a b
Gambar 5.4 Komposisi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan a tahun 2013 dan b tahun 2014 Sumber : Diolah dari BPS KAKS 2015
Bila dilihat dari komposisi pemilik dan pekerja, maka jumlah pekerja mencapai tujuh kali lipat disbanding nelayan pemilik. Total nelayan di Kel. P.
Panggang tahun 2014 sebanyak 4 267 orang, dengan perbandingan jumlah pemilik dan pekerja adalah 1 : 7. Komposisi jumlah nelayan pemilik dan pekerja
dapat dilihat dalam Gambar 5.5.
Gambar 5.5 Proporsi nelayan pemilik dan pekerja di Kec. Kepulauan Seribu, KAKS 2014 Proporsi nelayan pemilik dan pekerja di
Kec.Kepulauan Sumber : Diolah dari BPS Kab. Administrasi Kepulauan Seribu 2015
Masyarakat Kepulauan Seribu secara umum merupakan multietnik, dimana etnik dominan pada umumnya adalah BugisMandar, Banten, Sunda dan Madura.
Semakin jauh dari daratan dominasi etnik ini akan semakin dominan. Pada pulau berpenghuni di bagian paling utara yaitu P. Sebira-Kel. P Harapan bahkan dalam
satu pulau tersebut hampir semua merupakan etnik BugisMandar. Sejarah dari etnisitas ini masih dapat ditelusuri dari jejak beberapa peninggalan benda
bersejarah yang oleh masyarakat lokal dianggap sebagai informasi tentang asal
muasal masyarakat setempat. Misalnya makan Panglima Hitam P. Tidung, makam Ratu Syarifah Fatimah yang dipercaya sebagai keturunan Arab yang berkuasa di
Kerajaan Banten, makam Raja Pandita dari Kerajaan Tidung Kalimantan, makan Habib Ali Bin Ahmad Bin Zen Al Aidid di P Panggang, makan Syarif Maulan
Syarifudin kerabat Kesultanan Banten di P.Panjang. Masyarakat lokal mengidentifikasi kelompoknya sebagai masyarakatorang
pulo , dengan pola kultur baru yang merupakan perpaduan antara kultur etnik yang
ada yang menunjukan adanya perbedaan dengan orang Betawi sebagai etnik utama di Jakarta. Bahasa yang digunakan adalah bahasa MelayuBetawi dengan
dialek khas Pulau Seribu. Sebagian besar, penduduk di Kepulauan Seribu secara umum mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya perairan laut
khususnya nelayan. Besarnya ketergantungan akan alam, mendorong adanya kesamaan kultur serta menguatkan nilai sosial sebagai unit masyarakat Pulau
Seribu yang berprofesi nelayan. Karena kondisi geografis sebagai daerah nelayan, menyebabkan pergerakanmigrasi penduduk menjadi lebih terbatas awalnya.
Sehingga kemudian terjadi pola perkawinan masyarakat dalam satu pulau dengan latar belakang etnik yang berbeda.
Sejalan dengan meningkatnya aksesibilitas, pola pergerakan penduduk juga semakin meningkat. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat kepadatan penduduk
pada pulau-pulau berpenghuni yang semakin tinggi, maka sebagian penduduk juga bermigrasi pada pulau-pulau baru. Sehingga pulau yang dihuni semakin
besar. Pada sisi lain, interaksi penduduk antar pulau juga semakin intens, sehingga terjadilah pola perkawinan penduduk antar pulau. Pada akhirnya, dengan pola ini,
maka kekerabatan penduduk antar pulau juga semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong tingkat modal sosial berupa penyatuan identitas sebagai masyarakat
pulau semakin tinggi. Akan tetapi kondisi ini juga dipengaruhi oleh dinamika sosial ekonomi
masyarakat, terutama sejak di tetapkannya wilayah Kepulauan Seribu sebagai unit administrasi sendiri yaitu Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Perubahan
struktur administrasi yang diikuti oleh peningkatan sarana dan prasarana, mendorong aktivitas ekonomi meningkat terutama terkait dengan aktivitas wisata.
Peningkatan ekonomi yang dipicu oleh aktivitas wisata juga mendorong perubahan sistem sosial serta modal sosial. Pola pinjam-meminjam alat produksi
misal perahu telah beralih menjadi transaksi berbasis uang. Pola produksi masyarakat juga telah berubah misalnya pada akhir pecan sabtu-minggu, banyak
nelayan yang tidak lagi menangkap ikan tetapi khusus melayani wisatawan baik sebagai pemandu wisata atau sebagai penyedia perahu, makanan atau hal-hal lain
yang terkait dengan wisata. Pola perubahan ekonomi ini juga berdampak pada perubahan kultur pakaian, perilaku serta pola hunian. Rumah telah berubah dari
berbasis panggung non-permanen, menjadi rumah permanen dan berkembangnya penginapan. Kondisi perubahan ini juga diikuti perubahan input
dan gaya hidup, misalnya mesin pendingin ruangan air conditioner telah menjadi kebutuhan bagi sebagian kantor, rumah tinggal dan penginapan. Namun
secara umum, identitas sebagai orang pulo masih tetap kuat.
5.3.2 Sistem Aturan Main Rules-in-use
Dalam konteks kelembagaan, hirarki analisis kelembagaan dapat dilakukan dalam tiga level yang berbeda seperti terlihat dalam Gambar berikut.
Gambar 5.6 Analisis kelembagaan dalam tiga level yang berbeda Pilihan konstitusional
Pada hirarki yang paling tinggi, terdapat pilihan konstitusional terkait dengan siapa yang akan melakukan pengelolaan atas sistem pengelolaan sea
ranching . Pilihan ini harus dilihat pada aspek pemilik otoritas atas wilayah ini
sebenarnya. Berdasarkan pada UU. No.232014 tentang pemerintahan daerah, pasal 12
ayat 3, pengelolaan kelautan dan perikanan menjadi urusan pemerintahan konkruen yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah. Bentuk spesifiknya adalah urasan pemerintahan konkruen yang bersifat urusan pemerintahan pilihan. Sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, otonomi daerah pada Provinsi DKI Jakarta, terletak
pada tingkat provinsi. Sehingga otoritas pengelolaan ruang laut termasuk wilayah sea ranching
berada pada tingkat propinsi. Berdasarkan pada pasal 19 ayat 2 Peraturan Daerah Perda No. 12012
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 Provinsi DKI Jakarta menetapkan bahwa Pulau Pramuka merupakan salah satu pusat kegiatan sekunder. Secara
lebih eksplisit dalam regulasi ini, struktur dan pola ruang untuk wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencakup pulau daratan dan wilayah
perairan. Pasal 175 menyatakan bahwa perairan laut dangkal, reefflat, gosong dan laguna dapat dikembangkan untuk menjadi wilayah wisata laut dengan
memperhatikan pelestarian lingkungan dan pelestarian TNKS sesuai dengan perundang-undangan yang ada.
Berdasarkan pasal 176 perda ini, pola ruang wilayah pesisir di KAKS mencakup : a. kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, b. kawasan sekitar
Kawasan Suaka Margasatwa Pulau Rambut, c. kawasan sekitar Cagar Alam Pulau Bokor; dan d. kawasan budi daya. Namun demikian dalam perspektif peraturan
ini, pasal 177 menyatakan bahwa Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan kawasan pelestarian alam yang meliputi wilayah perairan dan wilayah hutan
Constitutional Choice
Collective Choice
Operational Choice Physical World
Rules-in-use Culture
Pattern of Interaction – Outcome - Pressure
daratan yaitu daratan Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Penjaliran Timur. Masih dalam pasal ini ditetapkan bahwa zonasi taman nasional terdiri dari Zona Inti,
Zona Perlindungan, Zona Pemanfaatan Wisata, dan Zona Permukiman. Akan tetapi tidak ada penjelasan tambahan dimana zona-zona tersebut, apakah hanya
dalam perairan dan daratan P. Penjaliran Barat dan P. Penjaliran Timur saja atau dalam wilayah lain dalam wilayah KAKS.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 6310Kpts-II2002 tanggal 13 Juni 2002 tentang Penetapan kawasan pelestarian alam perairan Taman
Nasional Laut Kepulauan Seribu seluas 107.489 hektar di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Sedangkan zonasi wilayah TNKS menurut Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05IV-KK2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan
Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu terdiri dari zona inti I, II, dan III, zona perlindungan, zona pemanfaatan dan zona pemukiman. Lokasi masing-masing
zona tersebut mulai dari perairan pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat disebelah utara sampai dengan pulau pemukiman P Pramuka dan P Panggang di
bagian selatan. Pulau Semak Daun termasuk dalam area zona pemukiman. Bila ditelaah lebih mendalam, konsepsi kawasan TNKS pada Perda DKI
No.12012 merupakan wilayah yang hanya berimpit dengan zona inti dalam zonasi TNKS sesuai dengan Keputusan Dirjen PHKA-Departemen Kehutana
No.52014. Konsepsi kawasan TNKS menjadi lebih kabur, karena perda juga memberikan arahan adanya wilayah zonasi sesuai TNKS, tetapi tidak
mendefinisikan wilayahnya secara jelas. Pada sisi lain perda ini juga memberikan arahan bahwa pemanfaatan untuk pariwisata laut dan budidaya laut
dilakukan di luar zona inti dan zona perlindungan. Dua regulasi tersebut sekaligus memberikan kewenangan pada institusi
pelaksananya. Berdasarkan pada Perda DKI No.12012, wilayah P Semak Daun adalah dalam kewenangannya dan tidak mendefinisikan sebagai wilayah TNKS.
Karena TNKS hanya ada di wilayah perairan dan daratan P Penjaliran Barat dan Penjaliran Timur. Sebaliknya menurut SK Menteri Kehutanan No.63102002
merupakan bagian taman nasional dan Keputusan Dirjen PHKA Departemen Kehutanan No.52014 menyatakan sebagai zona pemukiman.
Menurut Perda, pada zona pemukiman juga dimungkinkan adanya budidaya laut. Pasal 180 perda ini menyebutkan bahwa hak Hak Pengusahaan Perairan
diberikan oleh gubernur selama 20 tahun yang diberikan kepada : a perseorangan, b badan hukum berdasar Badan Hukum Indonesia dan c
masyarakat setempat. Untuk perseorangan atau masyarakat diberikan secara kelompok dengan luas maksimal 1.500 m
2
kelompok. Sedangkan peraturan pemerintah PP no. 282011 tentang pengelolaan KSA dan KPA termasuk taman
nasional menyatakan bahwa pemanfaatan taman nasional hanya bisa dilakukan setelah ijin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Perda DKI No.12014 secara eksplisit mengatur adanya sea farming yang terletak pada kawasan perairan Semak Daun. Dalam konsep peraturan ini, sea
farming merupakan kegiatan budidaya perikanan. Pengelolaan kawasan sea farming
sebagaimana dimaksud , meliputi : a. hak pengelolaan kawasan; b. insentif sosial, ekonomi dan teknis; c. pengelolaan lingkungan, sumber daya
manusia, sumber daya perairan, dan ekosistem; dan d. pelaksanaan budi daya metode sea farming secara operasional dilakukan dengan memperhatikan
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pada dua aturan tersebut, maka otoritas pada wilayah tersebut bersifat ganda. Namun hal yang menarik adalah bahwa Perda DKI tersebut secara
lebih rinci memberikan arahan bahwa yang memanfaatkan sea ranching adalah masyarakat lokal. Pada tingkat constitutional, walaupun tidak adanya
kesepahaman dalam hal aturan terkait dengan status atau zona wilayah, tetapi adanya gambaran pihak yang memanfaatkan. Sehingga berdasar pilihan
konstitutional maka wilayah tersebut menjadi otoritas masyarakat lokal. Dalam konteks norma dan moralitas, maka masyarakat lokal yang paling relevan adalah
nelayan dan pembudidaya ikan. Secara konstitusional, otoritas baik TNKS maupun Pemda DKI Jakarta c.q.
KAKS, mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang mengelola wilayah sea ranching. Sehingga secara implisit juga akan menentukan siapa yang
akan membuat rumusan pengelolaan wilayah. Dalam hal pemanfaatan wilayah, pelepasan hak dari kedua lembaga tersebut bersifat legitimatif. Persoalannya
adalah ketika pemanfaatannya bertentangan dengan peruntukan wilayah yang menjadi kewenangan lembaga tersebut baik secara individual maupun bersamaan.
Sehingga pelepasan hak tersebut tidak bisa dilakukan. Bila kondisi ini terjadi maka rumusan pilihan kolektive collective choice tidak bisa dilakukan yang
pada akhirnya rules-in-use tidak bisa terbangun. Pilihan Kolektif
Pada tataran pilihan kolektif, aturan main menjadi putusan kolektif. Kolektivitas ini ditunjukan dalam bentuk kelembagaan pengelola. Agar
kelembagaan mempunyai nilai legitimasi, representasi menjadi prasyarat yang minimal harus merepresentasikan nelayan. Mengingat bahwa wilayah perairan ini
merupakan daerah penangkapan nelayan. Pilhan kolektif akan merumuskan aturan apa yang akan dipakai. Pada kasus
sea ranching , aturan ini bersifat mengikat kedalam. Tetapi implementasi sea
ranching juga membutuhkan dukungan dari aktor lain yang memanfaatkan
wilayah tersebut sebelumnya. Penerimaan acceptance aturan yang akan digunakan adopted dan menjadi rujukan dari sisi operasional, menjadi sangat
penting. Ketika pilihan konstitutional constitutional choice dianggap syah, maka aturan yang disusun sudah menjadi legitimatif, mengingat aturan itu disusun
secara koletif oleh lembaga pengelola yang dianggap legitimatif. Tetapi, karena ruang wilayah tersebut sebelumnya merupakan wilayah akses terbuka bagi
pemanfaatan lain yang tidak semua pemanfaat user menjadi bagian dari pengelolaan sea ranching, maka penerimaan aturan tersebut oleh mereka sangat
diperlukan. Keputusan dari pilihan kolektif collective choice berupa aturan main menjadi rujukan internal tetapi juga diterima dan disepakati oleh pihak eksternal.
Sehingga secara operasional akan menurunkan biaya pengawasan. Pilihan kolektif harus legitimatif yang harus memperhatikan keterwakilan
terutama secara internal. Nenadovic dan Epstein 2016 menyatakan bahwa partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya juga harus memperhatikan aspek sosial
dan historis. Aturan main yang digunakan dalam pengelolaan sea ranching adalah pengelolaan perikanan berbasis right based fisheries management. Pengelolaan
perikanan berbasis hak tersebut mencakup instrumen : pembatasan akses limited