Ara Ficus variegata Kearifan Pemanfaatan Tumbuhan Hutan
105 memperhitungkan sisi ekologi dan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari. Sistem tata guna lahan orang Manggarai terbagi menjadi tujuh, yaitu beo
kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, bangka kampung lama, cengit
daerah keramat. Masing-masing ruang tersebut efisien untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat tradisional.
Pembagian lahan tradisional memperhitungkan keberlanjutan antara pemanfaatan dan perlindungan dari resiko bencana alam. Perlindungan dari resiko
bencana alam dengan menempatkan permukiman beo dan roas pada wilayah rata, wilayah perbukitan untuk kebun agroforestry dan menjaga hutan puar pada
daerah yang lebih tinggi. Daerah penting yang menurut masyarakat merupakan daerah tangkapan air ditetapkan menjadi daerah keramat, yaitu hutan keramat
pong sekitar mata air, danau dan wilayah hutan yang lebat. Daerah keramat juga berfungsi sebagai tempat melakukan ritual adat yang berarti memiliki fungsi religi.
Cara tradisional Manggarai dalam pengelolaan keanekaragaman hayati berhubungan erat dengan budaya, spiritual dan ekonomi pada hutan. Pengelolaan
keanekaragaman hayati berkelanjutan dapat ditemukan pada sistem rotasi tanaman dengan sistem bera hingga belasan tahun yang memiliki banyak kesamaan dengan
suksesi ekologi karena menggunakan proses suksesi untuk mengembalikan tanah dan vegetasi setelah digunakan untuk pertanian. Model kebun Manggarai adalah
agroforestry
dengan agrokeanekaragaman hayati tanaman budidaya yang tinggi sistem polikultur lebih tahan terhadap serangan serangga dan penyakit. Sistem
tanaman kebun tanpa pupuk organik, penggunaan pestisida nabati dan pemanfaatan tumbuhan liar berdampak pada kelestarian.
Sistem pembagian lahan berkeadilan sosial dengan sistem lima jari yang mempengaruhi luasan lahan sesuai status sosial. Lahan dibagi merata pada semua
jenis lahan baik lahan yang subur maupun yang kurang subur. Perubahan sosial yang merubah suatu wilayah menjadi kota tidak merubah bentuk dan fungsi lahan,
contohnya masyarakat tetap melaksanakan upacara adat di lingko rame setiap tahun meskipun tempat tersebut sudah menjadi perumahan warga kota.