107 Kearifan lokal dan konservasi memiliki tujuan yang sama, yaitu kelestarian
hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Perbedaan antara keduanya adalah cara mencapai tujuan tersebut. Masyarakat dengan kearifan lokalnya menganggap hutan
sebagai tempat hidup berbagai macam spesies tumbuhan dan hewan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan upacara adat serta melindungi sebagian
sumberdaya keanekaragaman hayati tersebut dalam bentuk daerah keramat dan spesies totem. Konservasi semestinya mengakomodir pemanfaatan subsisten
masyarakat melalui kearifan lokal dengan tetap mempertimbangkan aspek perlindungan kawasan.
Program konservasi yang memisahkan hutan dari masyarakat sekitar adalah keliru. Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan bantuan ternak, uang tunai
dan sebagainya dengan konsep “reward and punishment” dengan maksud supaya
masyarakat tidak lagi bergantung pada hutan adalah program yang tidak mendidik masyarakat dan kotra produktif dengan konservasi. Masyarakat yang tidak
berinteraksi dengan hutan diberikan hadiah materi sehingga akan diikuti oleh seluruh masyarakat lambat laun akan menghilangkan pengetahuan lokal sehingga
terjadi penurunan kemampuan untuk mengelola hutan secara lestari.
Pengelolaan hutan semestinya memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa menurunkan fungsi ekologisnya. Manfaat tersebut adalah berupa pemanenan hasil hutan
untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan kebutuhan untuk adatbudaya.
Salah satu indikator adanya degradasi hutan di Pegunungan Ruteng adalah adanya penurunan pengetahuan etnobotani pada generasi muda karena adanya
perubahan sosial. Penurunan pengetahuan tradisional karena sistem transfer pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda sudah berubah karena adanya
sekolah formal dapat dicegah dengan memberikan muatan lokal. Pengetahuan tradisional merupakan aset bangsa yang tidak ternilai sehingga perguruan tinggi
semestinya berperan dalam menyambungkan antara pengetahuan tradisional dan IPTEK yang akan lebih berguna untuk kesejahteraan masyarakat. Penutupan akses
pemanfaatan tumbuhan hutan dapat menurunkan pengetahuan tradisional sehingga semestinya memberikan akses pemanfaatan kepada masyarakat tradisional yang
memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Adanya penutupan akses terhadap pemanfaatan menyebabkan kurang berperannya lembaga
adat dalam pengaturan pemanfaatan sehingga pemanfaatan hutan menjadi pemanfaatan komersial. Pemerintah semestinya berperan dalam penguatan
kelembagaan adat dan program pemberdayaan difokuskan pada kemandirian kampung dengan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.
5.1.5 Pengetahuan, Sikap Masyarakat dan Pengelolaan
Salah satu kegagalan konservasi adalah adanya bias pemahaman pengelola kawasan yang lebih menekankan pengelolaan pada aspek perlindungan tanpa
memberikan ruang pemanfaatan oleh masyarakat tradisional. Penyebab lainnya adalah bahwa masyarakat tradisional sekitar kawasan hutan telah terpengaruh
informasi dan budaya globalisasi sehingga memiliki pemahaman yang bias dalam hal konteks nilai-nilai alamiah bio-ekologi dan kelangkaan, nilai-nilai manfaat
ekonomi dan nilai-nilai religius agama, keikhlasan, moral dan sosio-budaya Zuhud 2007. Penyelesaian permasalahan tersebut antara lain adalah mendidik dan
membangun sikap dan perilaku setiap individu pro konservasi secara sistematis dan berkesinambungan melalui pendidikan formal dan informal. Sikap konservasi
108 masyarakat harus
dibangun dan merupakan wujud dari kristalisasi “tri-stimulus amar pro-
konservasi”. Sikap masyarakat yang seperti ini merupakan prasyarat terwujudnya aksi konservasi secara nyata di lapangan.
Sikap konservasi masyarakat tradisional sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengelola kawasan konservasi. Pada wilayah Hutan Ruteng pemanfaatan untuk
kayu bangunan belum diperbolehkan sekalipun untuk mencukupi kebutuhan pembangunan rumah adat Gambar 5.1. Hal ini berdampak adanya sikap acuh dan
tidak merasa memiliki hutan sehingga pemanfaatan hutan tanpa ada pengaturan. Hutan menjadi milik umum meskipun status hutan adalah hutan negara sehingga
masyarakat berperilaku eksploitatif dan merusak.
Gambar 5.1 Masyarakat
kampung Lerang
kesulitan menyelesaikan
pembangunan rumah adatnya karena larangan pengambilan kayu dari pohon yang tumbuh alami sebagai syarat pembangunan
Pemanfaatan hutan pada hutan Ruteng hanya didasarkan pada manfaat ekonomi. Aksi konservasi perlindungan masih dilakukan oleh masyarakat
tradisional melalui perlindungan daerah-daerah keramat seperti hutan pong, danau, hutan sekitar mata air dan daerah keramat lainnya di dalam hutan. Aksi konservasi
pengawetan dengan melindungi pohon ara Ficus variegata, pohon ficus spp dan satwa ceki totem. Hal ini membuktikan bahwa stimulus religius merupakan
stimulus yang kuat yang mendasari masyarakat untuk melakukan konservasi tanpa mengharapkan imbalan.
Belum adanya peran dalam mengelola wisata menyebabkan masyarakat sekitar hutan Ruteng memanfaatkan hasil hutan untuk mencukupi kebutuhan uang
tunai komersial. Pemanfaatan menjadi kurang terkontrol sehingga menyebabkan kerusakan kawasan yang terbukti dengan menurunnya penutupan hutan secara
tajam decline pada kawasan hutan Ruteng selama 20 tahun terakhir. Hal ini sesuai
109 dengan pendapat Zuhud 2011, bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh tidak
adanya pengaturan dalam pemanfaatan hasil hutan sekalipun untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu.
Pada wilayah Hutan Todo masyarakat tradisional memiliki akses pemanfaatan kayu untuk kebutuhan subsisten dan adatbudaya sehingga melakukan
pemanfaatan yang berdampak kelestarian hutan. Pemberian kesempatan mengelola wisata menyebabkan masyarakat memiliki kesempatan mendapatkan
uang tunai. Pemberian akses ke dalam kawasan konservasi memberikan sikap merasa memiliki, tanggung jawab dan konservasi sehingga menyebabkan perilaku
konservasi.
Tabel 5.1 Stimulus dan aksi konservasi masyarakat tradisional Manggarai No
Stimulus Aksi Konservasi
I Alamiah
Fungsi ekologis -
Pembagian tata guna lahan, yaitu: beo kampung, roas halaman sekitar rumah,
lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, pong hutan
keramat, cengit daerah keramat.
- Menanam pohon ara Ficus variegata di
sekitar mata air. II
Manfaat 1. Sumber mata air
- Melindungi hutan daerah sekitar mata air dengan sanksi adat.
- Melindungi danau 2. Manfaat tumbuhan
untuk 12 jenis pemanfaatan
- Pemanfaatan untuk subsisten - Merawat anakan pohon teno yang tumbuh
secara alami untuk digunakan dalam 5 kegunaan
- Memanfaatkan pohon worok Dysoxylum densiflorum
yang berumur 70 tahun untuk bahan bangunan rumah adat
III ReligiusRela 1. Daerah keramat
Perlindungan daerah keramat, seperti: sekitar mata air dan danau
2. Pohon-pohon keramat
Perlindungan pohon Ficus spp 3. Satwa ceki
Perlindungan satwa ceki totem Masyarakat tradisional memahami stimulus alamiah, manfaat dan
religiusrela sehingga konservasi terwujud di wilayah pegunungan Ruteng Tabel 5.1. Konservasi atau pengelolaan pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan hutan
terwujud karena tri stimulus amar yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuhud 2007 bahwa prasyarat
terwujudnya sikap masyarakat “tri stimulus amar konservasi” di lapangan, adalah: 1 untuk masyarakat tradisional yang spesifik dan unik yang berinteraksi dengan
hutan dan sumberdaya hayati setempat dalam kehidupan sehari-hari, dan sudah turun temurun dan memiliki pengetahuan tradisional sumberdaya hayati, 2 hak