Latar Belakang Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

3 lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam Adiwibowo et al 2013. Kebijakan ini efektif dalam menyelesaikan konflik pemanfaatan kawasan hutan. Penelitian ini mengambil satu contoh kearifan lokal yang mendukung konservasi tumbuhan hutan dan ekosistem pada masyarakat Manggarai di pegunungan Ruteng pada dua kawasan hutan, yaitu Hutan Ruteng dan Hutan Todo. Kawasan hutan Todo adalah hutan lindung sedangkan hutan Ruteng pada awalnya memiliki status hutan lindung dan hutan produksi terbatas namun pada tahun 1993 dirubah statusnya menjadi kawasan konservasi. Penetapan status kawasan sebagai kawasan konservasi menyebabkan pengelolaan lebih intensif dan akses masyarakat adat memanfaatkan hutan terbatas, namun hasil analisis citra satelit setelah 20 tahun penetapannya sebagai kawasan konservasi menunjukkan penutupan hutan di wilayah Hutan Todo lebih baik daripada di Hutan Ruteng. Penurunan kualitas penutupan kawasan Hutan Ruteng ini menurut Sinu et al. 1999 adalah karena rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan menurut Tukan 2006 adalah karena penataan batas kawasan Hutan Ruteng secara sepihak dan tidak partisipatif dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, diduga kearifan lokal masyarakat Manggarai memiliki peran penting dalam kelestarian hutan sehingga semestinya diintegrasikan ke dalam pengelolaan hutan. Definisi integrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyatuan supaya menjadi bulat atau utuh Poerwadarminta 2006. Integrasi ini bertujuan supaya ada kesamaan pemahaman antara masyarakat adat dan pengelola kawasan hutan. Menurut Kay dan Alder 1999 terdapat tiga jenis integrasi, yaitu: integrasi kebijakan, sistem dan fungsional. Integrasi kebijakan untuk menjamin program pengelolaan kawasan konservasi sesuai kearifan lokal masyarakat adat. Integrasi sistem untuk menjamin strategi konservasi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan hidup masyarakat adat. Integrasi fungsional untuk menjamin tidak adanya pertentangan antara konservasi dan pemahaman kearifan lokal masyarakat adat. Pendekatan untuk mengidentifikasi kearifan lokal yang mendukung konservasi menggunakan etnografi, etnobotani dan etnoekologi. Pendekatan etnografi untuk mengetahui budaya masyarakat yang mendasari kearifan lokal yang mendukung konservasi. Pendekatan etnobotani untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan tumbuhan hutan karena tumbuhan hutan memiliki peranan yang penting bagi masyarakat tradisional untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan serta sosial budaya dan religius. Pendekatan etnoekologi untuk mengetahui kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahan dan hutan yang mendukung konservasi. Bila pengelolaan hutan mengadopsi kearifan lokal yang unik dan spesifik maka akan sesuai karakteristik masing-masing kawasan hutan. The International Union for Conservation of Nature IUCN dalam konggres taman sedunia di Durban 2003, Afrika Selatan menghasilkan Durban Accord terkait perhormatan hak-hak masyarakat asli, tradisional dan berpindah dalam protected area. Pengelolaan kawasan hutan semestinya memperhatikan masyarakat tradisional, mengakhiri konflik dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam pengelolaan kawasan Kosmaryandi 2012. Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi berperan mendukung pengelolaan dengan kearifan lokal dalam konservasi tumbuhan hutan. Salah satu sebab kerusakan hutan tropis adalah hilangnya masyarakat tradisional 4 di dalam dan sekitar hutan yang memiliki pengetahuan ekologi tradisional dan secara sosial ekonomi memiliki ketergantungan dalam pemenuhan kebutuhan hidup termasuk pangan dan kesehatan Rai and Lalramnghinglova 2010. Disparitas pengelolaan hutan antara pemerintah dan masyarakat tradisional menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan hutan. Sikap konservasi pengelola kawasan hutan konservasi menurut Zuhud et al. 2007, lebih dominan untuk aksi perlindungan ekosistem yang menjauhkan kawasan dari campur tangan masyarakat kecil. Sikap konservasi yang belum berpihak pada masyarakat tradisional akan berdampak pada degradasi kawasan. Masyarakat tradisional yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan sejak ratusan tahun sebelum penetapan kawasan memiliki hak-hak adat atas sumberdaya alam dengan pranata sosialnya. Pengetahuan tradisional ini memiliki peranan yang penting dalam manajemen pengelolaan hutan. Pengetahuan ekologi tradisional dan informasi studi ilmiah tidak hanya sekedar dibandingkan tetapi untuk diintegrasikan dalam pengelolaan sumberdaya alam Brook and McLachlan 2005. Pembuktian pengetahuan ekologi tradisional secara sains yang merupakan pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan pada praktek pengelolaan tradisional. Untuk itulah penelitian ini bertujuan untuk mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam konservasi yaitu pengelolaan konservasi yang mempertimbangkan keberadaan masyarakat setempat. Nilai ilmiah alam ekosistem diselaraskan dengan sudut pandang masyarakat tradisional sehingga nilai-nilai penting dari kawasan konservasi mampu memenuhi kebutuhan hidup dengan memberikan akses ke sumberdaya alam. Manfaat nyata kawasan konservasi mampu menyentuh pemenuhan kehidupan sehari-hari dan kepentingan nasional dan global dalam konservasi dengan berdasarkan fakta adanya masyarakat tradisional. Upaya untuk mempertahankan gagasan kawasan konservasi dengan menyelaraskan kearifan lokal dan konservasi menjadi pilihan alternatif yang efektif dalam pengelolaan kawasan konservasi.

b. Perumusan Masalah

Konservasi atau pemanfaatan hutan secara lestari semestinya menjamin kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta sekaligus terwujudnya pelestarian keanekaragaman hayati. Pengelolaan kawasan yang hanya menitikberatkan perlindungan keanekaragaman hayati terpisah dari aspek manusianya menyebabkan masyarakat asli yang sudah bertungkus lumus hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan terkesampingkan. Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan hutan berinteraksi dengan hutan sehingga penetapannya sebagai kawasan hutan konservasi yang selama ini dominan aspek perlindungannya menghadapi tantangan dari masyarakat di dalam dan sekitar kawasan. Pengelolaan kawasan hutan semestinya mempertimbangkan aspek sosial dan budaya masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan. Penelitian ini mengambil contoh kasus pada wilayah pegunungan Ruteng yang memiliki dua kawasan hutan, yaitu hutan Taman Wisata Alam TWA Ruteng dan hutan lindung Todo. Masyarakat di hutan lindung Todo memiliki akses pemanfaatan dengan kearifan lokalnya sedangkan pada wilayah TWA Ruteng akses pemanfaatan tersebut terbatas karena penetapannya sebagai kawasan konservasi 5 sejak tahun 1994. Hutan menurut Ostrom 1990 merupakan common pool resources CPRs, yaitu sistem sumberdaya alam atau buatan yang cukup besar sehingga biaya untuk membatasi atau melarang pihak-pihak yang berpotensi memanfaatkan sumberdaya terlalu tinggi sehingga sulit dalam pelaksanaannya. Penutupan hutan terhadap pemanfaatan oleh masyarakat tradisional menurut Hardin 1968 akan cenderung mengakibatkan open access sehingga sumberdaya tidak terawasi dengan baik karena tidak ada pengaturan sehingga berakibat dapat terjadi pengurasan sumberdaya. Penutupan akses masyarakat menyebabkan kurangnya pemahaman bersama dalam pengelolaan kawasan. Permasalahan pengelolaan Hutan Ruteng menjadi semakin kompleks dengan meninggalnya 5 orang dan 26 orang terluka parah akibat konflik dengan polisi dan petugas kehutanan IWGIA 2005. Pengelolaan hutan itu seharusnya bukan untuk membatasi akses masyarakat dalam memanfaatkan hutan, karena ada skema pemanfaatan hutan bersama masyarakat melalui penataan kawasan hutan. Masalah penelitian ini adalah belum adanya titik temu pengelolaan bersama antara pengelola kawasan hutan dan masyarakat tradisional yang arif dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem. Oleh karena itu, pengelolaan hutan semestinya mengintegrasikan kearifan lokal dengan prinsip-prinsip konservasi yang berbasis pada saintifik modern. Nilai-nilai ilmiah sebuah ekosistem alam semestinya selaras dengan sudut pandang masyarakat tradisional. Nilai-nilai penting sebuah kawasan konservasi belum mampu menjawab kebutuhan hidup yang seringkali mengorbankan hak tenurial dan akses terhadap sumberdaya alam demi sebuah nilai maya sehingga semestinya manfaat nyata menyentuh pemenuhan kehidupan sehari-hari. Hampir semua kawasan konservasi di Indonesia tidak terlepas dari pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat tradisional dan pengelolaan dengan standar selama ini terbukti kurang berhasil menyelesaikan permasalahan yang sama dari waktu ke waktu. Kawasan hutan semestinya mampu memenuhi harapan peningkatan kualitas penghidupan masyarakat tradisional di dalam dan sekitarnya. Upaya mempertahankan ide tentang kawasan konservasi melalui mekanisme legal dan tanpa mengabaikan hak-hak masyarakat asli menjadi satu alternatif pilihan dalam pengelolaan hutan yang efektif. Pengetahuan tradisional dan sain modern menurut Pei et al. 2009 merupakan dua hal yang saling melengkapi dan merupakan program yang menginisiasi pembangunan konservasi. Berdasarkan perumusan permasalahan, pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat Suku Manggarai dengan konservasi yang diyakini dapat mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem hutan Pegunungan Ruteng. Beberapa pertanyaan penelitian sebagai pedoman menjawab pertanyaan utama tersebut adalah: 1. Bagaimanakah latar belakang budaya yang mendasari kearifan lokal masyarakat Suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng? 2. Bagaimanakah cara masyarakat memanfaatkan tumbuhan hutan yang mendukung konservasi dan apakah pemanfaatan tersebut berkelanjutan ? 3. Bagaimanakah bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan ? 4. Bagaimana menyusun konsep integrasi kearifan lokal masyarakat suku Manggarai dalam konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng? 6

c. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengungkapkan fakta bahwa masyarakat Suku Manggarai memiliki kearifan lokal yang dapat mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat tradisional dan konservasi dalam pengelolaan hutan. Tujuan penelitian ini secara rinci adalah: 1. Memperoleh gambaran mengenai budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan studi etnografi yang mendukung konservasi. 2. Mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan dan keberlanjutannya oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi. 3. Mengkaji bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan. 4. Menyusun sintesis konsep pengelolaan kawasan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dalam konservasi berdasarkan penelitian 1 sampai dengan 3.

d. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis sebagai sebuah konsep pengelolaan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dan konservasi sebagai bahan referensi untuk pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan materi serta dapat digunakan sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya. 2. Secara praktis sebagai saran atau masukan untuk perumusan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dan khususnya kawasan Pegunungan Ruteng.

e. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Ekologi Manusia yang menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara sistem sosial dan ekosistem Rambo 1983; Marten 2001; Dharmawan 2007. Perubahan ekologis adalah dampak interaksi manusia dan alam dalam konteks pertukaran. Proses pertukaran energi, materi dan informasi sistem alam dan sistem manusia dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain yang kemudian menghasilkan kearifan lokal Gambar 1.1. Julian H. Steward mencetuskan konsep ekologi budaya yang memiliki makna adanya hubungan timbal balik antara lingkungan atau hutan dan kebudayaan Steward 1955. Hal yang sama diungkapkan oleh Pei et al. 2009 dan Pei 2013 bahwa pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat tradisional berdampak pada kelestarian hutan. Pengambilan sampel pada dua lokasi kawasan hutan di Pegunungan Ruteng karena adanya kesamaan suku, budaya, bahasa dan ekosistem serta adanya