V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pati sagu yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki kadar pati yang tinggi 90 bk dan komponen minor seperti lemak dan protein yang kecil 5 bk.
Kadar pati sagu Jabar 96,12 bk lebih tinggi dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya 95 bk. Persentase rasio amilosa pati sagu asal Riau 26,43 dan Jabar
26,19 lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu asal Kalsel 24,57 , Sulut 24,25 dan Irja 24,22 . Sifat fisikokimia dan fungsional pati sagu yang dianalisis
dalam penelitian ini, antara lain ukuran granula rata-rata berkisar 54,83 – 86,13 µm, nilai L tingkat kecerahan bubuk pati berkisar 72,20 – 91,31 , kelarutan dan swelling
power pada suhu 70°C berturut-turut berkisar 22,41 – 33,83 dan 33,68 – 59,57 , kejernihan pasta pati 1 berkisar 33,90 – 76,10 T, freeze-thaw stability berkisar
81,67 – 93,33 sineresis, dan oil retention capacity berkisar 5,33 – 6,50 . Pada proses fraksinasi, peningkatan suhu pemanasan suspensi pati dari 85
menjadi 90°C dapat meningkatkan rendemen amilosa dari 24,16 menjadi 34,64 , namun peningkatan suhu pemanasan suspensi pati lebih lanjut sampai suhu 95°C
hanya mampu meningkatkan rendemen amilosa dari 24,16 menjadi 29,96 . Peningkatan konsentrasi butanol sebagai senyawa pengkompleks dari 8,3 menjadi 12,5
dapat meningkatkan rendemen amilosa hasil fraksinasi dari 30,31 menjadi 39,21 . Kondisi proses fraksinasi terbaik adalah pada suhu pemanasan suspensi 90°C dan
konsentrasi butanol sebagai senyawa pengkompleks 10 . Pada proses asetilasi, peningkatan suhu reaksi asetilasi sampai 40°C menghasil-
kan rendemen pati sagu asetat yang sama, dengan nilai rata-rata 84,76 . Peningkatan suhu lebih lanjut menghasilkan rendemen pati asetat yang lebih rendah, yaitu 78,59 .
Peningkatan lama waktu reaksi asetilasi cenderung menurunkan rendemen pati asetat, tetapi meningkatkan kadar asetil dan nilai DS-nya. Untuk mendapatkan pati asetat
dengan nilai DS intermediate 0,5 – 1,8, kondisi proses asetilasi yang digunakan adalah pada suhu 40°C dan lama waktu reaksi asetilasi 75 menit.
Proses fraksinasi menyebabkan jumlah gugus –OH yang terbuka pada amilosa hasil fraksinasil lebih banyak. Hasil analisis spektrum inframerah pati asetat dan
amilosa asetat menunjukkan absorbsi yang kuat pada gugus C=O, yang tidak ditemuai
87 pada spektrum inframerah pati alami dan amilosanya. Proses asetilasi pati alami dapat
meningkatkan sifat fungsionalnya, seperti nilai frezee-thaw stability dari 83,33 menjadi 75 sineresis dan oil retention capacity dari 6,67 menjadi 8,87 . Demikian juga
dengan proses asetilasi amilosanya, dimana nilai frezee-thaw stability meningkat dari 83,33 menjadi 66,67 sineresis, dan oil retention capacity meningkat dari 6,67
menjadi 16,33 . Energi torque yang dibutuhkan selama proses pencampuran PP dengan pati
alami, pati asetat atau amilosa asetat lebih kecil dibandingkan campuran PP dengan amilosa atau dengan kata lain proses pencampurannya lebih mudah. Hasil analisis sifat
mekanik kekuatan tarik, perpanjangan putus dan nilai toughness campuran PP dengan pati alami, pati asetat atau amilosa asetat juga lebih baik dibandingkan campuran PP
dengan amilosa. Campuran PP dengan amilosa asetat menunjukkan nilai elastisitas lebih tinggi
dibandingkan perlakuan lainnya. Campuran PP dengan pati asetat menunjukkan nilai perpanjangan putus dan toughness lebih tinggi, yang berarti bahan tersebut lebih bersifat
plastis, kuat dan dapat mengabsorbsi energi lebih besar sebelum bahan tersebut putus patah dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Hasil pengujian sifat biodegradable secara kualitatif menunjukkan adanya pertumbuhan mikroba Aspergillus sp. di sekitar lembaran plastik hasil campuran PP
dengan pati dan modifikasinya 10 , sedangkan di sekitar lembaran plastik PP murni tidak ada pertumbuhan mikroba.
B. SARAN