Sistem Aturan Main Rules-in-use
kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu dan dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pada dua aturan tersebut, maka otoritas pada wilayah tersebut bersifat ganda. Namun hal yang menarik adalah bahwa Perda DKI tersebut secara
lebih rinci memberikan arahan bahwa yang memanfaatkan sea ranching adalah masyarakat lokal. Pada tingkat constitutional, walaupun tidak adanya
kesepahaman dalam hal aturan terkait dengan status atau zona wilayah, tetapi adanya gambaran pihak yang memanfaatkan. Sehingga berdasar pilihan
konstitutional maka wilayah tersebut menjadi otoritas masyarakat lokal. Dalam konteks norma dan moralitas, maka masyarakat lokal yang paling relevan adalah
nelayan dan pembudidaya ikan. Secara konstitusional, otoritas baik TNKS maupun Pemda DKI Jakarta c.q.
KAKS, mempunyai kewenangan untuk menentukan siapa yang mengelola wilayah sea ranching. Sehingga secara implisit juga akan menentukan siapa yang
akan membuat rumusan pengelolaan wilayah. Dalam hal pemanfaatan wilayah, pelepasan hak dari kedua lembaga tersebut bersifat legitimatif. Persoalannya
adalah ketika pemanfaatannya bertentangan dengan peruntukan wilayah yang menjadi kewenangan lembaga tersebut baik secara individual maupun bersamaan.
Sehingga pelepasan hak tersebut tidak bisa dilakukan. Bila kondisi ini terjadi maka rumusan pilihan kolektive collective choice tidak bisa dilakukan yang
pada akhirnya rules-in-use tidak bisa terbangun. Pilihan Kolektif
Pada tataran pilihan kolektif, aturan main menjadi putusan kolektif. Kolektivitas ini ditunjukan dalam bentuk kelembagaan pengelola. Agar
kelembagaan mempunyai nilai legitimasi, representasi menjadi prasyarat yang minimal harus merepresentasikan nelayan. Mengingat bahwa wilayah perairan ini
merupakan daerah penangkapan nelayan. Pilhan kolektif akan merumuskan aturan apa yang akan dipakai. Pada kasus
sea ranching , aturan ini bersifat mengikat kedalam. Tetapi implementasi sea
ranching juga membutuhkan dukungan dari aktor lain yang memanfaatkan
wilayah tersebut sebelumnya. Penerimaan acceptance aturan yang akan digunakan adopted dan menjadi rujukan dari sisi operasional, menjadi sangat
penting. Ketika pilihan konstitutional constitutional choice dianggap syah, maka aturan yang disusun sudah menjadi legitimatif, mengingat aturan itu disusun
secara koletif oleh lembaga pengelola yang dianggap legitimatif. Tetapi, karena ruang wilayah tersebut sebelumnya merupakan wilayah akses terbuka bagi
pemanfaatan lain yang tidak semua pemanfaat user menjadi bagian dari pengelolaan sea ranching, maka penerimaan aturan tersebut oleh mereka sangat
diperlukan. Keputusan dari pilihan kolektif collective choice berupa aturan main menjadi rujukan internal tetapi juga diterima dan disepakati oleh pihak eksternal.
Sehingga secara operasional akan menurunkan biaya pengawasan. Pilihan kolektif harus legitimatif yang harus memperhatikan keterwakilan
terutama secara internal. Nenadovic dan Epstein 2016 menyatakan bahwa partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya juga harus memperhatikan aspek sosial
dan historis. Aturan main yang digunakan dalam pengelolaan sea ranching adalah pengelolaan perikanan berbasis right based fisheries management. Pengelolaan
perikanan berbasis hak tersebut mencakup instrumen : pembatasan akses limited
access atau pembatasan masuk limited entry, pembatasan input limited input
dan pembatasan output limited output. Implementasi sea ranching membutuhkan wilayah yang demarcated, pelepasan stok sesuai dengan daya
dukung dan pola penangkapan yang diatur regulated fishing. Sehingga sea ranching
harus mengadopsi tiga instrument tersebut sekaligus. Untuk mendukung prasyarat wilayah yang terlindung demarcated, maka diterapkan perikanan
berbasis hak pemanfaatan territorial TURF : territorial use right in fishing. Agar mendukung pola sea ranching dengan sistem put-grow-take, maka pengaturan
input berupa penebaran juvenile sesuai dengan daya dukung perlu diterapkan sehingga bersifat limited input. Demikian pula untuk mendukung pola penerimaan
sistem sea ranching, maka dilakukan pengaturan hasil tangkapan sehingg diterapkan pola limited output.
Hak right dalam konsep sea ranching merupakan bentuk dari hak kepemilikan property right, bukan hanya akses akses. Hak yang dimaksudkan
dalam sea ranching ini adalah kewenangan untuk mengambil atau melakukan klaim atas arus benefit dalam wilayah sea ranching. Hak pemanfaatan use right
adalah hak bagi individu atau kelompok yang telah diberi hak untuk memanfaatkanmenangkap. Sehingga pola aturan main rules-in-use dalam
pengelolaan sea ranching adalah pengelolaan perikanan berbasis hak RBFM = right based fisheries management
dengan instrument hak pemanfaatan perikanan teritorial TURF=territorial use right of fishing, sebagai bagian dari konsep hak
kepemilikan yang bersifat limited entry. Berdasarkan perspektif hak kepemilikan property right, bentuk hak ini
didasarkan pada konsep hak kepemilikan Schlagger dan Ostrom 1992. Pemilik hak right holder dari pengelolaan sea ranching sesuai dengan regulasi yang ada
adalah proprietor yang memiliki bebreapa bentuk seperti hak memasuki access
, mengambil, mengelola dan mengeluarkan yang tidak berhak exclusion
. Hak untuk menjual atau menyewakan alienation tidak menjadi bagian dari konsep ini, mengingat bahwa kewenangan ini merupakan kewenangan
negara melalui pemerintah yang syah. Sehingga kelompok sea ranching hanya sebagai pemilik hak proprietor, bukan sebagai pemilik sumberdaya resource
owner . Berdasarkan perspektif regulasi pengelolaan pesisir yaitu UU No.272007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan UU No.12014 tentang perubahan UU No.272007, hak ini diterjemahkan menjadi izin
pengelolaan UU No.12014 pasal 16. Namun demikian turunan dari konsep izin pengelolaan ini seperti mengenai syarat, tata cara pemberian, pencabutan, jangka
waktu, luasan, dan berakhirnya izin belum dirumuskan, dimana dalam undang- undang tersebut diamanat dengan Peraturan Pemerintah.
Merujuk pada pasal 22A, yang berhak mengajukan izin pengelolaan adalah perseorangan, korporasi dan koperasi. Mengingat semangat pengembangan sea
ranching adalah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal, maka bentuk
koperasi merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang sesuai. Anggota koperasi adalah nelayan lokal, yang juga sesuai dengan pasal 164 Perda DKI
No.1212 tentang RTRW 2030 tentang para pihak yang boleh memanfaatkan wilayah ini sebagai sea farming.
Scott 2008 menyatakan bahwa setiap hak kepemilikan property mempunyai enam karakteristik yaitu ekslusivitas exclucivity, durasi duration,
fleksibiltas flexibilty, kualitas hak quality of title, dapat dipindahkan
transferability dan dapat dibagi divisibility. Ekslusivitas menunjukan adanya kemandirian dari pemegang hak milik, yang menunjukan adanya kebebasan
pemilik dari hilang atau biaya yang timbul atas adanya intervensi pihak lain. Ekslusivitas menunjukan dua hal, yaitu a pengurangan atau pelanggaran dari
intervensi fisik terhadap pemilik hak ata pemanfaatan sumberdaya yang menyebabkan mereka harus berbagi share dengan pemilik lainnya, b
menunjukan tingkat kemandirian atau kebebasan pemilik sumberdaya dari aturan pemerintah yang dapat mengurangimembatasi pemanfaatan sumberdaya.
Durasi dapat diukur dengan lamanya waktu hak milik memberi hak tiga bentuk kepemilikan pengelolaan, penguarangan atau menerima manfaat atas
sumberdaya. Dalam persepsi hukum modern, hak kepemilikan sederhana yang bebas free-simple tenure bersifat tidak terhingga atau permanen. Penyewaan
leases, lisensi licences dan kepemilikan yang lain bersifat waktu tertentu determinate, terbatas pada waktu yang disetujui sesuai transaksi persetujuan
privat atau persetujuan legislasi bagi pemilik sumberdaya publik atau negara. Durasi dapat dilihat dalam 2 cara, yaitu :
a. Menunjukan periode waktu tertentu dimana pemilik hak milik dapat melakukan kegiatan yang berdampak perbaikan atau mengurangi sumberdaya
seperti penanaman pohon atau bahkan penambangan barang tambang. b. Mengukur periode waktu dimana orang kedua harus menunggu sampai
pemanfaat pertama selesai menguasainya. Berdasarkan pasal 19 UU No.272007, pola ijin pengelolaan wilayah
persisir dapat diberikan selama 20 tahun yang bisa diperpanjang 20 tahun pada perpanjangan pertama dan dapat diperpanjang tahap kedua sesua dengan
peraturan yang ada. Sebaliknya Perda DKI No1212 tidak menyebutkan secara jelas jangka waktu izin hak pemanfaatan wilayah laut di KAKS untuk sea
farming . Sehingga jangka waktu pengelolaan sea ranching dengan pola TURF ini
dapat dilakukan 20 tahun dan dapat diperpanjang pertama 20 tahun dan perpanjangan kedua dilakukan penilaian.
Fleksibilitas menunjukan tingkat sampai dimana kekuatan power dan kewajiban obligation bagi pemilik tanpa mengurangi kualitas kepemilikan. Bila
pemilik tidak mempunyai fleksibilitas zero flexibility, maka pemilik tidak mempunyai pilihan terhadap tiga bentuk kepemilikan three of ownership yaitu
pengelolaan management, pengurangan disposal dan menerima penghasilan atau manfaat. Bila terdapat fleksibiltas, maka pemegang hak dapat melakukan
renegosiasi aturan selama masa kepemilikannya. Mungkin salah satu bentuk yang sangat fleksibel adalah ijin atau lisensi untuk memanfaatkan lahan milik publik
atau sumberdaya akses terbuka open access resources yang hanya melalui kekuatan peraturan pemerintah yang dapat mengurangi tingkat fleksibiltas
tersebut. Dalam konsep pengelolaan sea ranching, kekuatan hak ini hanya sampai dengan mengeluarkan orang yang tidak berhak exclusion bukan
memindahtangankan alienation. Bila pengelola sudah tidak mampu atau masa waktu hak kepemilikan habis, maka hak ini dikembalikan lagi kepada otoritas
legal yang ada di wilayah yaitu KAKS dan TNKS. Kualitas kepemilikan pada tingkat tertentu menunjukan sebuah hak untuk
membuktikan menjamin terhadap klaim kepemilikan orang lain. Sehingga pengelola sea ranching sebagai proprietor dari TURF untuk wilayah sea
ranching , dapat menghalangi klaim dari pihak lain. Menurut Scott 2008
berdasarkan sejarahnya, maka kualitas kepemilikan dipengaruhi oleh tiga kondisi yaitu : legitimasi, kemampuan implementasinya enforceability dan kebebasan
dan jaminan dari pengambil alihan secara paksa seizure oleh pemerintah. Oleh karenanya, pengelola sea ranching harus mendapatkan prasyarat ini. Sehingga
pengelola sea ranching merasa yakin akan mendapatkan manfaat dari pengeloaan sea ranching
dan tidak mengalami perampasan yang mengurangi rasa kepemilikan ini. Kepemilikan yang berkualitas tinggi akan memberikan
keyakinan pada pemegang hak bahwa dia dapat menjaga atau meningkatkan kepemilikannya.
Pemindahan hak transferability juga disebut sebagai alienability. Meningkatnya transferability akan meningkatkan kepemilikan, dimana pemilik
dapat mewariskan, memperdagangkan atau menjual sebagian dari sumberdaya miliknya. Dalam literatur ekonomi, transferability merupakan satu aspek yang
utama indispensable dari hak kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya. Pasar yang sempurna mensyaratkan adanya transferability yang sempurna. Namun
demikian, transferability yang sempurna sangat jarang karena adanya halangan yang terkait dengan kebiasan adat custom, hukum laws dan kontrak
contracts. Bahkan di Eropa, transferability merupakan penemuan modern, khususnya sejak abad ketujuh belas Scott 2008. Secara umum, transferability
menjadi salah satu factor keberhasilan pengelolaan berbasis hak right based management
termasuk TURF. Akan tetapi bahwa sesuai dengan regulasi bahwa pemilik sumberdaya adalah negara yang direprensentasikan melalui pemerintah,
dan status pengelola adalah sebagai proprietor bukan sebagai pemilik sumberdaya, maka transferability tidak bisa diaplikasikan dalam sea ranching. Hal ini
berimplikasi penting baik secara sosiologis maupun ekonomis, seperti pewarisan dan penjaminan collateral. Bila pengelola sudah memenuhi batas waktu
pengelolaan atau tidak mampu meneruskan kembali pengelolaannya, maka hak pengelolaan ini dikembalikan lagi kepada negara melalui pemerintah dan tidak
boleh dipindahtangankan kepada pihak ketiga. Divisibility
disebut juga sebagai partibility, fragmentability atau separability
. Secara ekonomis, divisibility merupakan bagian subset dari transferability yang menunjukan kemampuan untuk mengalihkan sebagian dari
hak milik. Biasanya konsepsi transferability dan divisibility sangat umum dalam konsep alokasi sumberdaya. Divisibility dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
a horisontal, b vertikal dan c pemanfaatan ganda multiple-use. Pembagian secara vertikal termasuk pembagian secara temporal dari satu bagian oleh para
pengusaha atau pemilik berikutnya. Pembagian secara vertikal menunjukan adanya klaim intertemporal antar satu dengan yang lainnya dengan konsepsi “time
in the land ”. Pembagian secara horizontal mengijinkan seorang pemilik untuk
memecah hak miliknya menjadi bagian yang lebih kecil melalui penyewaan, pembelian, pemberian atau penjualan. Pemanfaatan ganda mulitiple-use
divisibility adalah karakteristik yang memungkinkan seorang pemegang hak
membagi kekuasaannya untuk menghasilkan hak yang terpisah pada setiap pemanfaatan lahan atau sumberdaya.
Bentuk kelembagaan yang diduga paling memungkinkan berdasar regulasi UU No.12014, UU No.272007 dan Perda DKI No.12012 adalah koperasi
dengan anggota nelayan atau pembudidaya yang berasal dari masyarakat lokal. Sehingga pola diversibility yang memungkinkan hanya pola pembagian secara
vertical, yang menunjukan adanya perubahan keanggotaan koperasi bila ada satu individu yang keluar dari sistem keanggotaan tersebut.
Pilihan Operasional Pilihan operasional operational choice merupakan turunan dari pilihan
kolektif, yang berhubungan langsung dengan kegiatan pengelolaan sea ranching. Pada pilihan operasional, mengikuti aturan main yang dibangun pada tingkat
kolektif. Rumusan pilihan operasional merupakan turunan agar konsep pengelolaan perikanan berbasis hak dapat diimplementasikan.
Agar pola put-grow-take bisa berjalan dengan baik, pengendalian input dilakukan dengan pengendalian jumlah ikan yang ditebar harus sesuai dengan
daya dukung. Sesuai dengan penelitian sebelumnya Kurnia 2012, dengan pola sea ranching
harvest type, jumlah penebaran maksimal ikan kerapu macan dalam wilayah adalah 4 000 ekor ukuran ikan 17 cm. Hal ini merupakan pola
pengendalian input. Untuk menunjang keberlanjutan sistem, maka penebaran dilakukan tidak dalam satu kali penebaran tetapi dengan pola penebaran yang
berbeda antar goba Semak Daun, Kucing, Karang Sempit dan Karang Lebar. Penebaran masing-masing wilayah perairan dalam goba tersebut berbeda-beda
tergantung daya dukung perairannya. Pengendalian output berupa panen harvest dan pemanfaatan untuk wisata
pancing dan snorkeling mengikuti pola panen. Sehingga jumlah ikan yang dipancing akan dikendalikan dengan jumlah ikan total yang akan dipanen,
sedangkan jumlah wisatawan snorkeling disesuaikan dengan daya dukung yang sudah dihitung dalam penelitian Purnomo 2014.
Pada tingkat operasional ini perlu disusun aturan main yang lebih rinci terkait hal-hal diantaranya sebagai berikut :
1. Peranan dan fungsi masing-masing individu dalam kelembagaan sea ranching
yang terkait dengan struktur dan hirarkinya masing-masing. 2. Sistem aturan dalam pengelolaan
3. Strategi pengelolaan dan integrasi dari pengelolaan ikan put-grow-take dan wisata pancing dan snorkeling.
4. Strategi pengawasan baik secara internal maupun eksternal. 5. Strategi penegakan aturan baik secara internal maupun eksternal.
Sistem aturan tersebut dalam level pilihan operasional adalah sebagai berikut.
1. Aturan tata batas boundary rules
Pada tingkat keputusan kolektif, aturan tata batas mencakup batas-batas yang menjadi wiliayah demarkatif sesuai dengan TURF untuk pengelolaan sea
ranching . Dalam kolektif ini, wilayah demarkatif mencakup seluruh wilayah
perairan dangkal disekitar P Semak Daun yang meliputi wilayah perairan Goba Karang Sempit, Goba Kucing, Goba Semak Daun dan Goba Karang Lebar selain
yang menjadi wilayah pengambilan karang dan pasir tradisional. Pada tataran operasional maka perlu diberikan tanda rambu-rambu berupa
pelampung buoy yang dapat dengan mudah dikenali sebagai wilayah sea ranching
. Bila diperlukan diberikan tanda-tanda peringatan tentang otoritas dan penggunaan wilayah perairan ini. Secara eksplisit, juga perlu diberikan informasi
siapa saja yang boleh berhak untuk memasuki wilayah ini dan melakukan aktivitas pengelolaan sea ranching.
2. Aturan posisi position rule Aturan posisi secara kolektif ini merupakan aturan main secara internal
yang memberikan penjelasan posisi setiap anggota dalam kelembagaan sea ranching
, serta pihak lain yang menjadi bagian pengelolaan. Secara operasional, aturan ini terefleksikan dalam struktur dan hirarki kelembagaan. Sesuai dengan
regulasi yang ada, maka struktur dan hirarki ini merujuk pada kelembagaan koperasi.
3. Aturan pilihan choice rule
Aturan pilihan ini memberikan pilihan bagi individu untuk melakukan tindakan tertentu. Aturan pilihan ini akan sangat terkait dengan sistem insentif dan
disinsentif yang akan dikembangkan. Aturan pilihan ini sangat mengikat secara internal. Tetapi untuk mendapatkan dukungan dari sisi eksternal, aturan pilihan ini
juga mengikat secara eksternal. Regulasi lain bisa dijadikan sebagai rujukan atas tindakan yang dilakukan oleh pihak eksternal. Sebagai contoh, pengembangan
Area Perlindungal Laut APL yang dikembangkan secara mandiri oleh KAKS dengan tidak mendapatkan surat penetapan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan,
juga efektif dapat dilakukan karena merujuk pada undang-undang lingkungan terkait dengan sanksi. Sehingga mendorong adanya kepatuhan dari pihak
eksternal. 4.
Aturan informasi information rules Aturan informasi ini akan menentukan sekumpulan informasi apa yang akan
diterima oleh anggota. Secara keseluruhan hal ini juga akan merefleksikan pola instruksi dan pelaporan dalam struktur dan hirarki kelembagaan sea ranching.
Aturan ini sangat elementer dalam proses pengambilan keputusan dalam kelembagaan sea ranching serta implementasi keputusan tersebut dalam
operasionalnya. Aliran informasi baik perintah maupun laporan serta jenis dan karakteristik informasi perlu untuk dirumuskan. Walaupun kelembagaan sea
ranching masih merupakan struktur organisasi formal yang kecil, tetapi aturan
informasi menjadi penting karena melibatkan banyak aktor eksternal yang termasuk pemangku kepentingan lain yang lebih luas.
5. Aturan Agregasi aggregation rules
Aturan agregasi akan menentukan bagaimana pengendalian dan akses terhadap sumberdaya. Bersama dengan aturan informasi, aturan agregasi akan
terkait dengan dampak outcome dari pengembangan sea ranching. Aturan agregasi sea ranching akan menentukan bagaimana pola agregasi antar anggota
sea ranching termasuk pemanfaatan sumberdayanya. Bagaimana pola integrasi
antar anggota dalam sea ranching akan menentukan pengendalian terhadap sumberdaya berbasis teritori, khususnya ketika berinteraksi dengan pihak luar.
Modal sosial harus dibangun baik secara struktual maupun kognitif Uphoff 2002 secara komplementer.
Peran dan aturan secara internal, jaringan kerja dan hubungan antar individu, prosedur dan kebiasaan precedents merupakan sumberdaya dan
manifestasi modal sosial kelembagaan sea ranching secara structural yang perlu dibangun. Manifestasi structural harus terefleksikan dalam konsep formal maupun
informal. Sementara itu, dalam aspek kognitif mentalitas, norma, nilai, tingkah laku attitudes dan sistem kepercayaan beliefs merupakan unsur-unsur yang
harus dibangun dan dibuat dalam dalam kelembagaan internal sea ranching. Untuk membangun modal sosial tersebut dengan baik, maka harus selalu
dibangun kesamaan harapan diantara anggota sea ranching sehingga mendorong perilaku kerjasama yang menghasilkan keuntungan bersama mutual benefit.
6. Aturan timbal balik pay-off rules Aturan imbal balik akan menentukan imbangan rasio nilai bersih biaya
dan manfaat dari pengelolaan sea ranching. Aturan ini akan menentukan baik dalam konsepsi kelembagaan pengelola sebagai satu kesatuan maupun dalam
konteks mikro anggota. Dalam konteks kelembagaan pengelola, konsep akan biaya dan manfaat menjadi penting ketika menghitung rasio biaya dan manfaat
dari pengelolaan sea ranching. Sebaliknya, aturan timbal balik ini juga menjadi catatan bagi tindakan setiap anggota dalam kelembagaan pengelola sea ranching
karena akan terkait dengan sistem penghargaan reward dan hukuman punishment
. Aturan timbal balik ini akan menentukan nilai luaran dari pengelolaan sea ranching.
7. Aturan pelingkupan Scoping rules Aturan pelingkupan ini akan menentukan siapa yang mungkin, terkena atau
tidak boleh terkena dampak dari pengelolaan sea ranching. Konsepsi pengelolaan sea ranching
menunjukan bahwa luaran outcome dari sea ranching akan berpengaruh baik secara internal kelembagaan pengelola sea ranching maupun
pihak di luar sea ranching. Nilai penerimaan dari panen ikan secara langsung harvest
dan wisata pancing dan snorkling menjadi penerimaan bagi pengelola sea ranching
. Sedangkan nilai ekonomi yang dibangkitkan multiplier ekonomi dinikmati oleh masyarakat sekitar di luar pengelola sea ranching. Konsep
pelingkupan harus dirancang dari awal, sehingga teridentifikasi dengan baik kelompok mana yang mungkin, pasti dan tidak akan terkena dampak dari sea
ranching .
Sistem aturan
tersebut harus
dioperasionalkan untuk
bisa mengimplementasikan sistem sea ranching. Secara ringkas, sistem aturan yang
diperlukan dan desain kelembagaan pengaturannya dapat dilihat dalam Tabel 5.2 berikut.
Bentuk Lembaga Bentuk lembaga akan sangat terkait dengan tujuan pengembangan model
sea ranching di lokasi penelitian yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal
yang daerah penangkapannya secara empiris sudah mengalami lebih tangkap. Sehingga bentuk kelembagaan harus sesuai dengan semangat ini. Nelayan lokal
yang menjadi target dari pengembangan model ini adalah nelayan yang menangkap ikan kerapu di wilayah perairan tersebut.
Tabel 5.2 Sistem aturan untuk kelembagaan sea ranching di perairan dangkal Pulau Semak Daun
No. Kelompok
Aturan Definisi
Desain Kelembagaan Sea ranching 1.
Aturan Tata batas
Menentukan siapa yang diijinkan untuk menjadi
bagianpeserta dari
sistem sea ranching Papan informasi tentang wilayah sea
ranching berdasar pada keputusan
pemerintah daerah bupati. Pemberian rambu-rambu untuk batas
wilayah serta papan informasi siapa yang boleh memasuki wilayah sea
ranching Sistem keanggotaan koperasi pengelola
sea ranching 2.
Aturan posisi
Menentukan posisi bisa diperoleh oleh peserta.
Struktur dan hirarki keanggotaan dalam kelembagaan sea ranching koperasi
3. Aturan
pilihan Mengarahkan tindakan
yang akan dilakukan oleh
peserta dan
masyarakat Aturan terkait dengan sistem insentif
dan disinsentif misalnya sanksi bagi anggota koperasi pengelola sea
ranching .
Peringatan untuk tidak memasuki serta konsekuensi sanksi bagi pihak luar
yang melanggar berdasarkan pada keputusan Bupati.
4. Aturan
Informasi Memberikan
arahan sistem
pengambilan keputusan, perintah dan
pelaporan dalam
pengelolaan sea
ranching .
Sistem pengambilan keputusan misal melalui RAT atau mekanisme lain
yang disetujui. Sistem alur informasi dalam struktur
hirarki pengelola. Sistem alur pelaporan dalam hirarki
pengelola. 5.
Aturan agregasi
Memberikan arahan
untuk meningkatkan
tingkat kohesivitas antar anggota sebagai salah
satu cara meningkatkan pengendalian
akses sumberdaya.
Pertemuan bulanan antar anggota. Pelatihan, pertemuan dan kegiatan lain
yang meningkatkan modal sosial.
6 Aturan
Imbali-balik Menentukan imbangan
rasio nilai bersih biaya dan
manfaat dari
pengelolaan sea
ranching Menentukan nilai biaya dan manfaat
secara kelembagaan
dan bagi
masyarakat sekitar. Sistem insentif dan disinsentif bagi
anggota. Pola dan sistem pembagian benefit
bagi anggota 7.
Aturan pelingkupan
Menentukan siapa yang mungkin, terkena atau
tidak boleh terkena dampak dari pengelolaan
sea ranching Menentukan kebijakan pengelolaan
secara umum atas keseluruhan potensi wiliayah sea ranching.
Menentukan pola kerjasama dan para pihak yang akan diajak kerjasama
dengan pengelola sea ranching penyedia jasa, input
Berdasarkan pada UU No.12014 dan Perda DKI No.12012, pihak yang diperboleh mengajukan ijin pengelolaan termasuk ijin lokasi adalah
perseorangan, korporasi yang berbadan hukum nasional dan koperasi. Sehingga dengan mempertimbangkan tujuan pengembangan model sea ranching dan
regulasi terkait dengan ijin pengelolaan, maka bentuk kelembagaan yang dianggap tepat adalah koperasiKoperasi ini beranggotakan nelayan lokal yang menangkap
ikan kerapu pada wilayah sea ranching. Secara keseluruhan, mekanisme internal dalam koperasi sebagai lembaga pengelola sea ranching dapat membentuk unit
operasional pengelola sea ranching. Aturan distribusi penerimaan dari sistem sea ranching
menjadi otoritas koperasi berdasarkan mekanisme pengambilan keputusan yang diijinkan, serta merujuk sistem aturan yang dibangun secara
internal. Berdasarkan uraian diatas, secara ringkas isu-isu penting yang perlu
ditangani dengan baik terkait dengan pengambilan pilihan keputusan choice pada tiga tingkatan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 5.3 berikut.
Tabel 5.3 Isu penting pada setiap tingkat pengambilan keputusan kelembagaan sea ranching
No. Tingkatan Isu Penting
1. Pilihan
Konstitusional 1. Adanya otoritas ganda terkait dengan wilayah yaitu
Prov. DKI Jakarta dan Pengelola Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu TNKLS
2. Berdasarkan UU 232014 dan UU No.292007 otoritas pengelolaan wilayah perairan berada pada tingkat
propinsi. Perda DKI No.12012 menyatakan wilayah ini sebagai wilayah sea farming.
3. SK Menhut No. 6310Kpts-II2002 tanggal 13 Juni 2002, wiayah ini menjadi bagian dari Taman Nasional
Laut Kepulauan Seribu TNLKS. 4. Kep. Dirjen PHKA No.05IV-KK2004 tanggal 27
Januari 2004, wilayah ini menjadi zona pemukiman. 5. Siapa yang akan melakukan pengelolaan atas sistem
pengelolaan sea ranching ? Transfer of authority dari siapa ? Bagaimana menurunkan keputusan kolektif ?
2. Pilhan
Kolektif 1. Merumuskan aturan apa yang akan dipakai, yang
mengikat kedalam dan keluar. 2. Rules-in-use : pengelolaan berbasis hak right based
management dengan instrument Hak Pemanfaatan Teritorial Penangkapan Teritorial Use Right of
Fishing=TURF. 3. Bentuk lembaga yang ideal adalah koperasi dengan
anggota nelayan lokal yang mengalami masalah dengan tangkap lebih overfishing.
3. Pilihan
Operasional 1. Merumuskan aturan dan sistem untuk operasionalisasi
sea ranching. Analisis ilmiah yang telah dilakukan bisa menjadi rujukan.
2. Perlu rumusan sistem aturan rules system untuk mengoperasionalkan sea ranching.
Arena aksi dari penelitian ini adalah pengelolaan sea ranching di wilayah perairan dangkal P. Semak Daun. Tahapan pertaman dalam kerangka kerja
kelembagaan dan pembangunan IAD adalah menentukan arena aksi yang akan dianalisis. Sebab, dari arena aksi ini akan menunjukan siapa yang terlibat, relasi
diantara mereka dan factor-faktor apa yang menyebabkan mereka masing-masing beraksi. Arena aksi ini akan menentukan bagaimana aksi setiap aktor yang
terlibat. Aksi masing-masing aktor tersebut akan mempunyai dampak bagi pengelolaan sea ranching. Dampak ini juga akan dipengaruhi oleh tata kelola
terhadap sea ranching. Kombinasi factor dampak dan penata kelolaannya, akan menentukan hasilnya bagi pengelolaan sea ranching.
Komponen utama arena aksi adalah adanya aktor pelaku dan situasi aksi yang menyertainya. Arena aksi merupakan arena bagi setiap pelaku aktor untuk
melakukan aksinya yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang mempengaruhinya situasi aksi. Situasi yang mendorong aktor melakukan aksi tersebut akan
dipengaruhi peran dan tanggung jawab masing-masing aktor terkait dengan pengelolaan sea ranching yang baik, hubungan antar aktor yang terlibat serta
aturan dan insentif yang akan mempengaruhi tindakan setiap aktor. Dinamika situasi aksi tersebut akan dipengaruhi oleh tingkat kerentanannya, kejutan yang
terjadi, factor musim, serta kecenderungannya. Interaksi antara arena aksi, aksi dan hasil pada pengelolaan sea ranching dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 5.7 Keterkaitan arena aksi, aksi dan hasil dalam pengelolaan sea ranching
di Perairan Semak Daun, KAKS