125 Pada tahun 1999, pengelolaan Hutan Ruteng diserahkan kepada Unit
Pelaksana Teknis UPT Balai Konservasi Sumber Daya Alam di bawah Kementerian Kehutanan. Struktur organisasi pengelola mengalami perubahan
sebanyak beberapa kali Tabel 5.3, sampai saat ini dikelola oleh satu unit tersendiri yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi KPHK Ruteng.
Tabel 5.3 Sejarah Pengelolaan Kawasan Hutan Ruteng Tahun
Pengelola Kawasan
Nomor SK Menteri Kehutanan
Kedudukan, Jumlah Kawasan dikelola
Sebelum 1993
Dinas Kehutanan
Manggarai -
Ruteng
1993 - 1999 BPPKAT
- Ruteng, 1 kawasan
1999 - 2002 Unit KSDA
NTT II 204Kpts-II1998,
27 Pebruari 1998 Ruteng, 15 kawasan
2002 - 2007 Balai KSDA
NTT II 6187Kpts-II2002,
10 Juni 2002 Ruteng, 15 kawasan
2007 – 2014 Balai Besar
KSDA NTT P.02Menhut-II2007,
1 Pebruari 2007 Kupang, 28
Kawasan 2014 - saat
ini KPHK
Ruteng SK.986Menhut-II2013,
27 Desember 2013 Ruteng, 1 kawasan
Peraturan yang mengatur pengelolaan Taman Wisata Alam TWA adalah UU No 5 Tahun 1990. Taman Wisata Alam adalah kawasan konservasi yang
termasuk ke dalam Kawasan Pelestarian Alam, yang memiliki 3 fungsi Pasal 5 3, yaitu: 1 perlindungan sistem penyangga kehidupan, 2 pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, 3 serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Berdasarkan PP 282011 jo PP 1052015, TWA dapat dimanfaatkan melalui 2 kegiatan Pasal 32 3, yaitu: pemanfaatan kondisi lingkungan dan pemanfaatan
jenis tumbuhan dan satwa liar. Pemanfaatan TWA dapat berupa pasal 37: a penyimpanan danatau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas,
dan angin serta wisata alam; b penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; c pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam; d pemanfaatan
sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya; e pembinaan populasi dalam rangka penetasan telur danatau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan f
pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
Prakondisi untuk pengelolaan TWA menurut PP 282011 pasal 14, yaitu: inventarisasi potensi kawasan, penataan kawasan dan penyusunan rencana
pengelolaan, artinya bahwa pengelolaan TWA dapat dilakukan setelah adanya penataan kawasan dan rencana pengelolaan. Penataan kawasan dalam wilayah
KPA selain taman nasional adalah dengan cara pembagian blok pengelolaan pasal 19, yaitu: blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya. Pemanfaatan
tradisional semestinya dapat diakomodir di dalam blok lainnya untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang secara turun-temurun mempunyai
ketergantungan dengan sumberdaya alam penjelasan pasal 19 huruf c.
Peraturan mengenai penataan kawasan di dalam kawasan konservasi secara khusus diatur oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
126 P.76Menlhk-Setjen2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional dan
Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam memungkinkan pengelolaan yang mengakomodir kepentingan
masyarakat dalam penataan ruang di blok lainnya. Di dalam blok lainnya dapat dibuat blok pemanfaatan tradisional yang merupakan hasil kesepakatan antara
pengelola kawasan hutan dan masyarakat adat menjadi satu kesatuan dengan kawasan konservasi sehingga menyatukan antara kepentingan pembangunan
masyarakat dan konservasi. Blok pemanfaatan tradisional dapat menjadi jawaban untuk menangani konflik antara masyarakat adat dan pengelola kawasan
konservasi, namun dibutuhkan komitmen bersama dalam melakukan sebuah kesepakatan.
Tabel 5.4 Wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan hutan No
Wilayah kampung
Wilayah Adat dalam
kawasan Akses yang diinginkan
Keterangan 1
Mano Puar
Pemanfaatan HHBK dan kayu untuk rumah
adat Semua wilayah adat
Mano berada di luar kawasan TWA
Ruteng
2 Lerang
Bangka Tenda
Lahan pertanian komunal
Kampung lama yang ada dalam
hutan TWA Ruteng
Lingko Rewek
Lahan pertanian komunal
Sekitar batas kawasan TWA
Ruteng
Lingko Tenda
Lahan pertanian komunal
Sekitar batas kawasan TWA
Ruteng
Lingko Jendong
Lahan pertanian komunal
Sekitar batas kawasan TWA
Ruteng
Puar Pemanfaatan HHBK
dan kayu untuk rumah adat
Wilayah sekitar batas TWA Ruteng
Cengit Daerah keramat untuk
ritual adat Wilayah sekitar
Danau Ranamese 3
Wae Rebo
Puar Pemanfaatan HHBK
dan kayu untuk rumah adat
Wilayah sekitar batas Hutan Todo
Cengit Daerah keramat untuk
ritual adat Wilayah sekitar
batas Hutan Todo Pada wilayah kampung Mano, pal batas pengelolaan TWA Ruteng berimpit
dengan pal Belanda sehingga tidak ada permasalahan dalam ruang pengelolaan. Pada wilayah kampung Lerang terdapat kampung lama bangka di dalam kawasan
TWA Ruteng yang mereka namakan Bangka Tenda. Dalam budaya Manggarai, wilayah sekitar kampung adalah lingko lahan komunal sehingga hal ini menjadi
127 dasar klaim kepemilikan lingko dalam kawasan TWA Ruteng, yaitu Lingko Rewek,
Tenda dan Jendong Tabel 5.4.
b. Hutan Lindung Todo
Hutan Todo merupakan hutan lindung seluas 10 .
089.2 hektar menurut keputusan Menteri Kehutanan nomor: 239kpts-II1987 tanggal 6 Agustus 1987
untuk tujuan perlindungan hidrologi. Kawasan sudah memiliki tata batas dan sudah ketemu gelang sehingga secara dapat dilakukan pengelolaan secara legal formal.
Hutan Lindung Todo saat ini berada di bawah pengelolaan Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai.
Kegiatan ekoturisme di Wae Rebo merupakan inisiatif masyarakat tradisional kampung Wae Rebo yang berada di dalam enclave Hutan Todo. Wae Rebo
merupakan kampung tradisional Manggarai yang berada di tengah Hutan Todo pada ketinggian 1
. 100 m dpl, secara administratif termasuk dalam Desa Satar Lenda,
Kecamatan Satar Mese Barat Kabupaten Manggarai. Wilayah ini merupakan enclave
seluas 200 hektar yang memiliki tujuh rumah berbentuk kerucut. Rumah induk disebut mbaru tembong dapat menampung delapan keluarga dan enam rumah
lainnya disebut mbaru niang dapat menampung enam keluarga. Mbaru tembong dan mbaru niang merupakan tempat tinggal tua-tua adat dan salah satu mbaru niang
untuk tempat menerima tamu.
Masyarakat dahulunya hidup nomaden dan leluhur mereka Empo Maro memutuskan menetap membangun tujuh rumah di Wae Rebo sekitar abad kesebelas
dengan pertimbangan wilayah yang rata di atas gunung dan adanya mata air. Sekitar tahun 1900 misionaris datang ke Wae Rebo memberikan pendidikan dan agama
Katolik. Sejak saat itu penduduk memeluk agama Katolik meski perilaku sehari- hari mencerminkan kepercayaan tradisional. Sekitar tahun 1980, sebagian
masyarakat meninggalkan kampung Wae Rebo karena terisolir dan pindah ke pesisir sehingga tahun 1990 tinggal 3 rumah saja. Tahun 2004 sampai 2006 LSM
Burung Indonesia tertarik dengan banyaknya spesies burung penting di wilayah ini melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tetap tinggal di
wilayah ini dan mencintai serta menjaga lingkungan. Kampung unik ini kedatangan turis asing terutama dari Belanda sejak tahun 2005 dan mendapatkan donatur untuk
merekonstruksi empat rumah adat sejak tahun 2008 sampai 2010. UNESCO menetapkan kampung ini menjadi warisan dunia tahun 2012.
Peraturan yang mengatur mengenai hutan lindung adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam aturan ini definisi hutan lindung adalah kawasan
hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa Pasal 26: pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan tersebut dilakukan melalui pemberian ijin usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada pasal 38 disebutkan juga bahwa pemanfaatan hutan lindung juga dapat dilakukan untuk kepentingan pembangunan
di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan.
Pada penjelasan pasal 26 disebutkan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan di hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan
128 meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan
sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Pemanfaatan tanpa mengurangi fungsi utama kawasan contohnya adalah:
budidaya jamur, penangkaran satwa, budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan contohnya adalah pemanfaatan untuk wisata alam,
pemanfaatan air dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu contohnya adalah rotan, madu dan buah. Pada penjelasan pasal
38 yang dimaksud kepentingan di luar kehutanan antara lain salah satunya adalah untuk kepentingan religi.
Peraturan yang mengatur mengenai tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pengelolaan hutan diatur dengan PP No. 72007 jo PP No.
32008. Pada pasal 12, 23 dan 29 secara implisit disebutkan bahwa penataan kawasan hutan lindung dengan cara pembagian blok pengelolaan menjadi blok
perlindungan dan blok pemanfaatan. Dalam peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan nomor: P.5VII-WP3H2012 tanggal 14 Mei 2012 tentang Petunjuk
Teknis Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi
KPHP, selain blok perlindungan dan pemanfaatan dapat dibuat blok khusus, yaitu blok pemanfaatan tradisional di dalam Hutan Lindung.
Pada wilayah kampung Wae Rebo di Hutan Lindung Todo seluruh wilayah adat berada di dalam enclave Wae Rebo seluas 200 hektar sehingga hal ini tidak
ada permasalahan dalam ruang pemanfaatan Tabel 5.4. Wilayah adat yang berada di dalam Hutan Lindung Todo adalah daerah keramat cengit dan puar untuk
pemanfaatan. Masyarakat Wae Rebo memanfaatkan hasil hutan non kayu dan kayu bangunan untuk rumah adat dari dalam kawasan Hutan Todo. Untuk legalitas
pemanfaatan, maka perlu dibuatkan blok khusus, yaitu blok pemanfaatan tradisional di dalam Hutan Lindung Todo untuk kebutuhan pemanfaatan
tradisional, yaitu kebutuhan pembangunan rumah adat, hasil hutan non kayu dan wisata alam. Pembuatan blok pemanfaatan tradisional di dalam hutan lindung
sesuai dengan peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan nomor: P.5VII- WP3H2012 tanggal 14 Mei 2012 tentang Petunjuk Teknis Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHL dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP.
2. Kesepakatan aturan pengelolaan
Kesepakatan dalam aturan pengelolaan dapat dilakukan di dalam blok pemanfaatan tradisional. Pemerintah memberikan akses pemanfaatan di dalam
blok pemanfaatan tradisional dalam PP No. 108 Tahun 2015 pasal 36 2 dan 37 f. Akses pemanfaatan tersebut dalam bentuk pemungutan hasil hutan bukan kayu
HHBK, budidaya tradisional dan perburuan tradisional terbatas pada spesies yang berstatus tidak dilindungi. Kesepakatan mengenai aturan pengelolaan merupakan
satu bentuk integrasi kearifan lokal dan aturan formal yang mendukung pelaksanaan kearifan lokal di dalam ruang pemanfaatan yang disepakati di dalam
kawasan hutan yang dikelola bersama.
Bentuk kegiatan dalam blok pemanfaatan tradisional tersebut dapat diintegrasikan dengan aturan informal masyarakat dalam hutan di Pegunungan
Ruteng, yaitu:
129 -
Pemanfaatan kayu bangunan khusus untuk rumah adat secara selektif dengan upacara adat roko molas poco
- Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu
- Perburuan babi hutan dan tikus betu
Beberapa aturan larangan adat yang sesuai dengan aturan formal adalah sebagai berikut:
- Tidak diperbolehkan menebang pohon pada daerah keramat, sekitar mata air dan
danau. -
Tidak diperbolehkan memanfaatkan pohon Ficus spp. -
Tidak mengganggu satwa ceki. 5.3.2
Pengelolaan kawasan dengan ciri khas budaya setempat
Aturan formal selama ini yang mengatur mengenai pengelolaan hutan seragam untuk seluruh Indonesia. Seharusnya
kriteria pengelolaan didasarkan pada “ciri khas tertentu” bersifat lokal yang mengacu pada kriteria pengelompokan berdasarkan perbedaan
karakteristik bio-kultur diversitas. Ciri khas berdasarkan perbedaan budaya pada masing- masing etnik yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan belum diperhitungkan di
dalam pengelolaan kawasan hutan.
Ciri khas tertentu yang merupakan keanekaragaman hayati tersebut menjadi dasar pengelompokkan kawasan menjadi
kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seperti dijelaskan dalam UU No. 5 Tahun 1990 pasal 1 9 dan 1 13. Budaya masyarakat dalam melakukan
konservasi yang diadopsi dalam pengelolaan masing-masing kawasan dapat menjadikan pengelolaan itu unik dan spesifik dan hal tersebut perlu dituangkan
dalam peraturan perundangan. Pengelolaan kawasan seharusnya memasukkan ciri khas bio cultural diversity bukan hanya biodiversitasnya.
Pengelolaan kawasan dengan ciri khas budaya yang pertama adalah memperhatikan spesies kunci budaya sehingga pengelolaan kawasan memiliki ciri
khas bio cultural diversity. Kegiatan pengelolaan yang berhubungan dengan spesies hutan, misalnya rehabiltasi kawasan, budidaya semestinya menggunakan
spesies kunci budaya karena memiliki kesesuaian dengan bioekologi dan budaya setempat. Pengelolaan tersebut akan memberikan kesempatan untuk membuka
akses pemanfaatan oleh masyarakat tradisional untuk pemenuhan kebutuhan subsisten dan adatbudaya. Prioritas pengawetan spesies tumbuhan seharusnya
ditujukan pada spesies prioritas konservasi lokal dengan mendorong upaya budidaya pada lahan masyarakat. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada
masyarakat tradisional untuk memanfaatkan spesies untuk tujuan komersial dengan memanfaatkan kawasan sebagai sumber benih bagi upaya budidaya di lahan
masyarakat.
Pengelolaan kawasan dengan ciri khas budaya yang kedua adalah mengadopsi sistem tata guna lahan tradisional ke dalam zonasiblok pengelolaan
kawasan berdasarkan kesamaan fungsi sehingga pengelolaan kawasan memiliki ciri khas zonasiblok yang berbeda. Pengelolaan dengan ciri khas zonasiblok tersebut
akan memberikan kesempatan untuk melibatkan masyarakat sebagai subyek dalam pengelolaan kawasan. Pelibatan masyarakat sebagai subyek tersebut termasuk juga
dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan ekoturisme.
5.3.3 Pemanfaatan spesies dalam kawasan
Pemanfaatan tumbuhan di dalam kawasan hutan diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal