Manfaat, Biaya dan Bangkitan Ekonomi Sea Ranching
ketersediaan alternatif sumberdaya lain untuk mendukung ekonominya. Nelayan yang mempunyai alternatif sumberdaya yang lebih besar akan merasa lebih
menerima, seperti kasus di Findlandia Gaines 2013 dan sebaliknya. Nelayan muroami yang berasal dari Kel. P. Panggang mempunyai penerimaan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan nelayan yang menangkap di perairan dangkal P. Semak Daun. Demikian pula masyarakat yang akan membangun rumah di Kel. P.
Panggang yang membutuhkan pasir dan karang untuk bahan bangunan, akan mempunyai tingkat penolakan yang tinggi. Krn belum adanya alternatif wilayah
lain yang disepakati sebagai tempat untuk mengambil karang dan pasir non- komersial.
Berdasarkan pada kondisi ini, maka pengembangan sea ranching perlu meningkatkan kapasitas kognitif antar aktor, membangun modal sosial serta
meningkatkan nilai ekonomis sea ranching bagi aktor yang terlibat. Apabila sumberdaya bersifat terbatas, maka representasi aktorlembagaan pada
kelembagaan pengelola sangat krusial untuk memastikan bahwa benefit akan kembali kepada mereka.
6.4
Model Kelembagaan untuk Sistem Sea Ranching
Berdasarkan analisis IAD didapatkan bahwa faktor asset modal menjadi salah satu input dalam kelembagaan. Dalam perspektif kerangka kerja
pengelolaan sumberdaya pesisir faktor pendorong driving force- tekanan pressure
-keadaan state-dampak impact-respons response DPSIR, analisis kelembagaan ini digunakan untuk menganalisis respons dan dampak dari adanya
tekanan yang berpengaruh pada kondisi state asset sumberdaya baik fisik maupun non-fisik. Tekanan ini dipicu oleh dinamika kondisi luar eksogenus
yang memunculkan adanya kondisi lebih tangkap perikanan pantaipesisir. Respon yang terjadi adalah upaya mengimplementasikan sea ranching pada
wilayah pesisir. Respons ini dilakukan dengan memperhatikan kondisi perairan dangkal, karakteristik masyarakat di Kel. P. Panggang dan KAKS secara umum,
pelepasan ikan dan infrastruktur yang terbangun serta modal sosial masyarakat. Respon ini perlu dikelola dengan baik, agar diperoleh dampak baik untuk kondisi
ekosistem terumbu karang, kesejateraan masyarakat dan pengembalian atas biaya yang dikeluarkan.
Pengelolaan ini membutuhkan aturan main rules-in-use yang telah diputuskan pada tingkat kolektif dalam lembaga pengelola untuk memberikan
rambu-rambu aksi dan interaksi pada aktor atau lembaga dalam arena aksi yaitu pengelolaan sea ranching. Arena aksi ini bisa menunjukan kondisi fisik yaitu
perairan dangkal P. Semak Daun yang menjadi wilayah sea ranching dan menunjukan interaksi antar individu atau lembaga yang terlibat disana. Hak
pemanfaatan berbasis wilayah TURF sebagai implementasi dari sistem pengelolaan sumberdaya berbasis hak, diputuskan secara kolektif collective
choice sebagai aturan main rules-in-use. Aturan main ini digunakan untuk
merumuskan aturan pengelolaan. Pengelola sea ranching yang memutuskan aturan main, merupakan hasil dari keputusan konstitusional constitutional
choice yang sesuai dengan regulasi nasional maupun daerah Provinsi DKI
Jakarta.
Pengelolaan berbasis hak ini akan menentukan interaksi antar aktor dalam arena aksi yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pengelolaan sea
ranching . Sehingga kelembagaan pengelola harus legitimatif, agar pengelolaan
berbasis hak ini bisa berjalan efektif dan rumusan keputusan operasional bersifat secara efektif ke dalam sistem sea ranching internal dan juga diterima oleh aktor
diluar sistem sea ranching eksternal. Berdasarkan pada analisis ini, maka legitimasi kelembagaan dalam hirarki
keputusan kelembagaan harus dimulai dari keputusan konstitusional, kolektif dan operasional. Keputusan konstitusional yang legitimatif untuk menghasilkan
keputusan yang syah atas penunjukan lembaga pengelola yang akan efektif mempunyai otorisasi mengelola wilayah demarkatif dengan pola TURF. Bila
keputusan kolektif tidak legitimatif, misalnya bertentangan dengan regulasinya maka keputusan konstitusional tidak legitimatif dan juga pada hirarki dibawahnya.
bahwa Untuk mendukung aturan operasional yang efektif maka perlu dibangun
sistem aturan yang memadai untuk menentukan siapa yang terlibat, posisi, tindakan dan imbangan biaya dan manfaatnya. Selanjutya aturan terkait dengan
pola informasi, serta agregasi secara internal untuk menghadapi pihak luar. Pada akhirnya untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan manfaat tersebut.
Sistem aturan ini akan menentukan rumusan pengelolaan lebih operasional dalam tindakan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasn dan evaluasi.
Persoalan legitimasi kelembagaan sangat fundamental, karena akan menentukan apakah kelembagaan akan mempunyai kemampuan untuk mengatur
dan menghasilkan tingkat kepatuhan atas regulasi tersebut. Secara teoritis bentuk kelembagaan yang tepat bisa berbentuk persorangan, korporasi, lembaga
masyarakat atau bahkan lembaga sosial, sepanjang mempunyai legitimasi kuat dan mempu membuat keputusan kolektif dan melakukan pengelolaan sea
ranching berdasarkan keputusan operasional yang tepat. Akan tetapi mengingat
bahwa pengembangan sea ranching adalah untuk mengatasi persoalan sosial akibat penurunan produktivitas perikanan tangkap pesisir, maka bentuk
perseorangan dan korporasi kurang tepat. Berdasarkan regulasi, ijin pengelolaan pesisir bisa diajukan oleh perseorangan, korporasi dan koperasi. Sehingga yang
memungkinkan untuk mencapai tujuan pengembangan sea ranching dan sesuai dengan regulasi yang ada maka bentuk kelembagaan pengelola sea ranching
adalah koperasi. Anggota koperasi adalah masyarakat atau nelayan lokal.