ranching. Karakteristik ekosistem juga harus memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan ikan dan dapat dikendalikan potensi gangguannya. Ekosistem yang memenuhi prasyarat pertumbuhan ikan diantaranya adalah : 1 sesuai dengan habitat ikan, 2 tersedianya makanan yang cukup untuk pertumbuhan ikan dan 3 mempunyai kecukupan luas yang sesuai dengan ruaya ikan. Sedangkan karakteristik untuk memenuhi persyaratan pengendalian gangguan diantaranya adalah : 1 Tidak adanya kegiatan penangkapan kembali oleh nelayan lain, 2 Tidak adanya kegiatan lain yang berpotensi merusak ekosistem atau mengganggu kehidupan dan pertumbuhan ikan, 3 Berkurangnya potensi ikan untuk melakukan migrasi pada ekosistem lain. Sehingga terlihat secara nyata bahwa persoalan pada tahapan pelepasan menyangkut dua dimensi pokok yaitu dimensi alamiah dan dimensi sosial. Pada kenyataannya dimensi alamiah akan menjadi lebih berat sebagai faktor pembatas mengingat bahwa kondisi alamiah pada ekosistem peraian dangkal yang menjadi wilayah sea ranching mempunyai konektivitas dengan ekosistem perairan lainnya yang lebih sulit dikendalikan. Sedangkan sistem sosial akan bisa dirumuskan kembali yang didasarkan pada consensus berdasarkan pada regulasi yang ada. Pilihan jenis ikan akan sangat ditentukan juga oleh kondisi ekosistem yang ada, dimana secara sosial akan dilihat dengan harga yang terjadi. Pada proses pertumbuhan growth ikan, maka ekosistem perairan juga menjadi faktor pembatas. Ketersediaan pakan alami, pola migrasi dan bentuk dasar perairan serta interaksi antar elemen ekosistem akan menentuk respon sosial untuk pengelolaan. Intervensi pemberian pakan akan mempunyai implikasi serius baik secara ekologis maupun secara teknis. Secara ekologis, nutrian yang terperangkap dalam sistem perairan karena pemberian pakan akan berpotensi meningkatkan pasokan nutrient yang berpotensi untuk mendorong eutropikasi perairan. Pemberian pakan juga akan mempunyai dampak karena sedimen sisa pakan berpotensi mengganggu pertumbuhan planula karang. Secara teknis akan sulit dilakukan karena adanya arus yang berpotensi membawa sebagian pakan pada pada perairan lain. Pada wilayah perairan sea ranching, juga memerlukan spesies lain selain ikan target kerapu macan karena adanya keseimbangan tropik dalam ekosistem. Sehingga akan mengurangi efisiensi pemberian pakan. Pola migrasi dan bentuk dasar perairan, akan sangat mempengaruhi perilaku ikan untuk tetap dalam wilayah perairan atau tidak. Pada sisi teknis belum ekonomis kalo harus membangun pagar untuk membatasi ruaya ikan. Pada pembesaran ikan, disamping persoalan karakteristik spesies ikan yang ditebar dan ekosistem perairan, respon kelembagaan pengelolaan juga akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan sea ranching. Persoalan hak, sistem aturan dan perilaku aktor atau institusi ikut meningkatkan atau melemahkan keberhasilan sea ranching . Pada tingkat pemanena harvest, berdasarkan simulasi didapatkan bahwa nilai manfaat dari wisata mempunyai kontribusi yang signifikan. Namun kegiatan ini tidak bisa dilakukan apabila kegiatan ranching tidak dilakukan, khususnya pancing. Karena bila kegiatan sea ranching tidak dilakukan, maka spesies target untuk kegiatan memancing tidak mencukupi. Demikian pula kegiatan snorkeling tidak bisa dilakukan bila karang yang menjadi salah satu prasyarat ekologis dalam sea ranching tidak terkelola dengan baik. Secara prinsip respon kelembagaan dalam pengelolaan sea ranching bisa adaptif menuju pola yang lebih mendukung; mengingat bahwa dalam kasus sea ranching di lokasi penelitian maupun di lokasi lain di Indonesia regulasi dan kebijakan makro masih memungkinkan untuk merubah pola ini. Pola ini akan semakin efektif apabila diterapkan pada wilayah perairan dengan pola pengelolaan berbasis hak misalnya hak ulayat atau adat. Berdasarkan pada analisis diatas, maka model sea ranching mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu : 1. Sangat kuat didasarkan pada kondisi ekosistem ecosystem based serta dipengaruhi oleh pola interaksi dalam ekosistem. 2. Spesies yang dipilih harus sesuai dengan ekosistem perairan, mempunyai ketersediaan stok juvenile yang cukup jumlah dan waktu dengan kualitas yang sesuai tetapi juga mempunyai nilai ekonomis yang memadai untuk biaya pengelolaan. 3. Pola pengelolaan harus didasarkan pada pengelolaan berbasis hak right based management , dengan pola spesifik hak pengelolan berbasis teritorial TURF. 4. Pengembangan sea ranching harus disesuaikan dengan daya dukung baik ekologis maupun sosial-ekonomis. 5. Nilai manfaat diperoleh dari pengelolaan aktivitas penangkapan maupun non-penangkapan wisata. 6. Kelembagaan pengelolaan harus legitimatif dan menggambarkan perwakilan kolektif dari masyarakat lokal, bukan privat atau perusahaan. 7. Bentuk kelembagaan dapat berupa pengelola sebagai representasi masyarakat adat yang mempunyai hak ulayat atau bila tidak ada masyarakat adat maka yang sesuai dengan regulasi adalah koperasi. 8. Pengelola mempunyai kapasitas pengelolaan kognitif dan keahlian yang cukup untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengawasi. Untuk dapat mendukung kondisi diatas maka dalam kasus Indonesia, perlu dilakukan perubahan rejim perikanan baik rejim pengelolaan, rejim hak yang berimplikasi pada rejim sumberdaya. Berdasarkan analisis pada regulasi yang diturunkan dari kebijakan makro, terdapat peluang untuk melakukan perubahan ini pada wilayah spesifik wilayah sea ranching. Perubahan ini harus eksplisit dan legal, untuk mendukung TURF yang demarkatif. Sumber dari perubahan ini adalah dari negara yang secara konstitusional adalah pemilik sumberdaya perairan laut. Mengingat bahwa sea ranching merupakan kegiatan yang berbasis ekosistem, maka pengembangan sea ranching harus didasarkan pada