45 molekul tertinggi diperkirakan keluar dan terakumulasi dengan fraksi amilopektin yang
mempunyai bobot molekul rendah. Fraksi amilosa dengan bobot molekul rendah terdeteksi sampai fraksi ke 23 – 25 Lampiran 11.
Sebaran bobot molekul fraksi 2 ini diperkirakan fraksi amilosa. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bradbury dan Bello
1993 yang melakukan analisis penentuan sebaran bobot molekul pati jagung dengan kolom HPSEC High Performance Size Exclusion Chromatography, dimana hasil
kromatogram menunjukkan adanya dua puncak fraksi utama. Fraksi pertama diperkira- kan amilopektin dan fraksi kedua diperkirakan amilosa.
1. Pengaruh Suhu Pemanasan Suspensi Pati
Pada tahap ini, proses fraksinasi dengan memodifikasi suhu pemanasan suspensi pati dan konsentrasi larutan butanol tetap 10 . Suhu pemanasan suspensi pati dalam
proses fraksinasi yang diujikan adalah 85, 90 dan 95°C, karena pada suhu tersebut pati sagu diduga telah mengalami gelatinisasi sempurna, dimana granula pati mengalami
pembengkakan maksimum, kemudian pecah dan meluruhkan amilosa dari granula pati menjadi fraksi yang larut dalam air panas.
-5 5
10 15
20 25
30
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Fraksi ke- To
ta l K
a rboh
idr a
t
Fraksi Amilosa Suhu 85 C, Butanol 10
Fraksi Amilosa Suhu 90 C, Butanol 10
Fraksi Amilosa Suhu 95 C, Butanol 10
Pati Sagu
Gambar 31. Kurva GPC pati sagu dan fraksi amilosanya pada berbagai suhu pemanasan suspensi pati
46 Hasil analisis kromatografi gel pati sagu dan fraksi amilosa hasil fraksinasi pada
suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda disajikan pada Gambar 31. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kromatogram fraksi amilosa hasil fraksinasi dibandingkan
dengan pati alaminya menunjukkan adanya pergeseran kurva ke kanan atau dengan kata lain terjadi pergeseran sebaran bobot molekul dari bobot molekul tinggi ke bobot
molekul rendah. Selain itu, pada gambar tersebut juga menunjukkan bahwa fraksinasi pada suhu pemanasan suspensi pati 85 dan 95°C menghasilkan kromatogram fraksi
amilosa dengan dua puncak yang mirip dengan kromatogram pati alaminya, sedangkan fraksinasi pada suhu pemanasan suspensi pati 90°C menghasilkan fraksi amilosa dengan
satu puncak. Jika dikaitkan dengan sebaran bobot molekulnya, suhu pemanasan suspensi pati 85°C belum dapat meluruhkan fraksi amilosa dari granula pati secara
sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen total karbohidrat pada fraksi ke 8 dibandingkan dengan fraksi yang sama pada suhu pemanasan suspensi pati 95°C.
Suhu pemanasan suspensi pati 95°C selain meluruhkan fraksi amilosa dari granula pati lebih optimal, secara simultan juga terjadi depolimerisasi fraksi amilosa berbobot
molekul tinggi menjadi bobot molekul rendah. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya persen total karbohidrat pada fraksi ke 11 dibandingkan dengan fraksi yang sama pada
suhu pemanasan suspensi pati 85°C, sedangkan suhu pemanasan suspensi pati 90°C dapat meluruhkan fraksi amilosa dari granula pati secara sempurna. Hal ini ditunjukkan
dengan hasil kromatogramnya yang hanya satu puncak dan dominan berbobot molekul rendah.
Hasil analisis rendemen dan sifat fungsional amilosa hasil fraksinasi pada suhu pemanasan suspensi pati yang berbeda disajikan pada Tabel 13, sedangkan hasil analisis
statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 13.1. Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati dari 85 menjadi 90°C dapat mening-
katkan rendemen fraksi amilosa dari 24,16 menjadi 34,64 . Peningkatan suhu pemanasan suspensi pati lebih lanjut sampai suhu 95°C ternyata menurunkan
rendemen fraksi amilosa menjadi 29,96 . Hal ini diduga karena pemanasan pati pada suhu tinggi mengakibatkan fraksi amilosa yang luruh dari granula pati lebih banyak dan
juga mengakibatkan depolimerisasi molekul pati sehingga dapat mengurangi pemben- tukan kompleks amilosa-butanol.
47 Tabel 13. Rendemen dan sifat fungsional amilosa hasil fraksinasi pada suhu pemanasan
suspensi pati yang berbeda Parameter Mutu
Pati Alami
Suhu Pemanasan Suspensi Pati °C
85 90 95 Rendemen
24,16 34,64 29,97 Kelarutan pada 70°C
25,84 49,17 23,37 47,77 Swelling power
pada 70°C 44,20 66,96 38,72 67,09
Kejernihan pasta 1 T 76,10 53,25 65,80 30,05
Freeze-thaw stability sineresis
81,67 90,50 91,67 90,67 Oil Retention Capacity
6,50 8,33 7,67 8,00
Data rata-rata dua kali ulangan
Amilosa hasil fraksinasi pada suhu 90ºC memiliki sifat fungsional, seperti kelarutan dan swelling power yang lebih kecil dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
diduga amilosa hasil fraksinasi telah mengalami perubahan struktur molekul dibandingkan fraksi amilosa yang berada dalam granula pati alami. Fraksi amilosa
dalam granula pati alami merupakan molekul yang larut dalam air, sedangkan dalam bentuk amilosa murni hasil fraksinasi merupakan molekul yang memiliki kemampuan
menbentuk heliks lebih besar dibandingkan kemampuannya larut dalam air. Amilosa hasil fraksinasi pada suhu 85ºC diduga belum murni atau dengan kata
lain belum semua fraksi amilosa luruh dari granula pati, sedangkan amilosa hasil fraksinasi pada suhu 95ºC diduga mengalami depolimerisasi dari berbobot molekul
tinggi menjadi berbobot molekul rendah. Fraksi amilosa dalam granula pati dan fraksi amilosa yang telah mengalami depolimerisasi memiliki sifat mudah larut dan
mengembang. Sifat retrogradasi amilosa ditentukan berdasarkan nilai frezee-thaw stability yang
dinyatakan dalam sineresis. Hasil analisis menunjukkan bahwa sineresis amilosa hasil fraksinasi relatif lebih tinggi dibandingkan pati alaminya. Hal ini menunjukkan
bahwa amilosa mempunyai sifat frezee-thaw stabitily relatif rendah atau sifat retrogradasinya relatif tinggi dibandingkan dengan pati alaminya.
Kemampuan amilosa menyerap minyak dinyatakan dengan nilai ORC. Hasil analisis menunjukkan nilai ORC amilosa hasil fraksinasi tidak berbeda untuk semua
perlakuan suhu pemanasan suspensi pati. Kemampuan fraksi amilosa menyerap air dianalisis berdasarkan nilai WRC. Pada Gambar 32 disajikan grafik hubungan suhu
48 pemanasan terhadap nilai WRC amilosa hasil fraksinasi pada berbagai suhu
pemanasan suspensi pati. Kemampuan amilosa menyerap air selama pemanasan menunjukkan pola yang sama, dimana peningkatan suhu pemanasan menyebabkan
peningkatan nilai WRC. Amilosa hasil fraksinasi pada suhu 90
o
C yang dominan berbobot molekul rendah, nilai WRC-nya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
amilosa hasil fraksinasi pada suhu 85 dan 95
o
C yang dominan berbobot molekul tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa amilosa yang dominan berbobot molekul rendah cenderung
menyerap air lebih tinggi.
20 30
40 50
60
60 65
70 75
80 85
90 95
100
Suhu oC WR
C 85°C
90°C 95°C
Gambar 32. Grafik hubungan suhu pemanasan
o
C terhadap nilai water retention capacity
WRC amilosa hasil fraksinasi pada berbagai suhu pemanasan suspensi pati
2. Pengaruh Penambahan Butanol sebagai Senyawa Pengompleks