Perumusan Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta
yang terdiri dari tiga tahap yaitu : 1 penilaian awal dan penyusunan sasaran, 2 pengembangan riset dan teknologi, dan 3 pelaksanaan operasional dan
pengelolaan adaptif. Pada faktanya, upaya peningkatan stok baik melalui upaya restocking
maupun stock enhancement ini secara umum masih sedikit yang berhasil, karena adanya permasalahan utama : 1 tidak jelasnya tujuan intervensi
karena keterbatasan peneilitian bio-teknis sebelumnya, dan 2 kegagalan mengintegrasikan teknologi dengan skema pengelolaan yang sesuai untuk
mendorong partisipasi dan pemahaman pemangku kepentingan Bell et al., 2006. Kegagalan ini dapat dalam bentuk tidak dapat meningkatkan kelimpahan stok dan
tangkapan, atau berdampak negative terhadap populasi liar Travis et al., 1998; Hilborn, 1998. Lorenzen 2005 mengingatkan, baik pendekatan restocking, stock
enhancement , maupun sea ranching mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing, sehingga kesesuaiannya sangat tergantung pada tujuan pengelolaannya dan kondisi khusus baik biologis maupun ekonomis.
Pada sistem sea ranching terdapat beberapa subsistem penting untuk mendukung sistem ini berjalan dengan baik, yaitu subsistem ekosistem karang,
subsistem pemeliharaan rearing dan subsistem penangkapan, agar mampu memenuhi pola lepas-tumbuh-tangkap. Masing-masing subsistem tersebut akan
berinteraksi secara resiprokal karena adanya konektivitas sebagai dampak hubungan sebab akibat keterkaitan ekologis.
Secara ekologis, dalam sistem sea ranching terdapat keterkaitan yang erat antara proses budidaya berupa hatchery dan pembesaran rearing dan dengan
penangkapan. Pada pembesaran dalam bentuk karamba jaring apung floating cage
juga berpotensi melakukan pemberian pakan feeding. Hal ini bepotensi memberikan beban pencemaran berupa sisa pakan yang bepotensi berpengaruh
pada ekosistem perairan yang pada akhirnya berpotensi memberikan dampak pada planula karang. Dampak beban ini dapat bersifat dinamis yang akan dipengaruhi
oleh kondisi oseanografis yang menyebabkan terjadinya proses pergantian air di wilayah goba tersebut. Hal ini berpengaruh pada kondisi habitat ikan yang
dilepas, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil penangkapan. Disadari bahwa kawasan perairan ini sangat potensial, sehingga terdapat
pemanfaatan dan potensi pemanfaatan yang beragam. Baik bagi pemanfaatan budidaya perairan maupun non-budidaya perairan. Hal mempunyai keterkaitan
yang erat mengingat pemanfaatan tersebut melakukan pemanfaatan pada wilayah perairan yang sama, yang secara ekologis akan saling mempengaruhi.
Berdasarkan pada studi sebelumnya Kurnia 2012, wilayah perairan Semak Daun di Kepulauan Seribu sesuai untuk pengembangan sea ranching ikan kerapu
dengan pola penangkapan harvest type. Pada wilayah ini telah terdapat kegiatan sea farming yang terdiri aktivitas pembenihan, pembesaran dalam
karamba jaring apung, rumpon, pengembangan terumbu karang dan perikanan tangkap statis ramah lingkungan Adrianto et al. 2010 dalam Rudiyanto 2011.
Karakteristik sumberdaya perairan di wilayah ini bila dilihat dari sisi eksklusifitas dan rivalitas, merupakan sumberdaya perairan sumberdaya milik
bersama common pool resource. Pada sumberdaya dengan karakteristik seperti ini, akan sulit membatasi atau memilah orang yang berhak atau tidak untuk dapat
menikmati arus manfaat sumberdaya tersebut low excludability. Kosekuensi pentingnya adalah setiap pemanfaatan satu individu akan mengurangi jumlah
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh individu lain high subtractibility
sehingga bersifat competitive atau rivalry Ostrom 2002. Oleh karenanya, potensi konflik pemanfaatan juga cukup tinggi, mengingat pemanfaatan satu
sumberdaya perairan dengan karakterisitik seperti ini akan akan mempunyai potensi dampak kepada pemanfaatan lainnya.
Bila ditelaah dengan pendekatan property dan access, maka pengelolaan sumberdaya perairan di wilayah ini sekarang bersifat kombinasi dari kepemilikan
oleh negara state owned dan akses terbuka open access Regier et al.1989. Ribot dan Peluso 2003 membedakan akses access dan kepemilikan property
yang didasarkan pada bagaimana proses mendapatkan manfaat dari sumberdaya. Akses mendapatkan hak untuk memanfaatkan sumberdaya hanya didasarkan pada
kemampuan ability, yang menggambarkan kekuatan a bundle of power. Kepemilikan didasarkan pada hak right sesuai dengan klaim yang diakui.
Sehingga kepemilikan menggambarkan adanya hak yang diakui a bundle of right
, baik secara legal-formal maupun informal. Pada sisi lain, sesuai dengan domain regim pengelolaan sumberdaya akses terbuka open access, pola
pemanfaatan yang bersifat bebas keluar dan masuk free entry and exit yang didorong oleh tingkat profit yang dihasilkan.
Mengingat dalam kasus kepemilikan wilayah perairan yang dugunakan dalam kegiatan sea-farming di Kepulauan Seribu juga menjadi hak negara state
maka, perlu pengaturan secara administratif. Sehingga pola distribusi alokasi sumberdaya sumberdaya perairan untuk setiap pemanfaatan memerlukan
pengaturan administrasi, tidak bisa dilepaskan penuh dalam bentuk sebebas- bebasnya laissez-faire. Bila merujuk pada konstitusi UUD 1945 dan
amandemennya, pola penguasaan akan sumberdaya alam baik sumberdaya bumi, air dan udara yang diatasnya dikuasai oleh negara. Penafsiran konsepsi hak
menguasai oleh negara HMN seperti yang diatur dalam pasal 33 UUD 1945 oleh Mahkaman Konsititusi MK Republik Indonesia menjadi 6 hal berikut : 1
kepemilikan bukan hanya keperdataan privat tetapi juga publik oleh kolektivitas rakyat, 2 memberikan mandat kepada negara untuk menyusun kebijakan
beleid, 3 membuat tindakan pengurusan bestuurs-dad, 4 menjalan pengaturan regelen-daad, 5 melakukan pengelolaan beheers-daad dan 6
melakukan pengawasan toezichtoudens-daad. Adanya interaksi antara akses dan kepemilikan, dapat memunculkan
permasalahan konflik tentang hak. Dalam jangka panjang, permasalahan hak ini dapat memunculkan perilaku yang berpotensi pada pelanggaran yang berkaitan
dengan kepastian hak. Disamping itu, pola interaksi ini juga menimbulkan aksi dan aktivitas tertentu yang akan dilakukan oleh pelaku usaha untuk
memaksimalkan manfaatnya. Studi dan inisiasi sea ranching di Indonesia dalam sistem lepas-tumbuh-
tangkap masih sangat sedikit dilakukan. Pada sisi lain, insiasi dan implementasi kegiatan sea ranching di negara-negara lain sudah dilakukan dan beberapa negara
dengan komoditas tertentu sudah berjalan dengan baik. Pada implementasi sea ranching
, untuk menjamin bahwa juvenile dapat hidup dengan baik tanpa pemberian pakan adalah dengan melakukan pengawasan pada daerah yang
menjadi operasinya. Sehingga pertama adalah dengan melindungi wilayah perairan untuk sea ranching dari aktivitas nelayan dan masyarakat setelah juvenil
dilepas. Kedua adalah menjamin tidak adanya penangkapan sebelum waktunya. Oleh karenanya, sea ranching membutuhkan satu wilayah tertutup tertentu
demarcated, yang hanya memberikan hak kepada individu atau kelompok individu tertentu. Hak ini secara ekskulisf hanya memberikan hak pada individu
atau kelompok individu tertentu unutk memanfaatkan wilayah dalam batasan tertentu.
Hal tersebut diatas berimplikasi penting, baik kepada sistem dalam wilayah sea ranching
maupun terhadap sistem pemanfaatan dalam kawasan perairan tesebut. Demarcated right diperlukan untuk menjamin bahwa adanya insentif
dalam satu wilayah pengelolaan. Pada pola pemanfaatan akses terbuka, akan mendorong terjadinya kegagalan pasar Kapolwitz 2005 yang tidak mendorong
adanya efisiensi penggunaan sumberdaya. Sebab, pada open akses akan sulit mencegah para pihak yang tidak berkontribusi pada pengelolaan sumberdaya
untuk menikmati benefitnya free rider. Persoalan penting adalah persyaratan demarcated right potensial
mempunyai konflik dengan pola pemanfaatan yang ada yang bersifat akses terbuka. Jenis hak eksklusif apa yang dibutuhkan dalam pengembangan se-
ranching menjadi sangat penting untuk diklarifikasi. Bila dikaitkan hak menggambarkan kewenangan yang dapat dilakukan Common 1968 dalam
Schlagger dan Ostrom 1992 kewenangan seperti apakah yang diperlukan untuk mendorong sea ranching dapat berfungsi dengan baik. Persoalan lain untuk
dianalisis adalah adalah bagaimana kewenangan dan keterlibatan masyarakat dalam sea ranching, baik dalam tingkat operasional operational choice maupun
tingkat kolektif collective choice. Karena yang dibutuhkan adalah jaminan ekskulisfime bagi suatu wilayah
perairan tertentu, maka tipe hak ini dapat berupa hak pemanfaatan use right. Tetapi perlu analisis lebih lanjut kewenangan apa yang diperlukan dalam hak
pemanfaatan tersebut sesuai dengan pendekatan yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom 1992. Hak ekskulif tertentu ini diharapkan bersifat insentif bagi
individu atau kelompok individu tertentu untuk melakukan pemeliharaan dan penjagaan dengan baik. Karena adanya jaminan bahwa ikan yang dilepas dalam
sistem sea ranching akan menjadi hak mereka. Sehingga perlu analisis lebih mendalam bagaimana posisi hak ekslusif bagi pemanfaatan sumberdaya
dibandingkan dengan pola akses terbuka. Pemberian hak ini, maka system pemilahan exclusion system harus dianalisis secara cermat, atas dasar apa dan
kepada siapa hak tersebut diberikan. Sehingga perlu kepatuhan setiap stakeholder pada fungsi dan perannya
dalam sistem sea ranching. Mills et al. 2012 menyatakan bahwa beberapa persoalan penting terkait dengan sistem sea ranching adalah mengurangi
pencurian, keterlibatan yang berkelanjutan, memenuhi persyaratan ekologis dan sosial serta mengelola kejadian iklim yang ekstrim. Sementara Alban and
Boncoeur 2008 menyatakan bahwa antara penangkapan dan budidaya merupakan dua keahlian yang sangat berbeda dan sudah berkembang sendiri-
sendiri. Pada sistem sea-ranching, maka dua keahlian tersebut harus dipadukan, mengingat tujuan dari sea ranching adalah untuk meningkatkan hasil tangkapan
Lorenzen 2008, bukan untuk meningkatkan rekruitmen alamiah maupun restorasi populasi.
Pada implementasinya, masing-masing subsistem akan mempunyai pemangku kepentingan yang berbeda. Pertimbangan interaksi antar pemangku
kepentingan menjadi salah satu tahapan kritikal dalam konsep “pendekatan
bertanggung jawab” untuk pengembangan stok sumberdaya laut Lorensen et al. 2010. Seperti disebutkan oleh Alban dan Boncoeur 2008, persoalan
kelembagaan yang penting untuk penerapan sea-ranching adalah tata ruang space management
dan pengaturan akses nelayan pada sumberdaya. Persoalan ini meliputi persoalan regim pengelolaan, ekonomis fee yang harus dibayar,
keuntungan, ekonomis dan sosial, sampai dengan biaya pengelolaan Lorenzen et al.
2010 serta mengurangi akses nelayan terhadap sumberdaya Alban dan Boncoeur 2008. Hal yang mendasar adalah bahwa pola pemanfaatan tidak boleh
melebihi daya dukung wilayah tersebut baik untuk kegiatan pemeliharaan rearing maupun kegiatan penangkapan.
Karena karakteristik alamiahnya, maka sumberdaya perairan yang bersifat common pool resoources
, tidak ada yang benar-benar bersifat private property. Dalam media air tidak bisa dikontrol pengaruh satu pemanfaatan terhadap
pemanfaatan lainnya. Hal ini juga akan berdampak terhadap pada sea ranching. Pengembangan kelembagaan pengelolaan sumberdaya akan menentukan siapa
yang mengontrol sumberdaya tersebut serta teknik apa yang akan digunakan Gibbs dan Bromely 1989. Sehingga diperlukan usaha untuk mendorong
kepatuhan bersama, melalui aksi bersama collective action yang solid serta menentukan siapa yang berhak untuk masuk dalam sistem tersebut. Oleh karena
itu perlu untuk ditelaah faktor-faktor apa saja yang dapat mendorong aksi bersama dalam menjaga, memelihara dan mengembangkan sistem sea ranching.
Sehingga secara keseluruhan, permasalahan yang akan dianalisis adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana model sea ranching yang bisa diterapkan di Indonesia dengan memperhatikan karakteistik rejim pengelolaan wilayah perairan di Indonesia ?
2. Bagaimana pengendalian terhadap wilayah perairan, agar eksosistem perairan untuk sea-ranching tetap sehat sehingga pelepasan ikan tanpa pemberian
pakan berjalan dengan baik ? 3. Siapa saja pemangku kepentingan dan pola interaksi antar pemangku
kepentingan dan pelaku usaha sea ranching ? 4. Sistem regulasi seperti apa yang diperlukan untuk menjamin bahwa sea-
ranching dapat berjalan dengan baik di Indonesia ?
5. Bagaimana bentuk kelembagaan yang diperlukan untuk mengembangkan sea ranching
?