daratan Jakarta Marina Ancol, Kaliadem-Muara Angke, Jawa Barat Muara Gembong-Bekasi maupun Banten. Sebagian nelayan juga berpotensi untuk
menginap, sehingga berpotensi untuk meningkatkan dari pengeluaran akomodasi penginapan. Selama di lokasi sea ranching, wisatawan juga mengeluarkan biaya
untuk konsumsi. Semua aktivitas wisatawan tersebut berpotensi menggerakan ekonomi lokal.
Hasil analisis bangkitan ekonomi berdasarkan transaksi ekonomi berbasis pada aktivitas langsung maupun tidak langsung menunjukan nilai dengan range
antara Rp.827.445.922-Rp.1.310.902.616 per tahun pada periode tahun 1 sampai tahun 5. Perhitungan ini didasarkan bahwa hasil penerimaan yang diterima oleh
masyarakat lokal termasuk pengelola penjualan ikan dan penerimaan wisata dan non pengelola juga akan dibelanjakan pada ekonomi lokal setelah dikurangi untuk
belanja input yang diasumsikan hanya juvenile dan BBM. Hal ini diasumsikan dengan pola ekonomi yang relatif tertutup, karena wilayah berupa kepulauan
dimana transportasi bisa dilakukan tetapi adanya kendala jadwal dan kendala alam. Hasil analisis belanja ekonomi input non lokal berkisar antara nilai
Rp.115.358.192-Rp.146.293.805 per tahun. Belanja ini meliputi belanja untuk BBM perahu wisata dan perahu untuk pengawasan sistem sea ranching dan
pembelian input juvenile ikan kerapu macan yang tidak diproduksi lokal. Hasil analisis ini menunjukan bahwa 77.71-85.80 dari nilai ekonomi keseluruhan
penerimaan dan belanja baik langsung dan tidak langsung terkait dengan pengelolaan sea ranching dibelanjakan pada ekonomi lokal. Besaran nilai ini
berkisar antara Rp.38.074.691 sampai dengan Rp.60.958.003 per bulan Tabel 4.26. Transaksi ini akan lebih banyak dibelanjakan pada perekonomian Kel. P.
Panggang. Tabel 5.7 Nilai manfaat ekonomi sea ranching bagi perekonomian lokal
No. Uraian
Tahun 1
2 3
4 5
1. Bangkitan
ekonomi total Rupiah
768 979 255 1 136 685 198
1 215 235 949 1 132 274 506
1 090 724,861
2. Total
Kebocoran ekonomi
rupiah
131 033 515 115 358 192
146 293 805 134 368 015
115 415 891
3. Transaksi lokal
Rupiah
456 896 303 697 153 997
731 484 047 669 443 148
648 784 639
4. Transaksi lokal
per bulan rata- rata Rupiah
38 074 691 58 096 166
60 957 003 55 786 929
54 065 386
5. Proporsi
transaksi lokal dari Bangkitan
Ekonomi Total
77.71 85.80
83.33 83.28
84.90
Nilai pada Tabel 5.7, belum termasuk perhitungan pada transaksi ikutan seperti pengeluaran wisatawan untuk biaya transportasi pemberangkatan dan
pulang menuju pelabuhan pemberangkatan embarkasi di Jakarta, Jawa Barat dan Banten; dan pengeluaran akomodasi, konsumsi dan biaya lainnya selama pada
pada kawasan wisata di Kel. P. Panggang. Sehingga secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal baik pengelola sea ranching maupun
non-sea ranching.
5.3.5.3 Dampak Terhadap Keuangan Pengelolaan
Selain dampak pada ekonomi lokal secara keseluruhan pada wilayah sea ranching
Kel. P. Panggang dan sekitarnya, dampak ekonomis pengelolaan sea ranching
juga dapat dilihat secara finansial pada unit pengelola sea ranching. Berdasarkan analisis ekonomis, pengelolaan sea ranching mendapatkan
keuntungan yang bervariasi dari –Rp.2,887,881.19-Rp.26,646,592.09 selama 5 tahun. Kondisi kerugian pada tahun pertama karena adanya pola tanam untuk
menghasilkan pola penerimaan per bulan tanpa harus melewati daya dukung. Nilai ini sudah merupakan keuntungan, sehingga menjadi penerimaan keluarga
secara langsung. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan penerimaan nelayan kerapu yang melakukan penangkapan di lokasi sea ranching. Keuntungan ini
sudah memberhitungkan seluruh biaya yang timbul dalam pengelolaan. Bila kondisi sudah lebih stabil, maka keuntungan akan menjadi semakin besar karena
menurunnya biaya transaksi. Berdasarkan pada analisis diatas, maka modifikasi dari Rudd 2004 analisis
Kerangka Kerja Kelembagaan IAD dapat digambarkan dalam Gambar 5.11 sebagai berikut.
Berdasarkan Gambar 5.11, maka kelembagaan pengelolaan sea ranching dipengaruhi oleh : 1 karakteristik sumberdaya alam, fisik, karakteristik
masyarakat, modal sosial dan finansial, 2 Aturan main dan pengambilan keputusan, 3 Aksi dan situasi aksi aktorlembaga dan 4 dampak yang
ditimbulkan pada ekosistem perairan, kesejahteraan sosial masyarakat dan keuangan untuk pengelolaan.
Gambar 5.11 Analisis kelembagaan sea ranching di perairan dangkal Semak Daun berdasar kerangka kerja IAD Sumber : Modifikasi dari Rudd, 2004
124
5.4 Analisis Rejim dan Hak Sumberdaya 5.4.1 Rejim Sumberdaya
Hasil digitasi pada peta perairan dangkal sekitar Pulau Semak Daun yang memunyai luasan 0.75 ha dan dikelilingi oleh perairan dangkal seluas seluas 678
ha Gambar 5.11. Didalam kawasan karang dalam ini sedikitnya terdapat 5 buah goba lagoon. Goba tersebut dominan terletak di sebelah timur P. Semak Daun.
Antara satu goba dengan goba lainnya dihubungkan oleh selat kecil galer sehingga memungkinkan pelayaran antar goba Kurnia 2012.
Bagian paling dominan dari karang P. Semak Daun adalah reef flat dan mud flat
. Kedalaman kawasan ini antara 0,5 – 3,0 m pada saat pasang. Sementara, pada saat surut beberapa reef flat tidak berair. Substrat reef flat berupa pasir berkarang,
baik karang hidup maupun karang mati bercampur dengan pecahan karang dan cangkang moluska yang sudah kosong. Bagian reef flat yang tidak berarus pada
bagian dasarnya bersubstrat pasir yang mengandung lumpur sehingga disebut mud flat
Mansyur 2013; Kurnia 2012. Pemanfaatan perairan di P Semak Daun bersifat pemanfaatan beragam multi-usages dan beragamnya pemangku
kepentingan dan otoritas seperti terlihat dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8 Pemanfaatan wilayah daratan dan perairan gosong Pulau Semak Daun
Sumber : Survei lapang, 2014.
Kerapu macan Ephinepelus fuscogugatus menjadi salah satu spesies tangkapan yang paling berharga di perairan dangkal Semak Daun. Berdasarkan
parameter biologi resource state dan ukuran ikan yang tertangkap, Kurnia 2012
Jenis Pemanfaatan Pemanfaat
Keterangan Penangkapan
Nelayan P Seribu Kel. P Panggang,
Kel.P Kelapa, Kel. P Harapan
Terutama pada saat musim barat Komoditas utama ikan karang, ikan hias
Budidaya Kerapu Karamba dengan
Jaring Apung Masyarakat
P Panggang
dan P
Pramuka Inisiasi dilakukan PKSPL-IPB dan Pemda
KAKS dengan spesies kerapu, bandeng, udang. Pengambilan Batu
Karang Masyarakat
P Panggang
dan P
Pramuka Untuk membangun rumah masyarakat lokal
bukan untuk komersial, berada di ujung goba Karang Lebar
Homestay Orang luar P. Seribu
Ditujukan bagi wisatawan pada hari Sabtu- Minggu dan hari libur
Resort Orang luar P Seribu
Didirikan daratan P Semak Daun, dengan amenities perairan dangkal di gosong Semak
Daun Pusat Penelitian
PKSPL-IPB Karamba penelitian marikultur dan Balai Sea-
farming untuk diseminasi hasil penelitian. Zona pemukiman Taman Nasional Laut
Kepulauan Seribu Dalam Zonasi Taman Nasional Laut Kep.
Seribu, wilayah Semak Daun termasuk dalam kategori zona pemukiman
menyatakan ikan kerapu di wilayah ini telah mengalami lebih tangkap rekrutmen. Peningkatan produktivitas perikanan dapat dilakukan dengan peningkatkan stok
agar meningkatkan jumlah rekrutmen, untuk kemudian dilaukan penangkapan kembali yang diatur regulated fishing. Pola ini merupakan sea ranching dengan
pendekatan lepas-tumbuh-tangkap sesuai daya dukung lingkungan perairannya. Hasil survei pada responden sebanyak 81,54 menyatakan optimis bahwa
model sea ranching dapat dilakukan di lokasi perairan Semak Daun. Sebanyak 44.64 responden pernah melihat usaha pelepasan stok ikan terutama kerapu di
wilayah tersebut Tabel 5.9. Tabel 5.9 Persepsi responden terhadap implementasi sea ranching
Aspek Keterangan
Persentase
Persepsi Implementasi Sea-ranching Bisa
81.54 Tidak Bisa
18.46 Adanya Kegiatan Sejenis
Sudah 44.62
Belum 45.23
Sumber : Hasil Survei 2014 Keterangan : n sampel 65
Sebanyak 59 responden mengetahui, inisitif kegiatan ini dilakukan oleh pihak diluar pemanfaat user yaitu pemerintah daerah dan PKSPL-IPB Gambar
5.12.
Gambar 5.12 Lembaga inisiatif pengembangan model seperti sea ranching di kelurahan Pulau Panggang
5.4.2 Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Perairan P. Semak Daun
Masyarakat secara umum pulau-pulau yang tidak berpenguni di KAKS dimiliki secara pribadi. Namun hanya 64 responden yang menyatakan tahu
secara jelas kepemilikan pulau tersebut Gambar 5.13. Pengetahuan mereka pada umumnya adalah pada pulau-pulau yang terdapat resort wisata yang dimiliki baik
pengusaha, pejabat public atau politisi, seperti pada P Semak Daun, P Kotok, P Kongsi, P Tengah, P Tikus.
Penangkapan merupakan hal penting bagi masyarakat KAKS yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar responden Karena pengelolaan
yang diterapkan adalah akses terbuka sehingga sebagian besar responden menyatakan penangkapan ikan di perairan P Seribu tidak perlu ijin Gambar
5.14. Kantor Suku Dinas dan tokoh masyarakat merupakan dua pihak yang tertinggi untuk mendapatkan ijin masing-masing dipilih oleh 25,81 responden
sedangkan Kantor KecamatanKelurahan masing-masing dipilih oleh 19,35 responden ; perwakilan nelayan setempat dan syahbandar masing-masing dipilih
oleh 6.5.
Gambar 5.13 Pengetahuan atas kepemilikan pulau tidak berpenghuni
Sumber : Survei 2014, n=65 Gambar 5.14 Persepsi perlunya ijin
penangkapan di perairan Pulau Seribu Sumber : Survei 2014, n=65
Terkait dengan hak untuk menangkap di perairan P Seribu, sebagian besar responden menyatakan sebagai hak masyarakat P Seribu Gambar 5.15.
Didasarkan pada : 1 isu otonomi daerah, 2 penggunaan alat tangkap yang merusak, 3 khawatir ikan berkurang. Sedangkan bagi yang mengijinkan nelayan
luar P Seribu didasarkan pada : 1 sama-sama mencari nafkah, 2 laut merupakan wilayah bebas, 3 tidak menggunakan alat merusak dan 4 harus
meminta ijin.