6
c. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengungkapkan fakta bahwa masyarakat Suku Manggarai memiliki kearifan lokal yang dapat mendukung
konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat tradisional dan konservasi dalam pengelolaan hutan.
Tujuan penelitian ini secara rinci adalah: 1.
Memperoleh gambaran mengenai budaya masyarakat suku Manggarai dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem pegunungan Ruteng dengan
studi etnografi yang mendukung konservasi. 2.
Mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan dan keberlanjutannya oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi.
3. Mengkaji bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai
yang mendukung konservasi dan kesejahteraan. 4.
Menyusun sintesis konsep pengelolaan kawasan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dalam konservasi berdasarkan penelitian 1 sampai dengan 3.
d. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis sebagai sebuah konsep pengelolaan hutan yang mengintegrasikan kearifan lokal dan konservasi sebagai bahan referensi untuk
pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dalam rangka memperkaya dan menyempurnakan materi serta dapat
digunakan sebagai acuan bagi para peneliti selanjutnya.
2. Secara praktis sebagai saran atau masukan untuk perumusan kebijakan
pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dan khususnya kawasan Pegunungan Ruteng.
e. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori Ekologi Manusia yang menyatakan bahwa setiap kelompok masyarakat melakukan interaksi dengan
lingkungannya membentuk hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara sistem sosial dan ekosistem Rambo 1983; Marten 2001; Dharmawan 2007.
Perubahan ekologis adalah dampak interaksi manusia dan alam dalam konteks pertukaran. Proses pertukaran energi, materi dan informasi sistem alam dan sistem
manusia dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain yang kemudian menghasilkan kearifan lokal Gambar 1.1.
Julian H. Steward mencetuskan konsep ekologi budaya yang memiliki makna adanya hubungan timbal balik antara lingkungan atau hutan dan kebudayaan
Steward 1955. Hal yang sama diungkapkan oleh Pei et al. 2009 dan Pei 2013 bahwa pemanfaatan tumbuhan hutan oleh masyarakat tradisional berdampak pada
kelestarian hutan.
Pengambilan sampel pada dua lokasi kawasan hutan di Pegunungan Ruteng karena adanya kesamaan suku, budaya, bahasa dan ekosistem serta adanya
7 perbedaan, yaitu adanya akses pemanfaatan tumbuhan hutan di Hutan Todo dan
belum adanya akses pemanfaatan di Hutan Ruteng. Pengambilan sampel untuk membandingkan dampak penutupan akses pemanfaatan hutan oleh masyarakat
tradisional. Pendekatan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kearifan lokal yang mendukung konservasi menggunakan studi etnografi, etnobotani dan
etnoekologi.
Pendekatan studi etnografi untuk memahami budaya masyarakat secara menyeluruh yang mendukung konservasi tumbuhan dan ekosistem. Studi etnografi
juga berguna untuk memahami sistem gagasan masyarakat dan pola perilaku masyarakat kampung hutan terkait konservasi Nugraha dan Murtijo 2005.
Pengambilan data etnografi tersebut mengungkap 10 hal yang erat kaitannya dengan adaptasi suatu suku bangsa terhadap ekosistem Rahman 2013, yaitu:
1asal-usul, 2 penyebaran suku bangsa, 3 pengembaraan, 4 struktur dan komposisi kependudukan, 5 ciri biofisik, 6 bahasa, 7 istilah silsilah, 8
perkawinan dan kekerabatan, 9 kepercayaan dan agama serta 10 kepemimpinan.
Gambar 1.1 Pertukaran energi, materi dan informasi antara sistem sosial dan ekosistem Rambo 1983; Marten 2001; Dharmawan 2007
Studi etnobotani untuk memahami kearifan lokal dalam hal interaksi antara manusia dengan sumberdaya tumbuhan Cotton 1996; Minnis 2000; Anderson et al.
2011; Pei 2013 karena tumbuhan memiliki peranan yang penting dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangan serta sosial budaya masyarakat. Hal yang
sama dinyatakan oleh Pei 2013, bahwa studi etnobotani sangat penting dalam konservasi tumbuhan.
Spesies yang paling penting secara budaya dan ekologi dipelajari secara mendalam mengenai cara-cara masyarakat melakukan konservasi. Pengukuran
tingkat kepentingan spesies tumbuhan hutan menggunakan Index Cultural Significance
ICS dengan metode yang dikembangkan oleh Turner 1988 yang menggambarkan tingkat kepentingan suatu spesies secara budaya pada suatu
masyarakat tertentu Turner 1988; Cristancho dan Vining 2004. Pengukuran nilai kepentingan spesies tumbuhan hutan secara ekologi dalam ekosistem hutan
menggunakan Indeks Nilai Penting Mueller dan Ellenberg 1974. Pengetahuan
8 lokal mengenai konservasi tumbuhan tersebut dijelaskan secara sains sehingga
dapat diintegrasikan ke dalam konservasi tumbuhan hutan. Spesies tumbuhan hutan yang merupakan prioritas untuk konservasi secara lokal ditentukan berdasarkan
penyebarannya, sifat kegunaannya untuk komersial atau konsisten, nilai ICS dan status keberadaannya di alam.
Evaluasi pemanfaatan tumbuhan hutan berdasarkan informasi etnobotani menggunakan teori Pei et al. 2009 yang memberikan gambaran faktor-faktor
yang mengakibatkan degradasi hutan. Pengukuran tingkat pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Phillip dan Gentry 1993a,
1993b yang menggambarkan tingkat pengetahuan etnobotani masyarakat dari 0 sampai 1. Penghitungan kemampuan menjaga pengetahuan dan keberlanjutannya
menggunakan indeks retensi Zent 2009. Penurunan pengetahuan merupakan indikator degradasi hutan karena penurunan kemampuan masyarakat melakukan
konservasi tumbuhan hutan.
Studi etnoekologi untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengetahuan Masyarakat tradisionalyang berhubungan dengan pengelolaan lahan secara
tradisional. Pemetaan pengelolaan lahan dan hutan menggunakan mental map, yaitu peta yang tergambar di dalam pikiran masyarakat. Hasil mental map
diperoleh dari hasil wawancara, penelusuran lokasi di lapangan bersama masyarakat dan pemetaan dengan koordinat geografis. Penutupan hutan diperoleh
dari hasil analisis citra landsat pada kedua hutan sejak penetapan Hutan Ruteng menjadi kawasan konservasi pada Tahun 1994. Kondisi penutupan hutan akan
memberikan gambaran mengenai akibat adanya akses masyarakat yang mengelola hutan dengan kearifan lokal dan pengelolaan hutan konservasi yang menutup akses
masyarakat terhadap pemanfaatan tumbuhan hutan.
Untuk mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam kebijakan pengelolaan kawasan hutan menggunakan analisis isi peraturan. Analisis isi peraturan dilakukan
mulai dari yang tertinggi yang terkait dengan konservasi, yaitu undang-undang sampai ke surat keputusan menteri.
Kearifan lokal yang teridentifikasi merupakan strategi hidup survival sehingga merupakan strategi konservasi yang bersentuhan langsung dengan
pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Kearifan lokal tersebut dijelaskan secara sains sehingga dapat diintegrasikan ke dalam strategi konservasi. Kearifan lokal
adalah site spesific sehingga setiap satuan unit terkecil merupakan bentuk keberagaman dalam kesatuan negara Indonesia dalam rangka pengembangan
konservasi. Setiap ekosistem hutan alam memiliki keanekaragaman yang tinggi yang semestinya dibangun berbasis sumberdaya hayati dan pengetahuan budaya
lokal Zuhud 2011. Program konservasi pengelolaan hutan semestinya mengintegrasikan sistem lokal yang telah beradaptasi dengan perubahan selama
ratusan tahun. Teori konservasi bersifat universal, tetapi penerapannya semestinya unik dan spesifik untuk setiap lokasi. yang kemudian menjadi dasar dari konsep
integrasi kearifan lokal ke dalam kegiatan konservasi, yaitu pemanfaatan, pengawetan dan perlindungan. Integrasi kearifan lokal dan konservasi seperti
disajikan pada Gambar 1.2.