Model Pengembangan Sea ranching
perairan tetentu, maka penentuan lokasi harus dilakukan berdasarkan pertimbangan atas interaksi ini.
Potensi interaksi dalam ekosistem setelah adanya sea ranching akan menentukan kesesuain ekologis, yang memungkinkan sistem interaksi ini dapat
berkembang dengan baik. Kesesuaian ekologis akan menentukan berapa luasan wilayah yang potensial bisa dikembangkan yang selanjutnya menentukan daya
dukung bagi juvenile dari spesies yang akan dilepaskan. Analisis simulasi waktu dan jumlah pelepasan, penangkapan kembali panen yang didasarkan pada
pertumbuhan ikan dilakukan berdasarkan kondisi ekologis perairan. Penentuan spesies yang sesuai dengan lokasi disamping pertimbangan ekologis, juga
memerlukan pertimbangan ekonomis seperti adanya pasar dan mempunyai nilai ekonomis tinggi untuk menutup biaya pengelolaan dan akhirnya bisa
meningkatkan kesejahteraan. Kepastian Spatial
Ilmu dan tata kelola spasial sangat penting mengindentifikasi kesalahan manajemen perikanan Lorenzen et al. 2010. Secara spasial, wilayah sea
ranching harus mempunyai kepastian yang menjamin bahwa proses put-grow-take
dapat berjalan dengan baik. Area yang sesuai secara ekologis, menjadi rujukan untuk mendapatkan kepastian spasialnya dimana lokasi tersebut menjadi area
yang ditujukan untuk pengembanga sea ranching. Untuk mendukung kepastian spasial ini dibutuhkan kebijakan legal dari otoritas setempat, sehingga wilayah
perairan untuk sea ranching menjadi objek demarcated fishing right bagi pengelolanya. Basis legal harus merujuk pada peruntukan wilayah perairan
tersebut berdasar zonasi yang telah dibangun. Kepastian spasial harus didapatkan baik dalam tata ruang mikro maupun
dalam konsep tata ruang makro wilayah pesisir. Sehingga wilayah sea ranching bebas dari intervensi, akses dan dampakeksternalitas kegiatan pihak lain
individu dan kelompok yang mengganggu proses sea ranching. Disamping adanya batas-batas yang terlihat dan bisa dipahami dengan baik, juga mengingat
medium perairan yang bersifat continuum. Sehingga dampak dari kegiatan lain akan secara efektif berpengaruh sesuai dengan pola pergerakan masa air. Agar
efektif, kepastian spasial harus legitimatif. Sistem Hak
Setiap pengelolaan sumberdaya membutuhkan rejim hak yang efektif. Sistem hak harus mendukung kepastian spasial dan insentif bagi pengelolaan.
Sistem hak ini harus mampu untuk mengeluarkan exclude dan menolak klaim benefit para pihak yang tidak berhak Hall et al. 2011; Scott 2008; Grima dan
Berkes 1989. Sistem hak harus legitimatif dan diakui secara efektif sehingga tidak membutuhkan biaya tambahan mengimplementasikannya Beare et al.
2005. Kepastian wilayah ini harus didukung oleh sistem hak, sehingga kepastian
wilayah harus menjadi bagian dari sistem hak. Sistem hak secara prinsip harus didasarkan pada sistem hak kepemilikan, bukan lagi akses. Hal ini untuk
mempermudah melakukan eksklusi exclusion, sehingga hanya pihak yang berhak yang mendapat keuntungan dari sistem ini. Pernyataan secara legal atas
hak pengelolaan wilayah perairan sea ranching untuk masyarakat lokal dari
Pemerintah KAKS akan sangat menguatkan sistem hak ini. Untuk mendapatkan hak ini, pengelola harusmengajukan ijin sesuai dengan Perda DKI no.12012 dan
UU No.12014. Disamping aspek legal, sistem hak ini juga harus memenuhi unsur moralitas. Kepastian spasial dan sistem hak harus mempunyai legitimasi
yang kuat. Dalam kasus di Indonesia, dimana rejim kebijakan secara makro masih didasarkan pada pola akses terbuka, maka diperlukan perubahan rejim hak dengan
proses yang legitimatif. Perubahan rejim yang diperlukan mencakup perubahan rejim pengelolaan, perubahan rejim hak sumberdaya dan perubahan rejim
sumberdaya. Pembahasan perubahan rejim ini dilakukan pada bab selanjutnya dari disertasi ini.
Rencana Pengelolaan Secara mendasar, sea-ranching harus didasarkan pada rasionalitas dengan
tujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Rencana pengelolaan harus secara jelas memberikan gambaran apa yang akan dilakukan selama periode tertentu
untuk mendukung pola lepas-tumbuh-tangkap yang efisien. Rejim perijinan pada UU No.12014 tentang perubahan UU No.272007 tentang pengelolaan
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa ijin pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan 20 tahun dan bisa dilakukan perpanjangan periode
pertama 20 tahun dan perpanjangan periode kedua ditentukan berdasarkan penilaian. Hal ini menunjukan bahwa adanya potensi pengelolaan dalam jangka
panjang. Sehingga rencana pengelolaan menjadi penting. Kualitas, ukuran dan kepastian sumber juvenil menjadi kebutuhan utama
Svasand 2004, mengingat sea ranching didasarkan pada pola peningkatan ikan muda secara alamiah. Teknologi yang dikembangkan harus secara meyakinkan
dapat memenuhi kebutuhan ikan untuk dilepas, mengawasi dan memanen kembali. Analisis perhitungan harus bisa secara akurat memberikan informasi
jumlah ikan yang akan dilepas, waktu pelepasan dan potensi pemanenan kembali sesuai dengan daya dukung lokasi. Rencana pengelolaan harus memberikan
gambaran jumlah nelayan yang terlibat, intensitas keterlibatannya dan target peningkatan kesejahteraannya. Berdasarkan hasil survey, sebanyak 3.09
responden menyatakan perlunya rencana pengelolaan untuk kegiatan sea ranching Tabel 5.10.
Tata Kelola Pada akhirnya sistem itu harus dikelola dan dikendalikan dengan tata kelola
yang baik. Tata kelola yang baik harus didukung oleh kelembagaan yang kuat dan otoratif, yang direpresentasikan oleh lembaga yang disetujui dan diakui serta
aturan main menjadi rujukan. Tata kelola yang efektif mensyaratkan adanya pengakuan dari otoritas legal yang lebih tinggi diwilayah tersebut terhadap
pengelolaan sea ranching. Tata kelola bisa dilihat sebagai tugas yang ditanggung bersama oleh sektor
publik dan privat, dimana batas domain diantaranya semakin kabur Symes 2014. Tata kelola sea-ranching harus sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan sebagai rujukan pengelolaan wilayah pesisir. Tata kelola sea ranching
harus sejalan dengan tata kelola wilayah pesisir seperti kerangka kerja tata kelola pesisir model PEMSEA Thia-Eng 2013, kerangka kerja pengkayaan
stok yang bertanggung jawab Blankenship dan Leber 1995 dan Panduan
Pengelolaan Perikanan Bertanggung Jawab CCRF FAO 1995 dan beberapa prinsip umum lainnya. Tata kelola sea ranching mencakup beberapa aspek
sebagai berikut. a.Legitimasi
Pengelolaan sea-ranching harus mempunyai legitimasi yang kuat baik dalam prespektif legal maupun rasional-moralitas. Dua unsur legitimasi harus
dipenuhi, mengingat dalam implementasinya sea-ranchhing membutuhkan dukungan dari para pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat.
Secara legal, pengelolaan sea ranching harus mempunyai kekuatan hukum formal yang kuat dan syah sehingga mempunyai otoritas untuk melakukan eksklusi dan
mengimplementasikan sistem hak secara efisien. Secara rasional juga harus mempunyai dasar argumentasi ilmiah yang tepat, terkait pilihan spesies, lokasi,
teknologi dan pengukuran keberhasilannya. Legitimasi juga harus mendapatkan pembenaran secara moralitas terkait dengan prinsip-prinsip umum seperti keadilan
dan kesetaraan untuk mendapatkan atau melakukan klaim manfaat dari sumberdaya. Berdasarkan data BPS KAKS 2015 pada tahun 2014 jumlah
nelayan 53.18 penduduk Kecamatan Kepulauan Seribu Utara adalah nelayan. Sehingga pengelola sea ranching harus merepresentasikan nelayan setempat.
b. Transparansi Sea-ranching
adalah salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir. Untuk meningkatkan manfaat setinggi-tingginya, maka efisiensi pengelolaan
menjadi salah satu pendorong utama. Transparansi menjadi alat untuk menuju efisiensi, dimana pengelolaan sea ranching harus bisa dipertanggungjawabkan
berdasar prinsip keutamaan terkait dengan keputusan penggunaan input dan distribusi manfaat. Penggunaan input harus merujuk pada rencana pengelolaan
yang sudah disusun dan distribusi keuntungan harus didasarkan pada kesepakatan yang disepakati dalam lembaga pengelola sea ranching.
c. Pengendalian Akses Secara prinsip pengendalian akses ditujukan untuk menjamin persyaratan
spasial bahwa sea-ranching merupakan area dengan akses terbatas demarcated. Legalitas lokasi, tata batas dan pemberian tanda, pengawasan dan sistem sanksi
atas pelanggaran menjadi instrumen utama pengendalian aksesibilitas. Untuk mendukung pengendalian ini diperlukan sistem tata batas yang jelas, pengawasan
dan sosialisasi kepada masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. d. Pendanaan Otonom dan Berkelanjutan
Sea-ranching harus didasarkan pada rasional ekonomis yang kuat,
mengingat bahwa salah satu tujuan ekonomisnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayanmasyarakat pesisir. Secara prinsip, pengelolaannya harus
mampu menghasilkan sumber-sumber pendanaan secara otonom dari proses put- grow-take
, sehingga kelestarian ekosistem juga terjaga. Kondisi ini akan mendorong pendanaan dan pengelolaan berkelanjutan. Karenanya, harus didorong
inisiatif awal pengkayaan perikanan dari nelayan user dan manajer Garaway et al.
2006, bukan peneliti. Inisiatif ini menyangkut inisiatif atas legalitas dalam bentuk perijinan, perencanaan dan implementasinya.
e. Aransemen kelembagaan Pengelolaan perikanan yang berhasil melibat kelembagaan yang
memberikan insentif pada pelaku untuk bertindak sejalan dengan konservasi Hilborn et al. 2005. Aransemen kelembagaan untuk mendukung tata kelola
yang baik mencakup aspek pelaku individual atau organisasional, dan aturan main. Pada aspek pelaku harus mencerminkan kepatutan moral etika, keadilan
dan semangat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan aspek aturan main, harus mendorong pola pengelolaan yang efisien, kepastian spasial dan
pengendalian aksesibilitas, terimplementasikannya sistem hak secara efisien dan mendorong transparansi penggunaan input dan distribusi benefit. Aransemen
kelembagaan harus dapat memberikan kesempatan untuk melakukan pengembangan kapasitas dan pengelolaan sea-ranching melalui proses yang
adaptif terhadap dinamika lingkungan dan sosial-ekonomis. Pada prakteknya, pengembangan sea ranching dilakukan dalam 8 tahapan
yang mencakup baik kegiatan survei, analisis, pembangunan sistem maupun implementasinya seperti terlihat dalam Gambar 3.14 sebagai berikut. Keseluruhan
tahapan tersebut menggambarkan pola manajemen secara keseluruhan yaitu proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi
untuk mengimplementasikan prose lepas-tumbuh-tangkap. Proses replikasi sebaiknya memperhatikan pembelajaran pada siklus yang yang sempurna tersebut.
Gambar 3.14 Alur pengembangan sea ranching di Indonesia 62