Mengakomodir tata guna lahan tradisional dalam blokzona pengelolaan

123 memiliki blok pengelolaan hutan. Hak mengelola secara terbatas, bukan hak kepemilikan, dapat diwariskan namun tidak dapat diperjual-belikan. Satu syarat penting sebelum adanya kesepakatan adalah adanya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat seperti tertulis dalam UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 3. Syarat pengakuan terhadap adanya masyarakat adat tersebut adalah adanya: 1 pemimpin adat; 2 wilayah adat; 3 aturan adat dan 4 komunitas adat. Keempat prasyarat tersebut terpenuhi pada masyarakat Manggarai sehingga dapat diusulkan dalam peraturan daerah untuk pengakuan keberadaan masuarakat adat. Pengakuan mengenai keberadaan masyarakat adat dapat dicabut apabila dalam perkembangannya yang bersangkutan tidak ada lagi Pasal 5 4. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat adat sesuai dengan fungsi lindung dan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsi hutan Pasal 37 sehingga dapat diakomodir di dalam blok pengelolaan kawasan. Pengelolaan oleh masyarakat adat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku serta berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya Pasal 67. Pemanfaatan tradisional oleh masyarakat tradisional dapat dilakukan di dalam blok pemanfaatan tradisional dengan syarat ada dua kesepakatan, yaitu:

1. Kesepakatan ruang pengelolaan

Sumberdaya hutan Pegunungan Ruteng secara de facto dimiliki dan diakses oleh masyarakat tradisional meskipun secara hukum merupakan hutan negara. Masyarakat tradisional secara jelas dapat menentukan sumberdaya yang mereka miliki karena memiliki hak kepemilikan yang masih ditaati sampai saat ini dan dilindungi oleh hukum adat. Sistem hak kepemilikannya terdiri dari hak komunal, yaitu : beo kampung, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, bangka kampung lama dan cengit daerah keramat serta hak kepemilikan privat, yaitu roas halaman sekitar rumah. Aturan pemanfaatan sumberdaya sesuai dengan sistem pembagian tata ruang secara tradisional yang dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: wilayah tinggal, wilayah budidaya dan wilayah pemanfaatan. Wilayah tinggal disebut dengan beo kampung dengan kepemilikan privat rumah tinggal dan pekarangan sekitar rumah. Wilayah budidaya meliputi lingko kebun komunal dan wilayah yang diberakan untuk cadangan pertanian yang disebut dengan rami hutan sekunder. Wilayah untuk pemanfatan terbagi menjadi dua, yaitu puar untuk pemenuhan berbagai macam kebutuhan subsisten sehari-hari termasuk kebutuhan protein dengan cara berburu dan daerah keramat untuk kebutuhan religi. Daerah keramat umumnya berupa mata air dan danau dengan wilayah sekitar hutan yang dikeramatkan. Masing-masing kampung memiliki wilayah pengelolaan yang jelas dan tidak ada tumpang tindih. Masyarakat dalam satu kampung Manggarai adalah satu klan sehingga saling mengenal satu sama lain. Pemanfaatan sumberdaya hutan kampung Wae Rebo di Hutan Todo dilakukan dengan sepengetahuan lembaga adat. Pada wilayah TWA Ruteng pemanfaatan sumberdaya hutan dilakukan untuk komersial dan sudah tidak lagi ada pengaturan dari lembaga adat. Masyarakat kampung Mano dan Lerang sering menuduh masyarakat dari kampung lain yang memanfaatkan hutan untuk melepas tanggung jawab secara hukum akibat pemanfaatan komersial yang kurang lestari. 124 Solusi penyelesaian permasalahan belum adanya titik temu pengelolaan bersama antara masyarakat tradisional yang arif dalam melakukan konservasi tumbuhan dan ekosistem Pegunungan Ruteng dan pengelola kawasan hutan adalah kesepakatan bersama dalam ruang dan aturan pengelolaan. Prasyarat berjalannya kesepakatan dalam pengelolaan hutan di Pegunungan Ruteng adalah: • Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat tradisional dan wilayah adat beserta batas-batasnya ditetapkan oleh Perda Masyarakat Adat dan di akui oleh masyarakat tradisional lainnya. • Pengelola hutan negara dan masyarakat tradisional mempunyai kedudukan yang sama dalam mengelola kawasan yang disepakati. • Masyarakat adat dan pihak pengelola hutan bersama-sama menjaga kelestarian sumberdaya alam yang dikelola bersama. • Pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan kepentingan komunal yang memperhatikan kelestarian hutan. • Hukum adat masih dipatuhi dan berlaku sepenuhnya di dalam komunitas masyarakat tradisional dan lembaga adat mempunyai peran penting dalam menegakan hukum adat. Hanya sebagian kecil dari wilayah adat kampung-kampung Manggarai sekitar hutan di Pegunungan Ruteng yang berada di dalam hutan negara. Wilayah yang menurut masyarakat berada di dalam hutan negara apabila 1 terdapat kampung lama bangka yang berada di dalam hutan 2 adanya perbedaan pal batas antara pal batas pengelolaan hutan dan pal Belanda. Aturan formal pengelolaan dan kesepakatan ruang pengelolaan pada kedua wilayah hutan seperti dijelaskan sebagai berikut: a. Taman Wisata Alam Ruteng Hutan Ruteng pada awalnya berstatus hutan lindung seluas 17 . 857.60 hektar dan hutan produksi terbatas seluas 14 . 388 hektar yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Potensi kekayaan spesies terutama jenis burung, fungsi hidrologi untuk kota Ruteng dan Borong serta wisata alam pegunungan hutan hujan tropis yang menarik dan mudah diakses oleh wisatawan menjadi dasar penetapan kawasan Hutan Ruteng seluas 32 . 248.60 hektar menjadi Taman Wisata Alam dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 456Kpts-II1993 tanggal 24 Agustus 1993. Kawasan sudah memiliki tata batas dan sudah ketemu gelang sehingga dapat dilakukan pengelolaan secara legal formal. TWA Ruteng saat ini berada di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur yang berkedudukan di Kupang. Pengelolaan TWA Ruteng sejak tahun 1993 pertama kalinya dilakukan pemerintah melalui Proyek Konservasi Alam Terpadu PKAT yang merupakan salah satu dari dua bagian proyek yaitu Taman Wisata Alam Ruteng dan Taman Nasional Siberut. Proyek tersebut merupakan pinjaman lunak soft loan dari Asian Development Bank ADB, namun proyek ini dihentikan setelah 6 tahun berjalan pada tahun 1999 dari rencana programnya selama 20 tahun Trainor dan Lesmana 2000; Darmanto 2011. Proyek PKAT adalah bagian dari skema Integrated Conservation and Development Project yang diterapkan di seluruh dunia. Proyek ini menyelaraskan kepentingan pelestarian alam dengan kepentingan masyarakat tradisional yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan terutama untuk pengembangan ekonomi masyarakat tradisional Wells et al. 1992.