104 dan berteras bila berada di dalam air. Kerapatan pohon worok per hektarnya adalah
5.6 pohon sehingga pada wilayah hutan kampung Wae Rebo seluas ± 100 ha adalah sebanyak ± 560 pohon. Pemanenan pohon worok adalah sebanyak 7 pohon yang
sudah berumur 70 tahun setiap 30 tahun sekali menunjukkan bahwa pemanenan worok oleh masyarakat kampung Wae Rebo adalah lestari sebagai upah untuk
menjaga kelestarian hutan.
Pohon-pohon dalam hutan yang memiliki kualitas yang baik untuk bahan bangunan memiliki pertumbuhan yang lambat sehingga pemanfaatannya secara
selektif. Kayu bangunan dari pohon worok Dysoxylum densiflorum termasuk ke dalam kelas kuat II dan kelas awet II Martawijaya et al. 2005 dan merupakan kayu
bangunan terbaik yang ada di pegunungan Ruteng karena belum ditemukan kayu dengan kelas kuat dan kelas awet I. Orang Manggarai memahami hal ini sehingga
kayu yang memiliki kualitas yang baik untuk bahan bangunan seperti worok Dysoxylum densiflorum hanya untuk pembangunan rumah adat.
Dysoxylum densiflorum memiliki penyebaran di Pulau Sumatera, Kalimantan,
Jawa, Sulawesi, Bali, Lombok dan Flores. Pohon ini tumbuh pada dataran rendah hingga pada ketinggian sampai 1 700 m dpl hutan hujan primer. Berkembangbiak
dengan biji dengan pertumbuhan yang sangat lambat, dapat mencapai ketinggian hingga 45 m, tinggi bebas cabang 13 m dan diamater 65 cm. Kayu terasnya agak
berat, padat dan cukup halus, berwarna coklat kuning hingga merah muda atau coklat merah muda dan mengkilap Mabberlay et al. 1995. Kayu worok untuk
tiang penyangga utama rumah adat ditebang dengan ritual yang rumit sebagai suatu cara pemanfaatan kayu secara selektif yang menunjukkan efisiensi dalam
pemanfaatan sumberdaya.
Pelarangan pemanfaatan pohon ini di dalam hutan Ruteng menyebabkan masyarakat mensubtitusi kayu worok dengan spesies lainnya seperti lumu
Manglietia glauca atau ampupu Eucalyptus urophylla. Meskipun sudah disubtitusi dengan spesies lain namun karena syarat kayu untuk pembangunan
rumah adat adalah harus pohon yang tumbuh alami bukan hasil budidaya maka pembangunan rumah adat tetap sulit dilakukan. Pengambilan pohon untuk rumah
adat di wilayah sekitar Hutan Ruteng dari kebun milik masyarakat. Batang pohon tersebut dipikul terlebih dahulu ke dalam hutan untuk upacara adat.
5.1.3 Kearifan Pemanfaatan Ruang
Meskipun kondisi ekologi kurang menguntungkan seperti wilayah lembah yang curam, intensitas hujan yang tinggi, tanah asam, namun masyarakat
Manggarai telah berhasil mengelola lahan dengan lanskap budaya yang menunjukkan efisiensi pemanfaatan ruang. Masyarakat melakukan pembagian tata
guna lahan yang baik dengan membagi kebutuhan lahan ke dalam beberapa fungsi lahan. Penempatan wilayah kampung dengan halaman sekitar rumah pada wilayah
rata yang jauh dari perbukitan, wilayah hutan untuk sumber mata air dan kegunaan lainnya menunjukkan pemahaman yang baik orang Manggarai pada keamanan
untuk tempat tinggal dan mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini sesuai dengan idiom
“mbau eta temek wa, tela galang pe’ang kete api one” yang artinya bila diatas gunung hijau maka dibawah akan banyak airnya, di tungku memiliki
cukup kayu bakar, diatasnya cukup bahan pangan untuk ditanak. Idiom ini menunjukkan
pemikiran efisiensi
dalam pemanfaatan
ruang dengan
105 memperhitungkan sisi ekologi dan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup
masyarakat sehari-hari. Sistem tata guna lahan orang Manggarai terbagi menjadi tujuh, yaitu beo
kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, bangka kampung lama, cengit
daerah keramat. Masing-masing ruang tersebut efisien untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat tradisional.
Pembagian lahan tradisional memperhitungkan keberlanjutan antara pemanfaatan dan perlindungan dari resiko bencana alam. Perlindungan dari resiko
bencana alam dengan menempatkan permukiman beo dan roas pada wilayah rata, wilayah perbukitan untuk kebun agroforestry dan menjaga hutan puar pada
daerah yang lebih tinggi. Daerah penting yang menurut masyarakat merupakan daerah tangkapan air ditetapkan menjadi daerah keramat, yaitu hutan keramat
pong sekitar mata air, danau dan wilayah hutan yang lebat. Daerah keramat juga berfungsi sebagai tempat melakukan ritual adat yang berarti memiliki fungsi religi.
Cara tradisional Manggarai dalam pengelolaan keanekaragaman hayati berhubungan erat dengan budaya, spiritual dan ekonomi pada hutan. Pengelolaan
keanekaragaman hayati berkelanjutan dapat ditemukan pada sistem rotasi tanaman dengan sistem bera hingga belasan tahun yang memiliki banyak kesamaan dengan
suksesi ekologi karena menggunakan proses suksesi untuk mengembalikan tanah dan vegetasi setelah digunakan untuk pertanian. Model kebun Manggarai adalah
agroforestry
dengan agrokeanekaragaman hayati tanaman budidaya yang tinggi sistem polikultur lebih tahan terhadap serangan serangga dan penyakit. Sistem
tanaman kebun tanpa pupuk organik, penggunaan pestisida nabati dan pemanfaatan tumbuhan liar berdampak pada kelestarian.
Sistem pembagian lahan berkeadilan sosial dengan sistem lima jari yang mempengaruhi luasan lahan sesuai status sosial. Lahan dibagi merata pada semua
jenis lahan baik lahan yang subur maupun yang kurang subur. Perubahan sosial yang merubah suatu wilayah menjadi kota tidak merubah bentuk dan fungsi lahan,
contohnya masyarakat tetap melaksanakan upacara adat di lingko rame setiap tahun meskipun tempat tersebut sudah menjadi perumahan warga kota.
5.1.4 Strategi Konservasi Masyarakat Suku Manggarai
Hutan secara alamiah memiliki 3 fungsi, yaitu: fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya Nugraha dan Murtijo 2005. Secara ekonomi, hutan berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat tradisional terutama dalam hal pangan, papan dan sandang. Sumberdaya hutan ini adalah sumberdaya yang tinggal mengambil tanpa
perlu melakukan upaya budidaya. Pemenuhan kebutuhan dari hutan ini melengkapi kebutuhan masyarakat dari wilayah di luar hutan. Spesies tumbuhan dari hutan
melengkapi spesies tumbuhan dari wilayah budidaya Zhang et al. 2013. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan berbagai spesies tumbuhan hutan oleh
masyarakat justru berperan dalam kelestarian hutan Pei et al. 2009; Pei 2013, Gueze 2011, Odum 1971; MacKinnon 1990.
Secara ekologi, hutan berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mengendalikan erosi, mencegah banjir dan
memelihara kesuburan tanah. Fungsi ekologi yang terlalu ditonjolkan secara berlebihan menyebabkan pengelola hutan memarginalkan masyarakat tradisional
dengan cara menutup akses ke dalam hutan. Beberapa penelitian menunjukkan