73
E. Aplikasi Pati Sagu dan Modifikasinya sebagai Bahan Campuran Plastik Sintetik
1. Rheologi Selama Proses Pencampuran Plastik Sintetik dengan Pati Sagu dan Modifikasinya
Aplikasi pati sagu dan modifikasinya sebagai bahan campuran plastik sintetik dilakukan dengan cara mencampur pati dan polipropilen homopolymer grades dengan
perbandingan 1 : 9, tanpa adanya penambahan plasticizer, menggunakan Rheomix600P, Roller-Rotors
R600, pada suhu 200°C, kecepatan putar 40 rpm selama 5 menit. Polipropilen PP digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pemanfaatan PP yang
sangat luas sebagai bahan kemasan, peralatan rumah tangga, mainan, peralatan listrik, barang-barang kecil, komponen mobil dan lain-lain.
Selama proses pencampuran PP dengan pati sagu dan modifikasinya dalam Rheomix
600P dapat diamati energi torque yang dibutuhkan oleh ulir untuk mencampur seluruh bahan yang berada di dalamnya. Menurut Thermo Haake 2001, dua nilai yang
digunakan untuk menunjukkan energi torque yang dibutuhkan selama proses pencampuran di dalam rheomix, yaitu nilai loading point L dan minimum point M.
Nilai L menunjukkan energi torque maksimum, dimana muatan atau bahan yang akan dicampur seluruhnya sudah berada dalam alat Rheomix600P. Nilai M menunjukkan
energi torque minimum, dimana proses pencampuran telah selesai atau tercampur semuanya.
Grafik rheologi selama proses pencampuran PP dengan pati sagu dan modifikasinya dapat dilihat pada Gambar 50. Pada awal proses pencampuran terjadi
peningkatan energi torque sampai pada titik energi torque maksimum loading point pada menit ke 0,4 – 0,5. Kemudian terjadi penurunan energi torque sampai pada titik
energi torque minimum minimum point pada menit ke 5. Bentuk kurva energi torque selama proses pencampuran sangat ditentukan oleh
jenis bahan yang dicampurkan. PP, pati sagu dan modifikasinya memiliki karakteristik yang berbeda. Selama proses pencampuran PP dengan pati alami menunjukkan kurva
energi torque yang lebih berfluktuasi dibandingkan pencampuran PP dengan pati modifikasinya. Hal ini diduga disebabkan karena perbedaan bentuk dan ukuran granula
pati sagu dan modifikasinya. Selain itu, juga disebabkan oleh perbedaan ukuran granula pati dan partikel PP.
74
PP + Pati sagu PP + Pati asetat
PP + Amilosa PP + Amilosa asetat
Granula pati sagu alami berbentuk oval dan ukurannya relatif besar dibanding-
kan sumber pati lainnya Swinkels, 1985 di dalam Van Beynum dan Roels, 1985. Selain itu, pati alami mempunyai ukuran granula yang lebih besar dibandingkan ukuran
partikel plastik sintetik Griffin, 1977 dan Michler, 1992. Proses modifikasi pati menyebabkan bentuk granulanya tidak beraturan dan strukturnya bersifat amorf, dimana
bentuk dan struktur granula tersebut sifat birefringent tidak tampak di bawah mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi Gambar 48. Hasil penelitian Rosa et al.
2004 menunjukkan bahwa modifikasi pati pati tergelatinisasi, struktur granulanya tidak beraturan hilangnya sifat birefringent akibat proses gelatinisasi dan menjadi
L L
M
L
M M
Gambar 50. Grafik rheologi PP + pati sagu dan modifikasinya selama proses pencampuran
M
L
75 bersifat amorf sehingga pembentukan campuran PCL dengan pati tergelatinisasi lebih
mudah dibandingkan campuran PCL dengan pati alaminya Jenis dan sifat bahan yang dicampurkan juga menentukan besarnya nilai loading
point L dan minimum point M. Hasil pengukuran kebutuhan energi torque selama
proses pencampuran PP dengan pati sagu dan modifikasinya disajikan pada Tabel 19. Pada Tabel 19 dapat dilihat bahwa proses pencampuran PP dengan amilosa hasil
fraksinasi membutuhkan energi torque loading point dan minimum point, yaitu 47,75 Nm dan 12,00 Nm, lebih besar dibandingkan proses pencampuran PP dengan pati
alaminya 40,45 Nm dan 6,36 Nm. Hal ini diduga karena amilosa hasil fraksinasi memiliki gugus –OH yang terbuka lebih banyak dibandingkan gugus –OH pada pati
alaminya. Ini sesuai dengan hasil spektrum inframerah amilosa hasil fraksinasi yang menunjukkan absorbsi lebih kuat dibandingkan pati alaminya pada puncak frekuensi
gelombang 3.000 – 3.500 cm
-1
Gambar 43 dan 44. Mano et al. 2003 menyatakan bahwa puncak frekuensi gelombang 3.000 – 3.500 cm
-1
dapat disamakan dengan uluran gugus fungsi –OH. Menurut Hart 1983, gugus fungsi –OH memiliki ikatan hidrogen
yang mempunyai sifat sangat polar karena tingginya keelektronegatifan atom oksigen. Oleh karena itu dibutuhkan kalor yang tinggi untuk menguapkan setiap molekul dan
untuk menguraikan ikatan hidrogen tersebut. Tabel 19. Nilai loading point dan minimum point pada proses pencampuran PP dengan
pati sagu dan modifikasinya Perlakuan
Energi Torque Loading Point
L Nm
Minimum Point M
Nm PP + Pati sagu
40,45 6,36
PP + Pati asetat 39,17
3,75 PP + Amilosa
47,75 12,00
PP + Amilosa asetat 41,81
3,63 Pada proses asetilasi pati atau amilosanya, gugus –OH digantikan oleh gugus
asetil, namun tidak semua gugus –OH digantikan oleh gugus asetil. Adanya gugus fungsi –OH pada spektrum inframerah pati asetat dan amilosa asetat menunjukkan
tidak semua gugus –OH pada molekul pati yang terasetilasi Gambar 43 dan 44. Berkurangnya gugus –OH pada pati asetat dan amilosa asetat menyebabkan energi
torque yang dibutuhkan selama proses pencampuran PP dengan pati asetat 39,17 Nm
76 dan 3,75 Nm atau amilosa asetat 41,81 Nm dan 3,63 Nm relatif lebih rendah
dibandingkan campuran PP dengan pati alami 40,45 Nm dan 6,36 Nm atau amilosanya 47,75 Nm dan 12,00 Nm.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa campuran PP dengan amilosa hasil fraksinasi membutuhkan energi torque nilai L dan M lebih besar dibandingkan
campuran PP dengan pati alaminya, sedangkan campuran PP dengan pati asetat atau amilosa asetat relatif membutuhkan energi torque lebih kecil dibandingkan campuran
PP dengan pati alami atau amilosanya. Semakin kecil energi torque yang dibutuhkan menunjukkan proses pencampurannya lebih mudah atau dengan kata lain perbedaan
sifat bahan yang dicampur relatif kecil, sehingga sifat mekanik campurannya relatif lebih baik.
2. Karakteristik Campuran Plastik Sintetik dengan Pati Sagu dan Modifikasinya