Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta

Gambar 2.1 Hubungan antara situasi aksi dan SES Sumber : Ostrom 2011 Aturan Rules-in-use dan pengambilan keputusan Aturan adalah pemahaman bersama antara beberapa pihak yang menunjukan petunjuk yang kuat tentang tindakan yang diharuskan, dilarang atau diperbolehkan Ostrom 2011. Semua aturan merupakan hasil usaha baik eksplisit atau implisit untuk mencapai keteraturan dan kewajiban diantara umat manusia melalui penciptaan kelompok posisi yang kemudian diharuskan, dilarang atau diperbolehkan sesuai dengan kondisinya Ostrom 2011; Siddiki et al. 2011. Terkait dengan analisis IAD, terdapat 7 buah aturan yang dapat mempengaruhi struktur situasi aksi Ostrom 2011; Rudd 2004. Aturan tersebut mencakup aturan tata batas boundary rules, aturan posisi position rules, aturan pelingkupan scope rules, aturan keputusan choice rules, aturan agregasi aggregation rules, aturan informasi information rules dan aturan imbal- balikkorbanan payoff rules. Masing-masing aturan tersebut akan berdampak pada tujuh elemen yang berpengaruh pada situasi aksi Ostrom 2011. Aturan tata batas berpengaruh pada peserta dan atributnya, aturan posisi menentukan posisi masing-masing, aturan keputusan mempengaruhi pilihan tindakan aktor boleh, dilarang, harus dan akan menentuk bentuk pohon keputusan dan dampaknya pada luaran outcome. Aturan pelingkupan akan menentukan potensi dampak luaran dan bagaimana hubungan dengan faktor yang berpengaruh. Aturan agregasi akan menentukan terhadap pengawasan terhadap peserta. Aturan informasi akan menentukan sekumpulan informasi yang diterima peserta. Aturan imbal balik akan menentukan biaya dan manfaat yang akan diperoleh peserta sehingga mendorong tindakan tertentu Ostrom 2011; Ruud 2004. Ostrom 2011 menyatakan bahwa satu set aturan tersebut merupakan konfigurasi, sehingga perubahan terhadap satu aturan akan berpengaruh pada keseluruhan aturan yang akan digunakan rules-in-use. Secara ilustratif, hubungan sistem aturan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.2. Gambar 2.2 Aturan sebagai variable eksogeneus yang berpengaruh langsung terhadap elemen arena situasi Sumber : Ostrom 2011 Menurut Ostrom 1999 tentang pengambilan keputusan choice pada pengelolaan sumberdaya, maka pengambilan keputusan bersifat berjenjang dalam bentuk hirarki. Secara hirarkial dari atas ke bawah secara vertikal adalah pengambilan keputusan pada aras konstitutional, kolektif dan operasional Gambar 2.3. . Gambar 2.3 Tingkatan analisis kelembagaan Sumber : Rudd 2004 Keputusan konstitutional memerlukan kelembagaan pembuat keputusan terkait aturan dasar. Pada level ini keputusan pemerintah daerah yang melibatkan pihak eksekutif dan legislative merupakan tingkat kelembagaan yang paling tinggi. Sebab dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah merupakan peraturan tertinggi di daerah sepanjang tidak menyalahi undang-undang pada tingkat yang lebih tinggi. Pada keputusan konstitutional ini dipengaruhi oleh kultur baik formal maupun informal dari pihak-pihak yang berinteraksi Pada tingkat di bawahnya adalah keputusan yang bersifat kolektif. Representasi kolektifitas ini ditunjukan keputusan yang bisa mengikat seluruh elemen stakeholder pengelolaan kawasan minapolitan. Bentuk kelembagaan juga mengikuti pola ini, dimana kelembagaan yang menghasilkan keputusan ini juga Constitutional Choice Collective Choice Operational Choice Physical World Rules-in-use Culture Pattern of Interaction – Outcome - merupakan lembaga yang bisa mengikat stakeholder pengelolaan minapolitan. Bentuk keputusan ini misalnya adalah keputusan atau peraturan bupati yang dikeluarkan oleh bupati setempat. Dalam hirarki ini, keputusan atau peraturan bupati tunduk pada peraturan pemerintah daerah. Sedangkan keputusan operasional meliputi keputusan operatif yang mengimplementasikan keputusan kolektif. Keputusan operasional ini dihasilkan oleh kelembagaan operasional, yang bersifat pelaksana terhadap pengelolaan kawasan minapolitan. Pola ini harus dibangun secara bersama. Dalam hirarki vertikal, maka keputusan ini tidak boleh bertentangan dengan keputusan kolektif. Sehingga secara ringkas, setidaknya dibutuhkan 3 tingkatan kelembagaan yaitu pada tingkat konstitutional, kolektif dan operasional. Tidak semua kelembagaan tersebut harus berangkat pada titik nol zero point, khususnya pada tingkat kelembagaan konstitutional dan kolektif. Karena kelembagaan- kelembagaan yang ada sekarang bisa menghasilkan keputusan-keputusan konstitusional dan kolektif terkait dengan operasionalisasi kawasan minapolitan. Perwakilan dan legitimasi Legitimasi, mempunyai pengertian baik secara normative maupun sosial Buchanan dan Keohane 2006. Legitimasi dapat dinyatakan sebagai karakteristik psikologis dari pihak bewenang, lembaga dan organisasi masyarakat yang mendorong mereka terhubung dengan kepercayaannya yang tepat, pantas dan adil Tyler 2006 dalam Bouma dan Ansink 2013. Kelembagaan dikatakan mempunyai legitimasi, secara normative bila mempunyai hak untuk mengatur, dimana pengaturan adalah deklarasi aturan sebagai usaha untuk menjamin masyarakat dengan memperhitungkan baiay atau manfaat yang akan diperoleh Buchanan dan Keohane 2006. Legitimasi menjembatani aksi kerjasama Bouma dan Ansink 2013. Ketika masyarakat menyadari pihak bewenang, lembaga dan organisasi masyarakat legitimate, mereka akan merasa harus mematuhi keputusan dan aturan, yang mendorong mereka merasa lebih bertanggung jawab secara sukarela bukannya takut akan hukuman atau mengharapkan imbalan Tyler 2006 dalam Bouma dan Ansink 2013. Sehingga mampu mengurangi biaya pengawasan dan penegakan untuk mendorong koersi masyarakat. Legitimasi, menjadi salah satu unsur menentukan kualitas kepemilikan Scott 2008. Legitimasi menjadi faktor krusial dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan Jentoft 1999. Legitimasi tidak hanya terait dengan konsep benar atau salah, tetapi sejumlah faktor lain yang berasosiasi. Menurut Jentoft 1999, terdapat beberapa isu penting yang harus diidentifikasi terkait legitimasi, mencakup legalitas dan moralitas, subjektivitas dan objektivitas serta premis dan luaran. Sistem pengelolaan harus sesuai dengan standar rasionalitas, alasan reason , dan keadilan. Secara prinsip, dinyatakan bahwa legitimasi merupakan konsep yang tidak cukup hanya berbasis legal. Tetapi sistem pengelolaan harus mampu membuktikan bahwa secara legal sesuai, walaupun hukum juga harus diuji apakah sesuai tujuan atau standar pengelolaan atau tidak. Artinya secara intrinsik misal rancangan pengelolaan harus sesuai dengan masalahnya Jentoft 1999. Sebagai contoh, sistem pengelolaan yang tidak sesuai dengan keadilan sosial pasti akan mendapatkan tantangan, walaupun secara legal memenuhi persyaratan Rohstein 1998 dalam Jentoft 1999. Sehingga dalam konsep legitimasi, penerimaan masyarakat menjadi salah satu faktor penentu; yang menunjukan apakah sistem itu dapat diterima dan dipercaya. Faktor-faktor yang menentukan legitimasi, menjadi perdebatan yang luas dan mendunia, dan sebagian besarahli menyepakati bahwa legitimasi merupakan konsep aspek beragam multi-faceted Hechter 2009; Suchman 1995 , seperti prosedur legal, self-interest dan nilai-nilai dan norma yang dianut Bouma dan Ansink 2013. Sejalan dengan Jentoft 1999, Tyler 1997 dalam Bouma dan Ansink 2013 membedakan antara perspektif instrumental dan rasional. Perspektif instrumental menganggap legitimasi ditentukan oleh prosedur dan insentif yang mendorong keinginan self-interest masyarakat. Sebaliknya perspektif rasional menganggap legitimasi lebih ditentukan oleh hubungan pihak otoritas sosial dengan masyarakat terkait dengan norma, sistem nilai dan kepercayaan trust yang disepakati. 3 MODEL KONSEPTUAL SEA RANCHING PADA PERAIRAN DANGKAL DI PULAU SEMAK DAUN KEPULAUAN SERIBU JAKARTA

3.1 Pendahuluan

Perikanan pesisir sebagai bagian zona neritik sering mengalami eksploitasi yang berlebihan, karena rejim pemanfaatan akses terbuka. Terdapat beberapa bentuk lebih tangkap yaitu tangkap lebih pertumbuhan growth overfishing, tangkap lebih rekrutmen recruitment overfishing, dan tangkap lebih biologis biological overfishing Grandcourt et al. 2005; King1995;Pauly 1994. Bila kondisi ini terjadi, nelayan harus menangkap lebih jauh yang diikuti oleh peningkatan biaya operasi, dan mengindikasikan tangkap lebih ekonomis economic overfishing Fauzi 2004; Pauly 1994. Karena keterbatasan modal dan kendala teknologi, sulit bagi nelayan untuk melakukan penangkapan yang lebih jauh. Tetapi juga sulit bagi nelayan bertahan dalam perikanan pantai yang sudah lebih tangkap. Hal ini mendorong tangkap lebih Malthusian Pauly 1990, 1994, dampak peran perikanan sebagai the employer of the last resort yang mengakibatkan net positive movement tenaga kerja pada sektor perikanan tangkap Bailey 1997. Penelitian tentang pelepasan juvenile untuk meningkatkan kapasitas perikanan pesisir semakin meningkat di beberapa negara Bell et al. 2008. Tangkap lebih overfishing telah menjadi isu penting selama beberapa dekade. Secara historis, manusia mempunyai peran siginfikan atas terjadinya oversfishing sejak jaman paleologis, archeologis, historis dan ekologis Jackson et al. 2001. Salah satu cara untuk meningkatan kapasitas perikanan yang mengalami tangkap lebih adalah sea-ranching. Sea ranching adalah pelepasan ikan muda juvenile ke lingkungan laut tertutup enclosed dalam proses kegiatan lepas put, tumbuh grow dan ambil take. Pelepasan juvenile pada sea ranching tidak untuk meningkatkan biomasa ikan yang bertelur spawning biomass Bell et al. 2008, 2010, tetapi untuk meningkatkan tangkapan. Sehingga sea ranching mempunyai tujuan ekonomis untuk meningkatkan pendapatan nelayanmasyarakat pesisir dan merupakan potensi integrasi budidaya perikanan dan penangkapan Garcia dan Granger 2005 dalam meningkatkan produktivitas perikanan tangkap. Pola integrasi ini telah lama diterapkan pada perikanan air tawar Cowx 1994 dalam bentuk perikanan berbasis budidaya culture based fisheries. Pengembangan sea ranching merupakan satu usaha konservasi untuk menghindari penurunan stok dan merestorasi spesies yang mengalami eksploitasi lebih Anand dan Soundarapadian 2011. Proses lepas-tumbuh-tangkap, didasarkan pada daya dukung habitat tanpa pakan, sehingga membutuhkan prasyarat ekosistem perairan yang sehat sebagai habitat ikan yang akan dilepaskan. Karena mensyaratkan habitat yang sehat, kegiatan sea ranching pada perairan dangkal mensyaratkan terjaganya kesehatan karang. Sehingga secara bersamaan mempunyai potensi pemanfaatan lain selain penangkapan terbatas. Pada sea ranching pemanfaatan perairan dilakukan oleh masyarakat lokal secara kolektif, tidak ada kepemilikan absolut individu. Hal ini akan merubah pola rejim pemanfaatan sumberdaya perairan dari akses terbuka menjadi akses terbatas atau tertutup. Oleh karena basisnya adalah proses penangkapan, sehingga keterlibatan nelayan dalam menjadi prasyarat dasar dalam sistem sea ranching. Pengembangan sea ranching harus memenuhi beberapa prasyarat baik ekologis maupun sosial, untuk menjamin keberlanjutannya. Sea-ranching membutuhkan perairan yang secara ekologis tertututp enclosed dan tidak terganggu; agar proses pelepasan, pertumbuhan berjalan sempurna dan penangkapanpanen mendapat hasil yang ekonomis. Sehingga peningkatan produktivitas perikanan pantai dapat tercapai dan terukur dengan baik. Penataan ruang dan pengaturan akses nelayan pada sumberdaya menjadi isu penting bagi keberhasilan sea ranching Alban dan Bouncher 2008, tetapi juga rentan terhadap perubahan dan tekanan lingkungan. Tekanan ini bersifat alamiah atau antropogenik. Tekanan alamiah dapat berasal dari distribusi bahan cemaran yang terbawa masa air pada proses pergantian air di wilayah sea ranching. Namun proses alamiah ini juga dapat diperkaya oleh kegiatan antropogenik baik di dalam lokasi maupun di luar lokasi, baik proses penangkapan, limbah yang menurunkan kualitas air sebagai hasil aktivitas pemanfaatan sumberdaya perairan maupun dari aktivitas daratan domestik dan industri, maupun penangkapan kembali sebelum waktunya. Sehingga pengendalian akses pada perairan lokasi sea ranching menjadi sangat fundamental. Pengembangan sea ranching merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang berkelanjutan. Sebagaimana pengelolaan sumberdaya lainnya, persoalan terbesar adalah bagaimana mengendalikan perilaku pemanfaatan oleh manusia. Sehingga intervensi pengelolaan sea ranching harus mencakup pada aspek bio-ekologis dan aspek sosial-manusia yang mempunyai motif ekonomis. Menurut Alban dan Bouncher 2008, kelompok nelayan lokal memegang kunci penting untuk keberhasilan sea ranching. Interaksi dinamika ekologi dalam ekosistem perairan wilayah sea ranching juga perlu diperhatikan untuk memastikan bahwa wilayah perairan tersebut menjadi habitat yang cocok bagi juvenile yang akan dilepas. Perlu dianalisis bagaimana interaksi antara aktivitas manusia sebagai turunan dari pelepasan juvenile ikan kerapu, dengan ekosistem karang. Aktivitas manusia ini mencakup pemanfaatan penangkapan kembali dan pemanfaatan lainnya, maupun pemeliharaan ikan kerapu yang undersize ekosistem karang sebagai habitat ikan kerapu yang dilepas. Pola sea ranching put-grow-take secara lengkap sekarang ini belum diaplikasikan baik dalam skala penelitian maupun komersial di Indonesia. Sea farming yang diiniasi oleh pemerintah daerah dan PKSPL-IPB di Kepulauan Seribu, belum bisa menerapkan pola sea ranching dalam pola put-grow-take tanpa pakan. Persoalan prasyarat ekosistem dan kelembagaan menjadi salah faktor menyebabkan kondisi ini. Secara ekologis, salah satu lokasi yang potensial untuk mengembangkan pola sea ranching adalah perairan P Semak Daun di Kel. P Panggang-KAKS, DKI Jakarta. Wilayah perairan terdiri dari beberapa gosong karang. Beberapa wilayah perairan ini masih ditemukan karang hidup. Seperti halnya perairan dangkal lainnya, pemanfaatan sumberdaya di wilayah ini juga cenderung untuk lebih tangkap. Kurnia 2012 menyatakan bahwa wilayah perairan ini cocok sebagai pengembangan model sea ranching ikan kerapu Ephinepelus fuscogutatus. Seperti halnya perairan dangkal lainnya, sekarang di wilayah perairan ini juga terdapat pemanfaatan yang beragam. Penangkapan ikan karang, budidaya karamba, wisata dan pengambilan batu karang walaupun secara formal bersifat illegal. Faktor krusial yang menghambat implementasi sea ranching di Indonesia adalah rejim akses terbuka dan common property. Sehingga, tujuan penulisan paper ini adalah membangun model secara konseptual sistem sea ranching yang menggambarkan sistem penangkapan, pembesaran dan ekosistem karang di P Semak Daun, Kabupaten Admnisitrasi Kepulauan Seribu KAKS. Hasil dari analisis ini, diharapkan dapat menjadi salah masukan untuk pengembangan sea ranching yang efektif dan efisien. 3.2 Metode 3.2.1 Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Model konseptual dibangun didasarkan pada kerangka logis sebab-akibat, berdasar rujukan empiris pada ekosistem dan pola pengelolaan perairan yang berbeda. Analisis interaksi sistemik dibangun berdasarkan pada kerangka logis dari kemungkinan yang bisa dikembangkan pada lokasi sea-ranching. Kerangka umum tata kelola diadopsi dari kerangka umum pembangunan berkelanjutan FAO 1985, tata cara perikanan yang bertanggung jawab CCRF, tata kelola pengelolaan wilayah pesisir PEMSEA 2003 dan kerangka kerja pengkayaan stok yang bertanggung jawab Blankenship dan Leber 1995.

3.2.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini didasarkan pada kondisi dan karakteristik lingkungan perairan P Semak Daun-KAKS, DKI Jakarta. Data yang digunakan didasarkan pada data sekunder yang telah dikumpulkan dari beberapa penelitian terdahulu pada lokasi yang sama atau mendekati wilayah sea farming seperti Mansyur 2013, Kurnia 2012, Rudiyanto 2011.

3.2.3 Kondisi Wilayah Perairan Dangkal P. Semak Daun

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu KAKS merupakan wilayah kepulauan, dengan keseluruhan pulau mencapai 110 buah yang terdiri 50 pulau dengan luas kurang dari 5 ha, 26 pulau luas antara 5 sampai 10 ha dan 24 pulau mempunyai luas lebih dari 10 ha. Gugusan kepulauan di Kelurahan P Panggang, menjadi bagian dari wilayah ini. Kelurahan P Panggang, dimana P Semak Daun berada mempunyai 13 pulau termasuk Pulau Semak Daun dengan luas keseluruhan sebesar 62.10 ha. Tetapi hanya 2 buah pulau yang berfungsi sebagai pemukiman yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Pulau Semak Daun peruntukannya adalah sebagai PHU Kelurahan Pulau Panggang 2009 dalam Rudiyanto 2011. Pulau Semak Daun, memiliki luas daratan 0.50 ha yang dikelilingi karang dalam seluas 315 ha. Didalam kawasan karang dalam gosong ini sedikitnya