Kebaruan Penelitian Novelty Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

12 2 ETNOGRAFI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

2.1 Pendahuluan

Jumlah etnik di Indonesia 550 yang berada pada 73 . 798 desa dalam ± 350 , 000 dusun dan 50 diantaranya berada disekitar hutan Kemenhut 2011. Pemerintah belum mempertimbangkan keragaman sosial budaya masyarakat tradisional sekitar hutan dalam pengelolaan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab kegagalan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan dan masyarakat di sekitarnya di Indonesia mengabaikan aspek keragaman budaya dan jenis hutan sehingga seragam dalam mengatur desa hutan dan sistem tata kelola hutan. Dampak penyeragaman adalah disorientasi pengelolaan hutan yang belum sesuai kondisi lokal sehingga kurang berhasil. Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun yang lalu berdasarkan kearifan lokal melalui sistem kelembagaan lokal yang sudah teruji sehingga berdampak pada kelestarian hutan. Hutan sebagai kesatuan lingkungan dan budaya merupakan tumpuan masyarakat sekitar hutan dalam menopang sistem kehidupan. Budaya terbentuk dari hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumberdaya hutan Nugraha dan Murtijo 2005 sehingga unik dan spesifik beradaptasi dengan perubahan selama ratusan tahun sesuai karakteristik hutan. Pelaksanaan program konservasi semestinya mempertimbangkan budaya masyarakat tradisional sehingga sesuai dengan karakteristik hutan. Masyarakat tradisional di dalam dan sekitar kawasan konservasi berperan dalam mendukung pengelolaan dengan pengetahuan lokal dalam pemanfaatan hutan berkelanjutan Junior dan Sato 2005. Perbedaan pemahaman antara pengetahuan lokal dan ilmiah dapat dijembatani dengan mengintegrasikan pengetahuan lokal tersebut ke dalam pengetahuan ilmiah Ruheza dan Kilugwe 2012. Integrasi budaya dalam konservasi diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konservasi yang dapat mempengaruhi kebijakan konservasi Young et al . 2014. Budaya dalam konservasi hutan atau kearifan lokal berbasis pengetahuan lokal sedangkan konservasi berbasis sains. Konservasi menggunakan pendekatan logika sedangkan kearifan lokal menggunakan pengetahuan lokal. Konservasi dan kearifan lokal memiliki tujuan umum kelestarian hutan untuk kesejahteraan masyarakat, tetapi pengetahuan lokal kurang dipahami karena dianggap kuno dan tidak masuk akal Kosmaryandi 2012a. Kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam sejak turun-temurun memiliki peran dalam konservasi hutan melalui pemanfaatan tradisional yang mempengaruhi kelestarian hutan Pei et al. 2009; Pei 2013. Konservasi budaya lokal diuji dengan waktu sehingga sama dengan proses trial and error, sedangkan konservasi didasarkan pada pengujian ilmiah sehingga keduanya memiliki kebenaran ilmiah. Sebuah pemahaman menyeluruh pengetahuan lokal melalui studi etnografi akan mengungkap sisi budaya dalam konservasi. Gagasan mengenai pembentukan kawasan konservasi di Indonesia selalu dengan pertimbangan nilai-nilai ilmiah dalam kawasan hutan. Pengakuan pentingnya kawasan konservasi secara nasional dan internasional merupakan 13 pencapaian tujuan konservasi berdasarkan pada nilai ilmiah dari sisi ekologi tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat tradisional. Sebuah nilai ilmiah ekosistem alam semestinya selaras dengan sudut pandang masyarakat tradisional yang berbeda. Bagi masyarakat tradisional saat ini, nilai-nilai penting dari kawasan konservasi belum terwujud untuk mendukung kebutuhan hidup. Akses terhadap sumberdaya alam sering dikorbankan demi nilai-nilai virtual yang belum dipahami. Manfaat nyata harus mendukung pemenuhan kehidupan sehari-hari. Kepentingan nasional dan global dalam konservasi semestinya selaras dengan kearifan lokal masyarakat tradisional. Upaya untuk mempertahankan kawasan konservasi melalui mekanisme hukum dan tanpa mengurangi hak-hak masyarakat tradisional menjadi pilihan alternatif dalam pengelolaan kawasan konservasi yang efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan studi etnografi yang mendukung konservasi.

2.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 pada wilayah Pegunungan Ruteng. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Lokasi penelitian meliputi tiga kampung, dua kampung terletak di Pegunungan Ruteng dan satu kampung lainnya di sebelah selatan Pegunungan Ruteng pada wilayah terisolir di Hutan Todo sebagai data pembanding Gambar 2.1. Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Pada wilayah hutan Todo masyarakat diberikan akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan pada Hutan Ruteng belum diberikan akses. Status kawasan Hutan Todo adalah hutan lindung sedangkan Hutan Ruteng adalah kawasan konservasi. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa Verheijen 1991 dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan Trainor dan Lesmana 2000. Pengambilan data penelitian berupa data etnografi yang mengungkap sepuluh hal, yaitu: 1asal-usul, 2 penyebaran suku bangsa, 3 pengembaraan, 4 struktur dan komposisi kependudukan, 5 ciri biofisik, 6 bahasa, 7 istilah silsilah, 8 perkawinan dan kekerabatan, 9 kepercayaan dan agama serta 10 kepemimpinan yang erat kaitannya dengan adaptasi suatu suku bangsa terhadap ekosistem Rahman 2013. Perolehan data melalui observasi partisipatif, Focus Group Discusion FGD, wawancara mendalam dan studi pustaka. Wawancara menggunakan wawancara mendalam dengan menetapkan beberapa informan berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball Sugiyono 2010. Sumber: 1. Peta administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 2. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 3911Menhut-VIIKUH2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Nusa Tenggara Timur Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian