Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional Pati Sagu

31

2. Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional Pati Sagu

Hasil analisis sifat fisiko-kimia dan fungsional pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia secara rinci disajikan pada Tabel 11, sedangkan hasil analisis statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 7. Menurut Zhou et al. 1998 secara umum, sifat fungsional pati sagu, seperti kelarutan dan swelling power, kejernihan transmisi dan kemampuan menyerap air water retention capacity sangat berhubungan dengan ukuran granulanya. Namun demikian, komposisi kimia dan ukuran granula pati secara sinergis akan sangat menentukan sifat fungsionalnya. Tabel 11. Sifat fisiko-kimia dan fungsional pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia Sifat Fisiko-Kimia Fungsional Pustaka Riau Jabar Kalsel Sulut Irja Kadar pati bk : - Amilosa - Amilopektin 96,69 1 92,93 26,43 73,57 96,12 26,19 73,82 94,39 24,57 75,44 94,06 24,25 75,76 92,37 24,22 75,79 Kadar lemak bk 0,33 2 0,38 0,51 0,26 0,96 0,75 Kadar protein bk 0,63 2 1,92 1,82 2,00 2,61 2,11 Ukuran ganula rata-rata μm 5 – 65 3 61,57 57,15 54,83 68,03 86,13 Warna : Nilai L °Hue Chroma Min. 90 4 87,96 71,21 40,78 91,31 72,13 42,22 91,14 71,45 40,77 88,53 71,80 41,76 72,20 73,13 64,27 Kelarutan pada 70°C - 25,60 25,83 22,41 23,66 33,83 Swelling power pada 70°C - 38,77 44,20 33,68 39,20 59,57 Kejernihan pasta 1 T 54,20 5 70,60 76,10 74,50 72,30 33,90 Freeze-thaw stability sineresis - 91,67 81,67 85,00 91,00 93,34 Oil Retention Capacity - 6,00 6,50 5,67 6,34 5,33 Data rata-rata dua kali ulangan 2 Arbakariya et al. 1990 4 SIRIM Standard MS 470 : 1992 1 Ansharullah 1997 3 Swinkels 1985 5 Wattanachant et al. 2002 Kadar pati menunjukkan tingkat kemurnian pati hasil ekstraksi. Hasil analisis kadar pati menunjukkan bahwa pati sagu Jabar memiliki kadar pati lebih tinggi dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya. Secara kimia, pati terdiri dari komponen mayor amilosa dan amilopektin dan komponen minor lemak dan protein. Hasil analisis rasio amilosa dalam pati sagu Riau dan Jabar 26,43 bk dan 26,19 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan pati sagu lainnya Lampiran 7a, 7b dan 7c. Hasil penelitian Ansharullah 1997 yang menggunakan sagu Indonesia, kadar amilosanya 26,85 bk. Komponen minor pati sagu, umumnya dalam jumlah kecil 5 – 10 dari bobot total. Meskipun dalam jumlah kecil, komponen minor ini sangat menentukan sifat fungsional pati tersebut. Hasil analisis kadar lemak dan protein pati sagu Irja dan Sulut 32 lebih tinggi dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya, sedangkan kadar proteinnya sama untuk semua pati sagu yang dikarakterisasi dalam penelitian ini Lampiran 7d dan 7e. Adanya lemak dan protein dalam pati sagu akan diabsorbsi oleh permukaan granula sehingga terbentuk lapisan lemak dan protein yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Hal ini menyebabkan terhambatnya pengikatan air oleh granula pati. Pati sagu dalam bentuk aslinya merupakan butiran atau granula yang berwarna putih, tidak berbau dan tidak berasa. Bentuk dan ukuran granula pati sagu yang diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 500 X dapat dilihat pada Lampiran 6. Bentuk granula pati sagu adalah oval. Hasil analisis pati sagu dari daerah yang berbeda menunjukkan ukuran granula rata-rata berkisar antara 54,83 – 86,13 μm. Ukuran granula pati sagu Irja lebih besar dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya. Semakin besar ukuran granula pati, semakin tinggi kelarutan dan nilai swelling power-nya. Menurut Singh et al. 2003, ketika molekul pati dipanaskan dalam air berlebih, struktur kristal terganggu dan molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil dari amilosa dan amilopektin yang menyebabkan meningkatnya swelling dan kelarutan granula. Wattanachant et al. 2002 menambahkan bahwa ikatan hidrogen inter- molekuler di antara grup hidroksil pada rantai yang berdekatan untuk ukuran granula pati yang lebih besar menghasilkan pembengkakan yang lebih besar dan peningkatan laju swelling granula, dibandingkan dengan ukuran granula pati yang lebih kecil Selain ukuran granula pati, adanya lemak di dalamnya juga mempengaruhi kelarutan dan nilai swelling power-nya, sebagai gambaran pati sagu Sulut dan Jabar yang mempunyai ukuran granula rata-rata berturut-turut 68,03 μm dan 57,15 μm. Nilai kelarutan dan swelling power pati sagu Sulut seharusnya relatif lebih besar dibandingkan dengan pati sagu Jabar. Kenyataannya, nilai kelarutan dan swelling power pati sagu Sulut, yaitu 23,66 dan 39,20 , relatif lebih kecil dibandingkan dengan pati sagu Jabar, yaitu 25,83 dan 44,70 . Hal ini diduga disebabkan karena kadar lemak pati sagu Sulut, yaitu 0,96 bk, lebih besar dibandingkan pati sagu Jabar, yaitu 0,51 bk Lampiran 7d. Kemampuan pati menyerap minyak, dinyatakan dengan nilai oil retention capacity ORC. Kemampuan ini ditentukan oleh kandungan lemak dan serat dalam pati. Lemak membentuk lapisan yang bersifat hidrofobik pada permukaan granula pati, sedangkan serat mempunyai kemampuan menyerap minyak. Hasil analisis statistik 33 menunjukkan nilai ORC pati sagu yang dikarakterisasi dalam penelitian ini tidak berbeda nyata Lampiran 7j. Kadar lemak dan serat dalam pati secara sinergis dapat meningkatkan kemampuan pati sagu menyerap minyak. Kemampuan pati menyerap air juga dianalisis dalam penelitian ini. Pada Gambar 19 disajikan grafik hubungan suhu pemanasan terhadap kemampuan pati sagu menyerap air, yang ditunjukkan oleh nilai water retention capacity . Grafik menunjukkan pola yang sama, dimana peningkatan suhu sampai 75°C menyebabkan peningkatan nilai WRC. Kemampuan pati menyerap air sangat ditentukan oleh ukuran granula dan karakteristik kimiawinya. Ukuran granula pati sagu yang kecil mempunyai kemampuan menyerap air lebih cepat dibandingkan dengan pati sagu yang mempunyai ukuran granula lebih besar pada suhu yang sama. Namun demikian, kemampuan granula pati menyerap air akan terhambat dengan adanya lemak dan protein yang bersifat hidrofobik pada permukaan granula pati. 20 40 60 80 100 120 60 65 70 75 80 85 Suhu o C WR C Kalsel Jabar Riau Sulut Irja Gambar 19. Grafik hubungan suhu pemanasan °C terhadap nilai water retention capacity WRC pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia Warna bubuk pati merupakan parameter yang dapat diamati secara langsung. Analisa warna bubuk pati dilakukan dengan menggunakan alat Colortec. Hasil analisis warna bubuk pati sagu pada Tabel 11 menampilkan nilai ”L”, ºHue dan Chroma. Nilai ”L” menunjukkan tingkat kecerahan, dimana nilai ”L” semakin tinggi maka warna produk semakin cerah. Warna bubuk pati dinyatakan dalam °Hue, sedangkan intesitas warna dinyatakan dengan Chroma. Hasil analisis warna bubuk pati yang diamati dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 20. 34 Warna bubuk pati sagu berada pada kuadran I, nilai °Hue berkisar antara 71,21 – 73,13° dan nilai Chroma berkisar antara 40,77 – 64,27. Pati sagu Irja menunjukkan °Hue dan nilai Chroma relatif lebih tinggi 73,13° dan 64,27 dibandingkan dengan pati sagu dari daerah lainnya. Semakin tinggi °Hue dan nilai Chroma pati sagu, menunjuk- kan warna lebih kuning dan intensitas warnanya lebih pekat. Pada Gambar 21 disajikan hasil analisis hubungan nilai Chroma terhadap tingkat kecerahan nilai “L” dan kejernihan larutan pati sagu. Warna bubuk pati sagu sangat mempengaruhi tingkat kecerahan pati dan kejernihan larutannya. Warna bubuk pati yang dinyatakan dengan nilai Chroma berkorelasi negatif dengan tingkat kecerahan dan kejernihan larutannya, dengan kata lain semakin tinggi nilai Chroma pati sagu, semakin rendah tingkat kecerahan dan kejernihan larutannya. Sebaliknya, tingat kecerahan bubuk pati sagu yang ditunjukkan oleh nilai ”L” berkorelasi positif dengan tingkat kejernihan larutan pati sagu Gambar 22. Nilai ”L” atau tingkat kecerahan pati sagu Irja lebih rendah dibandingkan dengan pati sagu dari daerah lainnya, demikian juga dengan tingkat kejernihan larutan patinya. Jika dibandingkan dengan SIRIM Standard MS 470:1992 yang mensyaratkan nilai ”L” pati sagu minimum 90, pati sagu Jabar dan Kalsel yang memenuhi standar, yaitu berturut-turut 91,31 dan 91,14. 71,5 o 73 o Riau Sulut Jabar Irja2 Kuning + b Merah + a Kalsel Gambar 20. Diagram warna bubuk pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia 35 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 30 40 50 60 70 Chrom a Nila i L K e je rn ih a n T Nilai L Kejernihan T Gambar 21. Grafik hubungan nilai Chroma terhadap nilai “L” dan kejernihan larutan T pati sagu 10 20 30 40 50 60 70 80 90 70 75 80 85 90 95 Nilai L K e jer n ih an T Gambar 22. Grafik hubungan nilai “L” terhadap kejernihan larutan T pati sagu Karakteristik pasta pati sagu dalam penelitian ini dianalisis dengan mengguna- kan alat Rapid Visco Amilograph RVA-4. Pola kurva Rapid Visco-Analyser secara umum dapat dilihat pada Gambar 23. Adanya air dan energi panas menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi. Pasting temperature mengindikasikan suhu awal terjadinya gelatinisasi pati, dimana terjadi peningkatan viskositas yang menandakan mulai terjadinya proses pembengkakan granula pati. Peningkatan viskositas terjadi selama proses pemanasan hingga mencapai nilai maksimum. Viskositas maksimum puncak peak viscosity adalah titik maksimal viskositas pasta yang dihasilkan selama pemanasan dan digunakan sebagai indikator kemudahan pasta jika dimasak. Pada suhu ini granula pati kehilangan sifat birefringent-nya dan tidak mempunyai sifat kristal lagi. 36 Sedangkan viskositas balik breakdown viscosity adalah selisih viskositas maksimum pasta dengan viskositas saat akhir pendinginan. Viskositas balik dan laju peningkatan viskositas pada saat pendinginan mencerminkan tingkat kemampuan retrogradasi molekul pati setback Juliano et al., 1964. Gambar 23. Pola kurva Rapid Visco-Analyser pati Thomas dan Atwell, 1999 Pada Gambar 24, dapat dilihat kurva Rapid Visco Amilograph RVA-4 pasta pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan pola yang sama. Pasting temperature berhubungan positif dengan kandungan senyawa minor pati lemak dan protein yang bersifat hidrofobik, dengan nilai koefisien korelasi 0,94 Ansharullah, 1997. Hasil analisis menunjukkan pasting temperature pati sagu Sulut 78,25°C lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu dari daerah lainnya. Hal ini berhubungan dengan tingginya kandungan lemak pati sagu Sulut 0,96 . Menurut Swinkels 1985, adanya lemak dalam pati akan membentuk lapisan yang bersifat hidrofobik di permukaan granula pati, yang akan mengurangi kemampuannya mengikat air, mengembang dan melarut sehingga menyebabkan proses gelatinisasi terhambat. Terhambatnya proses gelatinisasi ditandai dengan tingginya pasting temperature. Waktu min Suhu °C Vi s k o si ta s RVU Viskositas Akhir 37 Asal Sagu Pasting Temperature °C Peak Viscosity cP Breakdown Viscosity cP Final Viscosity cP Setback cP Riau 76,70 3.089 1.664 2.167 742 Jabar 75,05 2.868 2.242 1.123 497 Kalsel 75,90 2.425 1.703 1.297 575 Sulut 78,25 3.326 2.527 1.515 716 Irja 76,70 5.190 2.646 3.627 1.083 Gambar 24. Kurva Rapid Visco Amilograph RVA-4 pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia Peak viscosity terjadi pada titik kesetimbangan antara swelling maksimum dan peluruhan amilosa Singh et al., 2005. Ukuran granula pati sagu kemungkinan besar berpengaruh terhadap perbedaan nilai peak viscosity-nya. Grafik hubungan ukuran granula pati sagu dan nilai peak viscosity-nya disajikan pada Gambar 25. Semakin besar ukuran granula pati sagu, semakin tinggi nilai peak viscosity-nya. Peak viscosity 1.500 3.000 4.500 30 60 90 120 0 3 6 9 12 15 15 IRJA RIAU SULUT KALSEL JABAR Waktu menit Suhu ° C Viskositas cP 38 menunjukkan kemampuan granula pati bebas mengembang sebelum granula tersebut pecah, dengan kata lain pati yang mempunyai peak viscosity tinggi kemungkinan mempunyai kemampuan mengembang swelling yang tinggi juga. 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 50 60 70 80 90 Ukuran Granula μm P ea k V isco sit y c P Gambar 25. Grafik hubungan ukuran granula rata-rata μm dengan peak viscosity cP pati sagu Granula pati sangat peka terhadap kerusakan oleh panas. Hal ini terlihat dari nilai viskositas yang menurun ketika berlangsung pemanasan pada suhu 90 – 95 o C Gambar 24. Penurunan viskositas ini disebut dengan breakdown viscosity. Nilai breakdown viscosity pati sagu yang dianalisis dalam penelitian ini berkisar 1.664 – 2.646 cP. Penurunan viskositas pati sagu dikarenakan granula pati pecah akibat pemanasan. Pecahnya granula pati dapat diartikan bahwa komponen yang terdapat pada pati yaitu amilosa dan amilopektin telah terpisah dan keluar dari granula. Final viscosity menunjukkan kemampuan pati untuk membentuk pasta kental atau gel setelah pemasakan dan pendinginan. Kemampuan ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan viskositas yang disebabkan oleh penyusunan kembali granula pati dimana molekul amilosa berada di luar granula Singh et al., 2005. Final viscosity pati sagu Irja 3.627 cP relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pati sagu dari daerah lainnya, dengan kata lain pati sagu Irja mempunyai kemampuan membentuk pasta kental atau gel yang lebih tinggi. Sifat pasta pati menunjukkan viskositas yang tidak stabil selama pemanasan dan beberapa memperlihatkan retrogradasi tinggi yang akan menyebabkan tekstur gel yang tidak diinginkan atau sineresis tinggi, yang selanjutnya mengindikasikan freeze-thaw 39 stability yang rendah Wattanachant et al., 2002. Setback sebagai penentu kecenderungan pati mengalami retrogradasi atau sineresis selama proses pendinginan pasta pati. Nilai setback pati rendah menunjukkan kecenderungan retrogradasi atau sineresis rendah Singh et al., 2005. Semakin tinggi sineresis pati, semakin tinggi sifat retrogradasinya atau semakin rendah freeze-thaw stability pati tersebut. Grafik hubungan nilai setback dan freeze-thaw stability pati sagu dapat dilihat pada Gambar 26. 80 82 84 86 88 90 92 94 400 500 600 700 800 900 1000 1100 Setback cP F re ez e -t h aw S tab il it y si n e res is Gambar 26. Grafik hubungan nilai setback cP dengan nilai freeze-thaw stability sineresis pasta pati sagu Karakteristik pati dalam bentuk pasta menunjukkan sifat rheologinya. Sifat rheologi ini dipengaruhi oleh shear rate laju gesekan dan konsentrasi Nurul et al., 1999. Pada penelitian ini, karakteristik pasta pati dianalisis dengan menggunakan alat brookfield viscometer, yang ditujukan untuk melihat sifat rheologi dan stabilitas pasta Hasil pengujian sifat rheologi dan stabilitas pasta yang dinyatakan sebagai nilai apparent viscocity cP disajikan pada Gambar 27 dan 28. Pada Gambar 27 dapat dilihat grafik rheologi pasta pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia yang menunjukkan pola yang sama yaitu apparent viscosity-nya menurun dengan adanya peningkatan shear rate. Sedangkan Gambar 28, menunjukkan nilai apparent viscosity yang relatif tetap meskipun waktu putaran ditingkatkan untuk semua pati sagu yang dianalisis pada penelitian ini. Menurut Geankoplis 1983, sifat rheologi pasta pati ditentukan oleh nilai indeks prilaku n, yang dinyatakan dalam persamaan Hukum Power Power-Law equation yaitu : 40 η = k γ n-1 log η = log k + n-1 log γ Dimana : η = viskositas, k = indeks konsistensi, γ = shear rate, dan n = indeks prilaku. Berdasarkan persamaan tersebut di atas, nilai indeks prilaku n semua pati sagu yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kurang dari satu n 1. Ini menunjukkan sifat rheologi pasta pati non-Newtonian dengan pola pseudoplastics. Selain itu, ber- dasarkan persamaan tersebut dapat menjelaskan bahwa sifat rheologi pasta pati tidak dipengaruhi oleh lama waktu putaran, tetapi sangat dipengaruhi oleh shear rate. - 2.000 4.000 6.000 8.000 10.000 12.000 - 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 Shear rate 1dt A p p a ren t V isco si ty c P Riau K=972;n=0,388 Jabar K=318;n=0,515 Kalsel K=457;n=0,404 Sulut K=347;n=0,512 Irja K=1855;n=0,437 Gambar 27. Grafik rheologi pasta pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia pada suhu 25°C dan ukuran spindle 3 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000 5 10 15 20 25 30 35 Waktu putaran m enit A ppa re nt V is c os it y c P Riau Jabar Kalsel Sulut Irja Gambar 28. Grafik stabilitas pasta pati sagu dari beberapa daerah di Indonesia pada suhu 25°C dengan ukuran spindle 3 dan kecepatan putaran 0,2 rps. 41 Berdasarkan sifat kimianya, pati sagu yang dianalisis dalam penelitian ini memiliki keunggulan, yaitu kadar patinya tinggi 90 bk dan komponen minornya lemak dan protein kecil 5 bk. Sifat pati sagu tersebut berpotensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku industri, seperti industri gula cair, asam sitrat, etanol, asam laktat dan sebagainya. Jika dikaitkan dengan rasio amilosanya, pati sagu Riau dan Jabar memiliki rasio amilosa lebih tinggi 25 dibandingkan pati sagu Kalsel, Sulut dan Irja 25. Ukuran granula pati sangat menentukan sifat kelarutan, swelling power dan viskositasnya. Pati sagu Irja menunjukkan ukuran granula rata-rata relatif lebih besar 80 μm dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya 70 μm. Hal ini diduga menyebabkan nilai kelarutan dan swelling power pati sagu Irja lebih besar, serta nilai viskositasnya lebih tinggi dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, pati sagu Irja berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku industri, seperti industri perekat, sebagai bahan pengikat binder pada industri papan partikel, sebagai bahan pengental dalam industri pangan dan sebagainya. Pati sagu yang dipilih dan digunakan pada penelitian tahap berikutnya adalah pati sagu Jabar. Pati sagu Jabar memiliki kadar pati dan rasio amilosa lebih tinggi dibandingkan pati sagu dari daerah lainnya, serta memiliki kadar lemak dan protein yang rendah. Selain itu, pati sagu Jabar menunjukkan sifat fungsional yang sesuai sebagai bahan campuran plastik sintetik, seperti kejernihan pasta, frezee-thaw stability sineresis dan nilai ORC. Hasil analisis visco amilograph pati sagu Jabar juga menunjukkan nilai Setback 497 CP yang lebih rendah dibandingkan dengan pati sagu dari daerah lainnya. Ini menunjukkan sifat retrogtradasinya rendah.

B. Fraksinasi Pati Sagu