Bangkitan Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis Hak Sumberdaya Sistem Sea Ranching Studi Kasus Sea Ranching Di Kepulauan Seribu Dki Jakarta

Tabel 4.25 Bangkitan ekonomi total kegiatan sea ranching di perairan dangkal Pulau Semak Daun No. Uraian Tahun Rupiah 1 2 3 4 5 1. Bangkitan ekonomi langsung 593 996 485 818 578 856 883 844 519 809 877 830 770 267 197 2. Bangkitan ekonomi tidak langsung 233 449 437 413 773 009 427 058 097 418 063 342 416 124 330 3. Bangkitan ekonomi total 827 445 922 1 232 351.865 1 310 902 616 1 227 941 172 1 186 391 528 4. Bangkitan ekonomi total per bulan 68 953 827 102 695.989 109 241 885 102 328 431 98 865 961 Sebagian besar transaksi dan bangkitan ekonomi tersebut ditransaksikan secara lokal di lokasi tersebut, khususnya Kelurahan P. Panggang. Namun terdapat beberapa transaksi yang tidak ditransaksikan secara lokal, sehingga transaksi tersebut terbawa keluar sesuai dengan asal input yang digunakan. Hal ini merupakan kebocoran ekonomi economic leakage. Kebocoran ekonomi yang terjadi berasal dari pembelian juvenil dan pembelian bahan bakar minyak baik untuk kegiatan pengawasan maupun wisata. Bangkitan ekonomi total dikurangi dengan kebocoran ekonomi merupakan nilai ekonomi yang ditransaksikan secara lokal. Hal ini menunjukan perputaran ekonomi yang dinikmati oleh masyarakat lokal. Besaran nilai bangkitan ekonomi dan transaksi lokal dapat dilihat dalam tabel 4.26. Berdasarkan Tabel 4.26 terlihat bahwa bangkitan ekonomi yang ditransaksikan pada perekonomian lokal lebih besar dibandingkan dengan dengan yang terbawa keluar sebagai kebocoran ekonomi. Hal ini bisa dipahami, wilayah sea ranching yang merupakan wilayah kepulauan sehingga secara umum transaksi dilakukan antar masyarakat setempat. Tabel 4.26 Bangkitan ekonomi, kebocoran ekonomi, dan transaksi lokal kegiatan sea ranching No. Uraian Tahun 1 2 3 4 5 1. Bangkitan ekonomi total Rupiah 768 979 255 1 136 685 198 1 215 235 949 1 132 274 506 1 090 724 861 2. Biaya Untuk Pembelian Juvenil rupiah 120 799 111 101 903 987 132 496 901 120 799 111 101 903 987 3. BBM Untuk Pengawasan rupiah 6 215 904 6 215 904 6 215 904 6 215 904 6 215 904 4. BBM untuk wisata pancing rupiah 285 000 854 301 1 197 000 969 000 912 000 5. BBM untuk wista Snorkling rupiah 3 733 500 6 384 000 6 384 000 6 384 000 6 384 000 6. Kebocoran ekonomi rupiah 131 033 515 115 358 192 146 293 805 134 368 015 115 415 891 7. Transaksi lokal rupiah 456 896 303 697 153 997 731 484 047 669 443 148 648 784 639 8. Transaksi lokal per bulan rupiah 38 074 691 58 096 166 60 957 003 55 786 929 54 065 386 9. Proporsi transaksi lokal dari bangkitan ekonomi total 77.71 85.80 83.33 83.28 84.90

4.7 Simpulan

Hasil analisis pada penelitian ini menunjukan bahwa manfaat ekonomi kegiatan sea-ranching berupa nilai manfaat yang secara langsung diperoleh dari transkasi dalam sistem sea ranching dan manfaat yang diperoleh dalam transaksi ikutan dari kegiatan sea ranching. Dari sisi transaksi langsung dalam sistem sea ranching . peran penerimaan dari kegiatan wisata berbasis sistem sea ranching mempunyai kontribusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan dari penjualan ikan. Namun demikian dari sisi unit sistem, kegiatan wisata tersebut merupakan kegiatan sekunder dari kegiatan sea ranching. Sehingga kegiatan sea ranching dalam sistem lepas-tumbuh-tangkap tetap vital bagi keseluruhan sistem sea-ranching. Mengingat sistem sea ranching merupakan sistem berbasis lepas-tumbuh- tangkap berbasis alam, maka pembatasan akses nelayan pada sumberdaya menjadi penting. Salah satunya adalah menjadikan wilayah sea ranching menjadi wilayah demarcated area. Pada faktanya kegiatan untuk menjadi wilayah tersebut sebagai demarcated area akan membutuhkan biaya tambahan untuk mengawasi wilayah tersebut. Kegiatan sea ranching juga membutuhkan pembinaan kelompok agar kegiatan tersebut menjadi lebih kuat. Pembinaan kelompok ini sekaligus menjadi tempat untuk mendapatkan informasi baik setiap anggota. Akumulasi dari biaya- biaya tambahan selain biaya untuk pembelian juvenil yang dikeluarkan untuk kegiatan menjamin berjalannya sea ranching merupakan biaya transaksi. Komponen biaya transaksi mencakup biaya-biaya untuk mendapatkan informasi, monitoring, pelatihan, resolusi konflik, menghadiri pertemuan, pengambilan keputusan dan penegakan dan penagwasan. Hasil analisis menunjukan bahwa komponen biaya transaksi terbesar adalah biaya penegakan dan pengawasan 29.57 dan biaya mendapatkan informasi 24.59. Hal ini bisa dipahami karena rejim pemanfaatan sumberdaya di luar sistem sea ranching adalah akses terbuka dan kelompok sea-ranching merupakan gabungan dari individu nelayan yang satu sama lain cenderung untuk bersaing dalam rejim akses terbuka. Penerimaan sea ranching mencakup penerimaan hasil penjualan ikan dan penerimaan rekreasional. Hasil analisis menunjukan bahwa penerimaan dari aktivitas rekreasional mempunyai peran yang sangat penting 70.56 sampai 85.01 bagi seluruh penerimaan. Namun demikian. karena kegiatan wisata ini merupakan kegiatan sekunder dari sea ranching. maka kegiatan sea ranching merupakan kegiatan yang lebih esensial. Bangkitan ekonomi yang ditimbulkan dari kegiatan sea ranching sebagian besar diperoleh dari bangkitan ekonomi langsung 70.06 sampai 76.46 dari aktivitas dalam sistem sea ranching. Kebocoran ekonomi dari bangkitan ekonomi sea ranching berkisar dari 10.15 sampai 17.06. Artinya sebagian besar bangkitan ekonomi yang terjadi dinikmati dan berdampak pada ekonomi lokal yang bervariasi dari Rp456 000 000 juta sampai Rp731 000 000 juta per tahun. atau Rp30 010 000 juta sampai Rp60 950 000 juta per bulan. Hasil analisis baik dari sisi penerimaan. biaya maupun nilai bangkitan ekonomi menujukan bahwa sea-ranching berdampak positip bagi perekonomian masyarakat lokal. Sehingga layak untuk dikembangkan. 5 ANALISIS KELEMBAGAAN MODEL SEA-RANCHING

5.1 Pendahuluan

Kelembagaan sea ranching secara umum mencakup lembagainstitusiorang sebagai pemain dari sistem sea ranching player of the game dan dan keseluruhan sistem aturan main dalam implementasi rules of the game yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antar anggotanya untuk mencapai tujuan bersama Downward et al. 1998 dalam Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006. Dua komponen tersbeut merupakan satu unit kesatuan dalam pengembangan kelembagaan untuk pengelolaan sea ranching. Kelembagaan ini sangat penting baik bagi perikanan sea ranching maupun bagi nelayan Jentoft 2004 yang mengikat secara individual maupun sosial. Walaupun secara umum mempunyai kerangka yang sama, tetapi kelembagaan dapat dipersepsikan secara berbeda tergantung dari sudut pandang perspektif. Secara umum kelembagaan dapat berupa struktur aturan, mekanisme, hirarki, konsepsi sistemik sistem aturan dan sistem organisasi, maupun non-struktur seperti budaya, kebiasaan dan sistem nilai. Pola peningkatan kapasitas perikanan tangkap dengan pola sea ranching masih merupakan konsepsi baru di Indonesia. Untuk meningkatkan perikanan tangkap perairan umum daratan di Indonesia, sudah pernah dikembangkan perikanan berbasis budidaya culture based fisheries yang sebenarnya mempunyai pola yang sama yaitu lepas-tumbuh-tangkap. Tetapi keuntungannya batasan ekosistem ecosystem boundary perairan daratan lebih mudah terdefinisikan dalam satu unit ekosistem sebagai unit pengelolaan. Sehingga implikasi kelembagaannya tidak serumit pada ekosistem perairan laut. Hal ini berbeda, dengan perairan laut yang mempunyai konektivitas tinggi dengan wilayah perairan lainnya sehingga mempunyai konsekuensi perencanaan kelembagaan yang lebih rumit. Secara prinsip, analisis kelembagaan pengelolaan sea ranching dilakukan untuk merumuskan aturan yang diperlukan rules of the game agar pola lepas- tumbuh-tangkap dari juvenil yang dilepas bisa berjalan dengan baik sehingga mempunyai nilai manfaat dan layak untuk dikembangkan; serta untuk merumuskan siapa yang berhak atas nilai manfaat tersebut. Rumusan yang berhak untuk menerima manfaat merujuk pengelola, anggota pengelola serta aktor atau lembaga yang berinteraksi dengan pengelolaan sea ranching player of the game. Tujuan utama dari sea ranching adalah meningkatkan kesejahteraan nelayan lokal yang melakukan penangkapan di wilayah perairan dangkal P. Semak Daun melalui peningkatan kapasitas perikanan tangkap dengan pola lepas-tumbuh- tangkap. Rumusan tentang aturan main dan lembagaaktor tersebut memerlukan telaah regulasi terkait dengan pengelolaan dan hak atas sumberdaya perairan laut secara umum pada level makro, sistem aturan yang perlu dibangun serta bentuk kelembagaan yang sesuai untuk menjamin bahwa manfaat dari pengelolaan sea ranching dinikmati oleh nelayan lokal dan berdampak pada ekonomi lokal. Secara faktual, pengelolaan sea ranching harus didasarkan pada pengelolaan berbasis haK, untuk ekosistem kecil. Pengelolaan sea ranching, pengelolaan ekosistem perairan dalam ukuran kecil. Gibbs dan Bromely 1989 dalam kasus