Sifat Thermal Karakteristik Pati Sagu dan Modifikasinya

66 Pada Gambar 43 dan 44 juga dapat dilihat hasil analisis spektrum inframerah terhadap pati asetat dan amilosa asetat yang menunjukkan adanya perubahan struktur kimia dibandingkan pati alami dan amilosanya. Spektrum inframerah pati alami menunjukkan adanya puncak frekuensi gelombang 3.000 – 3.500 cm -1 dan 2.950 cm -1 yang dapat disamakan dengan uluran gugus fungsi –OH dan –CH Mano et al., 2003. Spektrum infra merah pati asetat dan amilosa asetat selain menunjukkan adanya gugus fungsi –OH dan –CH, juga menunjukkan absorbsi yang kuat pada puncak frekuensi gelombang 1.750 cm -1 . Puncak frekuensi gelombang 1.750 cm -1 merupakan atribut dari uluran gugus fungsi ester karbonil C=O yang mengindikasikan terjadinya reaksi asetilasi. Reaksi asetilasi pati atau amilosa dapat menyebabkan masuknya gugus fungsi grup asetil di dalamnya, sehingga struktur kimianya mengalami perubahan. Masuk- nya grup asetil dalam granula pati ditandai dengan meningkatnya intensitas puncak frekuensi gelombang 1.750 cm -1 dan menurunnya intensitas puncak frekuensi gelom- bang 3.000 – 3.600 cm -1 atau dengan kata lain gugus C=O grup asetil meningkat, sedangkan gugus –OH grup hidroksil menurun. Menurut Xu et al. 2004, grup hidroksil pada molekul pati ditukar oleh grup asetil, yang dapat menyebabkan hilangnya kristalinitas granula pati.

2. Sifat Thermal

Sifat thermal menggambarkan perubahan yang terjadi selama pemanasan suspensi pati sampai terjadinya gelatinisasi. Sifat thermal pati sagu dan modifikasinya dianalisis dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry DSC. Grafik hasil analisis DSC disajikan pada Gambar 45, sedangkan hasil analisis secara rinci, yang meliput suhu awal T o , suhu puncak T p , suhu akhir T e dan energi gelatinisasi endoterm atau entalpi gelatinisasi ∆H disajikan pada Tabel 17. Pada Tabel 17 dapat dilihat perubahan suhu transisi T o , T p , T e dan nilai ∆H gel selama pemanasan pati sagu dan modifikasinya. Pati asetat menunjukkan suhu transisi lebih rendah dibandingkan pati sagu alaminya. Demikian juga untuk amilosa asetat yang menunjukkan suhu transisi lebih rendah dibandingkan amilosa dan pati sagu alaminya. Nilai ∆H gel yang menunjukkan energi endoterm yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi pati juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan suhu 67 transisinya. Pati yang telah dimodifikasi memiliki nilai ∆H gel yang lebih kecil dibandingkan pati alaminya, atau dengan kata lain energi endoterm yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi pati sagu yang telah dimodifikasi lebih kecil dibandingkan pati alaminya. Menurut Zobel 1992, suhu transisi selama pemanasan pati dan nilai energi endoterm ∆H gel menggambarkan kestabilan intrinsik, perbedaan ukuran dan presentase daerah kristalin dalam granula pati. Singh et al. 2005 menambahkan bahwa ∆H gel pati yang tinggi menunjukkan bahwa heliks yang dibentuk oleh cabang luar rantai amilopektin tidak lepas dan melebur selama proses gelatinisasi dan sangat kuat menyatu dalam granula alami. Gambar 45. Kurva hasil analisis sifat thermal pati sagu dan modifikasinya : a pati alami, b amilosa, c amilosa asetat, dan d pati asetat Tabel 17. Sifat thermal pati sagu dan modifikasinya Jenis Pati Sagu T o o C T p o C T e o C ∆H gel Jg Pati Sagu 66,05 79,52 80,56 -297,26 Pati Asetat 58,41 69,31 73,71 -176,01 Amilosa 66,41 75,12 76,39 -164,40 Amilosa Asetat 59,99 69,91 71,73 -148,54 Keterangan : T o : suhu awal onset temperature T p : suhu puncak peak temperature T e : suhu akhir end temperature ∆H : energi gelatinisasi endoterm gelatinization endothermic energy atau enthalpy of gelatinization a b c d 68 Hasil penelitian Ansharullah 1997 menunjukkan bahwa nilai sifat thermal pati yang tinggi merefleksikan tingkat kristalinitas yang tinggi dan struktur granula yang lebih stabil. Kristalinitas pati yang tinggi menunjukkan energi endoterm yang juga tinggi. Menurut Yang et al. 2006, secara umum struktur granula pati alami memiliki kristalinitas berkisar 15 – 45 . Proses modifikasi pati menyebabkan perubahan struktur granula dan berkurangnya sifat kristalinitas. Kedua hal tersebut yang diduga menyebabkan perubahan suhu transisi dan nilai ∆H gel , dimana suhu transisi dan nilai ∆H gel pati yang telah dimodifikasi lebih rendah dibandingkan pati alaminya.

3. Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional