untuk memenuhi kepentingan masing-masing. Hal ini berpotensi untuk menyebabkan adanya konflik kepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir.
Untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir yang lestari, maka harus didasarkan pada rasionalitas yang bersumber pada pengetahuan tentang
karakteristik wilayah dan pola pemanfaatannya. Visser 2004, menyatakan pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk sumberdaya perairan dangkal
memerlukan pendekatan lintas keilmuan. Hal ini didasarkan pada dua kesatuan tantangan yang meliputi : 1 keterkaitan dan kompleksitas permasalan
sumberdaya alam dan sosialnya, dan 2 pengelolaan sumberdaya pesisir membutuhkan strategi penatalaksanaan governance yang lebih tepat. Oleh
karenanya, strategi penatalaksanaan governance menunjukan adanya tiga tantangan penting yaitu 1 berpusat pada pengelolaan wilayah pesisir berbasis
pengendalian dan regulasinya, 2 isu penilaian dan 3 isu partisipasi pemangku kepentingan. Agrawal dan Gupta 2005 menemukan bahwa partisipasi yang
tinggi diperoleh dari kelompok masyarakat yang meningkat kesejahteraanya, dan untuk mendorong desentralisasi pengelolaan sumberdaya perlu dibangun
mekanisme kelembagaan yang tepat. Persoalan valuasi atas sumberdaya dan partisipasi tidak terlepas dari sistem
hak atas sumberdaya resource right pada sumberdaya pesisir, yang juga mempengaruhi perilaku pemanfaatannya. Secara umum setiap pelaku yang
bergabung dalam pemanfaatan bersama atas sumberdaya tertentu akan berusaha untuk memaksimumkan kepentingannya baik privat maupun publik Gerber et al.
2008, sehingga sangat berpotensi mendorong terjadinya konflik kepentingan antar pelaku. Salah satu permasalahan terbesar dalam pengelolaan sumberdaya
milik publik common property resource, termasuk sumberdaya pesisir adalah mendorong adanya kepatuhan dari setiap pelaku pemanfaatan yang menjamin
kelestarian sumberdaya. Secara konseptual, untuk mendorong adanya kepatuhan setiap pelaku pemanfaatan, diperlukan adanya kelembagaan yang mampu
mendorong perilaku setiap pelaku pemanfaat sumberdaya sesuai dengan kebutuhannya.
Pada sea farming yang telah dikembangkan di perairan gosong Semak Daun Kelurahan Pulau Panggang, masyarakat setempat sekarang ini menggunakan
lahan perairan untuk melakukan marikultur dengan komoditi ikan seperti kerapu dan bawal. Interaksi alamiah dalam sumberdaya perairan, menyebabkan setiap
pemanfaatan wilayah perairan yang menjadi hak satu individu tertentu, akan berpengaruh terhadap yang lainnya. Sehingga, akan saling berpengaruh, bahkan
dalam kondisi kepemilikan yang jelas pun tidak bisa menjamin adanya kepemilikan individual secara absolut. Atas dasar kondisi ini, maka perilaku
setiap individu akan sangat berpengaruh pada keseluruhan sistem. Perilaku ini diduga dipengaruhi oleh nilai ekonomi sumberdaya terhadap kepentingan setiap
individu dalam kawasan sea farming tersebut. Untuk itu, perlu dibangun aturan yang membingkai perilaku setiap individu untuk dapat besinergi dan
mengembangkan aksi bersama, dalam bentuk kelembagaan yang diterima setiap pemangku kepentingan.
Aturan yang perlu dibangun tidak hanya secara wilayah mikro micro- spatial
diterima oleh pelaku usaha dalam sistem sea farming, tetapi juga sesuai dengan aturan atau regulasi lain dalam konteks wilayah Kepulauan Seribu baik
sebagai otoritas pemerintah daerah maupun bagian dari wilayah Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu.
Berdasarakan pada hasil-hasil penelitian sebelumnya tentang keberhasilan pengelolaan sumberdaya yang bersifat sumberdaya milik bersama, maka
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan dan perilaku setiap pelaku pemanfaat sumberdaya pesisir dipengaruhi oleh dinamika sumberdaya dan
dinamika sosial masyarakatnya. Salah satu faktor penting yang diduga mempengaruhi adalah adanya hak atas sumberdaya. Pengaturan hak atas
sumberdaya pesisr yang bersifat kolektif belum diatur baik dalam peraturan pemerintah maupun undang-undang. Oleh karena itu diperlukan suatu
pengkajianpenelitian untuk merumuskan pengaturan hak tersebut baik dari sisi konsep maupun pelaksanaannya. Untuk melakukan kajian tersebut akan
dilakukan penelitian pada sitem sea ranching dengan komoditi ikan kerapu di perairan dangkal Semak Daun,Kepulauan Seribu sebagai kasus.
1.2 Perumusan Masalah
Perikanan tangkap pesisir termasuk di wilayah P Seribu telah menunjukan gejala lebih tangkap, baik secara biologis maupun ekonomis. Akibatya hasil
tangkapan cenderung menurun, dan menyebakan menurunnya kesejahteraan nelayan. Untuk bertahan pada kondisi ini, nelayan harus melakukan penangkapan
semakin jauh dari landing base. Kondisi ini membutuhan armada penangkapan dan biaya operasional lebih besar, keahlian dan kultur yang memadai. Sementara
dengan karakteristik geomorfologis wilayah berupa pulau-pulau kecil, kehidupan masyarakat akan sangat tergantung pada sumberdaya perairan. Sebagai alternative
bentuk pemanfaatan sumberdaya perairan pada kondisi penurunan hasil tangkapan, dapat dilakukan dengan pengembangan kegiatan budidaya laut
mariculture apabila kondisi ekosistem yang diduga cukup baik. Budidaya rumput laut yang dulu pernah dilakukan, sekarang ini tidak dapat
lagi dilakukan karena faktor ekologis maupun pemanfaatan ruang. Pemanfaatan lain yang potensial adalah untuk budidaya laut dengan komoditi ikan, dengan pola
karamba jaring apung floating cage. Namun, usaha ini membutuhkan input yang besar baik keahlian, modalkapital maupun pasar. Sehingga hal ini tidak
inklusif bagi kelompok masyarakat pesisir yang mempunyai keterbatasan teknis, modal dan pasar. Karena pada umumnya nelayan setempat tidak mempunyai input
ini. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengembangkan mata pencaharian alternative, yang bisa diakses oleh kelompok masyarakat khususnya nelayan,
yang semakin sulit melakukan penangkapan karena penurunan hasil tangkapan yang diikuti oleh meningkatnya biaya operasional.
Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha meningkatkan stok untuk meningkatkan hasil tangkapan nelayan, dalam bentuk sea ranching. Sea ranching
secara prinsip merupakan usaha untuk melepaskan stok pada eksosistem perairan tertutup tertentu untuk kemudian ditangkap setelah periode tertentu, yang dikenal
dengan sistem melepasmenaruh put, membesarkan grow dan memanen take. Untuk mengembangkan sea ranching, maka harus dilakukan peningkatan stok,
karena stok alam sudah berkurang. Pada akhirnya stok yang telah berkembang pada ukuran tertentu akan ditangkap, sehingga terjadi penangkapan pada perairan
yang bersifat semi tertutup dengan dilineasi perairan tertentu dapat dilakukan Bell et al. 2006.
Menurunnya hasil tangkapan ikan di wilayah ini diduga dipengaruhi oleh menurunnya biomasa ikan bertelur sampai dibawah tingkat yang dibutuhkan dan
kerusakan habitat yang mendukung ekosistem perikanan pantai. Untuk meningkatkan produktivitas perikanan tangkap pantai dalam jangka panjang dapat
dilakukan dengan mengurangi upaya penangkapan, mengurungi kelebihan kapasitas, dan menyusun kelembagaan untuk menciptakan hak kepemilikan
property right maupun insentif lain bagi pengelolaan yang lebih baik Pauly et al.
2002; Garcia dan Grainger 2005. Namun usaha ini merupakan pekerjaan
berat, karena harus menghilangkan atau mengurangi mata pencaharian nelayan yang akan dikompensasi ketika sumberdaya sudah pulih kembali Bell et al.
2006. Secara prinsip, peningkatan produktivitas perikanan tangkap dapat
dilakukan dengan dengan upaya peningkatan stok. Peningkatan stok dapat dilakukan dengan : a restocking yaitu upaya pelepasan kembali juvenil hasil
budidaya untuk mengembalikan jumlah biomasa ikan bertelur spawning stock biomass
sampai pada tingkat perikanan yang mampu mendukung tingkat penangkapan yang normal, b stock enhancement yaitu pelepasan juvenile yang
mampu mengatasi keterbatasan rekruitmen Bell et al. 2006. Kemampuan restocking
dan stock enhancement ini secara garis besar tapi tidak seluruhnya dipengaruhi oleh kemampuan teknologi untuk menghasilkan menghasilkan
juvenile dari pembenihan. Walaupun teknologi ini secara prinsip didasarkan pada teknologi budidaya perikanan, tetapi juga memerlukan teknologicara untuk
melepaskan juvenile ke alam agar meningkatkan jumlah populasi dan hasil tangkapan.
Disamping restocking dan stock enhancement, untuk mendukung peningkatan produktivitas perikanan tangkap dengan meningkatkan populasi stok,
juga dapat dilakukan dengan sea ranching Bell et al. 2006; Bell et al. 2008, yang merupakan pelepasan juvenile ke alam bukan untuk meningkatkan jumlah
biomasa stok ikan yang bertelur, tetapi akan ditangkap kembali pada ukuran tertentu. Tujuan sea ranching adalah untuk memaksimalkan produksi somatic
production dari ikan komersial atau jumlah ukuran ikan ikan yang boleh
ditangkap atau seringkali memanipulasi populasi yang secara alamiah tidak dapat dicapai melalui proses rekruitmen alamiah Lorenzen 2008. Sehingga sea
ranching akan dilakukan pada kondisi dimana tidak ada atau rendahnya
rekruitmen secara alamiah, yang disebabkan oleh tingginya penangkapan atau tidak adanya habitat peneluran atau pengasuhan. Pengembangan sea ranching
merupakan satu usaha konservasi yang dapat dilakukan untuk menghindari penurunan sumberdaya dan merestorasi sumberdaya yang sudah tereksploitasi
secara berlebihan Anand dan Saundarapadian 2011. Karena tujuan untuk ditangkap kembali, maka seringkali stok yang steril infertile justru digunakan
ketika proses rekruitmen alamiah tidak diharapkan Lorenzen et al. 2010. Upaya peningkatan stok sumberdaya laut adalah satu kesatuan set
pendekatan pengelolaan yang melibatkan pelepasan organisme yang dibudidaya untuk meningkatkan atau merestorasi perikanan. Upaya ini harus dilakukan
dengan memenuhi prinsip-prinsip “pendekatan yang bertanggung jawab” Blenkenship dan Leber 1995 yang disempurnakan oleh Lorenzen et al. 2010,
yang terdiri dari tiga tahap yaitu : 1 penilaian awal dan penyusunan sasaran, 2 pengembangan riset dan teknologi, dan 3 pelaksanaan operasional dan
pengelolaan adaptif. Pada faktanya, upaya peningkatan stok baik melalui upaya restocking
maupun stock enhancement ini secara umum masih sedikit yang berhasil, karena adanya permasalahan utama : 1 tidak jelasnya tujuan intervensi
karena keterbatasan peneilitian bio-teknis sebelumnya, dan 2 kegagalan mengintegrasikan teknologi dengan skema pengelolaan yang sesuai untuk
mendorong partisipasi dan pemahaman pemangku kepentingan Bell et al., 2006. Kegagalan ini dapat dalam bentuk tidak dapat meningkatkan kelimpahan stok dan
tangkapan, atau berdampak negative terhadap populasi liar Travis et al., 1998; Hilborn, 1998. Lorenzen 2005 mengingatkan, baik pendekatan restocking, stock
enhancement , maupun sea ranching mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing-masing, sehingga kesesuaiannya sangat tergantung pada tujuan pengelolaannya dan kondisi khusus baik biologis maupun ekonomis.
Pada sistem sea ranching terdapat beberapa subsistem penting untuk mendukung sistem ini berjalan dengan baik, yaitu subsistem ekosistem karang,
subsistem pemeliharaan rearing dan subsistem penangkapan, agar mampu memenuhi pola lepas-tumbuh-tangkap. Masing-masing subsistem tersebut akan
berinteraksi secara resiprokal karena adanya konektivitas sebagai dampak hubungan sebab akibat keterkaitan ekologis.
Secara ekologis, dalam sistem sea ranching terdapat keterkaitan yang erat antara proses budidaya berupa hatchery dan pembesaran rearing dan dengan
penangkapan. Pada pembesaran dalam bentuk karamba jaring apung floating cage
juga berpotensi melakukan pemberian pakan feeding. Hal ini bepotensi memberikan beban pencemaran berupa sisa pakan yang bepotensi berpengaruh
pada ekosistem perairan yang pada akhirnya berpotensi memberikan dampak pada planula karang. Dampak beban ini dapat bersifat dinamis yang akan dipengaruhi
oleh kondisi oseanografis yang menyebabkan terjadinya proses pergantian air di wilayah goba tersebut. Hal ini berpengaruh pada kondisi habitat ikan yang
dilepas, sehingga pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil penangkapan. Disadari bahwa kawasan perairan ini sangat potensial, sehingga terdapat
pemanfaatan dan potensi pemanfaatan yang beragam. Baik bagi pemanfaatan budidaya perairan maupun non-budidaya perairan. Hal mempunyai keterkaitan
yang erat mengingat pemanfaatan tersebut melakukan pemanfaatan pada wilayah perairan yang sama, yang secara ekologis akan saling mempengaruhi.
Berdasarkan pada studi sebelumnya Kurnia 2012, wilayah perairan Semak Daun di Kepulauan Seribu sesuai untuk pengembangan sea ranching ikan kerapu
dengan pola penangkapan harvest type. Pada wilayah ini telah terdapat kegiatan sea farming yang terdiri aktivitas pembenihan, pembesaran dalam
karamba jaring apung, rumpon, pengembangan terumbu karang dan perikanan tangkap statis ramah lingkungan Adrianto et al. 2010 dalam Rudiyanto 2011.
Karakteristik sumberdaya perairan di wilayah ini bila dilihat dari sisi eksklusifitas dan rivalitas, merupakan sumberdaya perairan sumberdaya milik
bersama common pool resource. Pada sumberdaya dengan karakteristik seperti ini, akan sulit membatasi atau memilah orang yang berhak atau tidak untuk dapat
menikmati arus manfaat sumberdaya tersebut low excludability. Kosekuensi pentingnya adalah setiap pemanfaatan satu individu akan mengurangi jumlah
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan oleh individu lain high subtractibility