Pengetahuan, Sikap Masyarakat dan Pengelolaan

109 dengan pendapat Zuhud 2011, bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh tidak adanya pengaturan dalam pemanfaatan hasil hutan sekalipun untuk pemanfaatan hasil hutan non kayu. Pada wilayah Hutan Todo masyarakat tradisional memiliki akses pemanfaatan kayu untuk kebutuhan subsisten dan adatbudaya sehingga melakukan pemanfaatan yang berdampak kelestarian hutan. Pemberian kesempatan mengelola wisata menyebabkan masyarakat memiliki kesempatan mendapatkan uang tunai. Pemberian akses ke dalam kawasan konservasi memberikan sikap merasa memiliki, tanggung jawab dan konservasi sehingga menyebabkan perilaku konservasi. Tabel 5.1 Stimulus dan aksi konservasi masyarakat tradisional Manggarai No Stimulus Aksi Konservasi I Alamiah Fungsi ekologis - Pembagian tata guna lahan, yaitu: beo kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, pong hutan keramat, cengit daerah keramat. - Menanam pohon ara Ficus variegata di sekitar mata air. II Manfaat 1. Sumber mata air - Melindungi hutan daerah sekitar mata air dengan sanksi adat. - Melindungi danau 2. Manfaat tumbuhan untuk 12 jenis pemanfaatan - Pemanfaatan untuk subsisten - Merawat anakan pohon teno yang tumbuh secara alami untuk digunakan dalam 5 kegunaan - Memanfaatkan pohon worok Dysoxylum densiflorum yang berumur 70 tahun untuk bahan bangunan rumah adat III ReligiusRela 1. Daerah keramat Perlindungan daerah keramat, seperti: sekitar mata air dan danau 2. Pohon-pohon keramat Perlindungan pohon Ficus spp 3. Satwa ceki Perlindungan satwa ceki totem Masyarakat tradisional memahami stimulus alamiah, manfaat dan religiusrela sehingga konservasi terwujud di wilayah pegunungan Ruteng Tabel 5.1. Konservasi atau pengelolaan pemanfaatan berkelanjutan tumbuhan hutan terwujud karena tri stimulus amar yang dapat ditangkap dan dilakukan oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Zuhud 2007 bahwa prasyarat terwujudnya sikap masyarakat “tri stimulus amar konservasi” di lapangan, adalah: 1 untuk masyarakat tradisional yang spesifik dan unik yang berinteraksi dengan hutan dan sumberdaya hayati setempat dalam kehidupan sehari-hari, dan sudah turun temurun dan memiliki pengetahuan tradisional sumberdaya hayati, 2 hak 110 akses, hal kepemilikan, hak memanen dan hak memanfaatkan sumberdaya hayati bagi masyarakat yang dimaksud pada butir 1 harus jelas; 3 harus ada keberlanjutan pengetahuan tradisional dari generasi tua ke generasi muda dan harus ada pembinaan dan penyambungan pengetahuan tradisional ke pengetahuan modern dalam masyarakat pada butir 1 Zuhud 2007. Perbedaan pokok antara konservasi dan kearifan lokal orang Manggarai dalam konservasi tumbuhan hutan di pegunungan Ruteng adalah bahwa program konservasi belum memberikan akses pemanfaatan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk adatbudaya masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan konservasi di Hutan Ruteng kurang sesuai harapan karena masyarakat tradisional belum melakukan pengaturan dalam pemanfaatan tumbuhan hutan. Belum adanya akses mengelola wisata alam pada hutan Ruteng melengkapi kegagalan konservasi karena masyarakat hanya memandang hutan Ruteng sebagai sumber pemenuhan kebutuhan uang tunai atau hanya memahami stimulus manfaat ekonomi. Pengelolaan hutan semestinya terkait dengan budaya, kelangkaan sumberdaya dan ekonomi masyarakat hutan Blancas et al. 2013. Bentuk pengelolaan hutan semestinya mengakomodasi kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat Kosmaryandi et al. 2012. Masyarakat mempertahankan keberadaan spesies tumbuhan karena nilai guna spesies tersebut. Stimulus yang paling kuat untuk melakukan konservasi adalah stimulus religi, seperti: perlindungan daerah keramat, pohon ficus spp dan satwa ceki totem. Stimulus rela karena adanya motivasi memanfaatkan spesies tumbuhan juga akan menjadi stimulus yang kuat untuk melakukan konservasi apabila ada stimulus religi seperti pada contoh kasus pemanfaatan pohon teno. Stimulus kerelaan masyarakat untuk melakukan konservasi pada masyarakat kampung Wae Rebo karena adanya manfaat pengambilan spesies tumbuhan dalam hutan dan mengelola wisata secara mandiri.

5.1.6 Masalah Konservasi dan Kesejahteraan

Keanekaragaman hayati pada suatu wilayah dianggap sebagai milik semua bangsa sehingga konservasi keanekaragaman hayati merupakan wacana penting yang menjamin kehidupan atau membahayakan manusia. Hal inilah yang menjadikan konservasi merupakan wacana penting. Hal mendasar dalam konservasi sebenarnya adalah hubungan antara manusia dengan lanskap sebagai tempat keanekaragaman hayati Karanth dan Madhusudan 1997; Schwartzman et al . 2000; Madhusudan dan Raman 2003, serta mengartikulasikan hubungan manusia dengan alam dan cara menata serta menjalankan hubungan itu dengan baik Escobar 1996. Pengaruh adanya globalisasi menyebabkan masyarakat mengukur kesejahteraan hanya dari sisi materi sehingga melakukan eksploitasi hutan. Eksploitasi hutan melebihi kemampuan untuk regenerasi mengakibatkan kerusakan hutan yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas hidup masyarakat tradisional. Kesejahteraan tidak semestinya diukur dari sisi materi saja melainkan juga dari sisi spiritual. Pemberian akses ke dalam hutan untuk kepentingan budaya merupakan merupakan suatu bentuk peningkatan kesejahteraan dan berdampak dukungan masyarakat terhadap kelestarian hutan. Pengakuan terhadap budaya lokal akan mendapatkan balasan berupa tanggung jawab pelestarian hutan sebagai 111 bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat tradisional. Penutupan hutan terhadap akses masyarakat tradisional berdampak pada konflik dan menjadikan hutan sebagai daerah bebas tanpa ada pengawasan dan pengaturan pemanfaatan sumberdaya sehingga berdampak pada degradasi hutan. Hal inilah yang menyebabkan kawasan hutan yang tertutup bagi akses pemanfaatan justru berdampak pemanfaatan yang merusak kelestarian hutan. Keberhasilan program konservasi semestinya bukan hanya mengejar tujuan biosentris Kwiatkowska 2006 melainkan juga kesejahteraan masyarakat tradisional sehingga pendekatan antroposentris cukup untuk melindungi keanekaragaman hayati Knight dan Cowling 2007. Kesejahteraan masyarakat tradisional menyangkut pemenuhan beberapa hal antara lain adalah akses pemenuhan kebutuhan material dasar, kebebasan dan pilihan, kesehatan, hubungan sosial yang baik dan keamanan. Akses pemenuhan material dasar untuk kehidupan yang baik terkait dengan penyediaan seperti makanan air. Kebebasan dan pilihan adalah kebebasan untuk memilih dan mendapatkan kebutuhan material, jasa budaya dan jasa ekosistem. Kesehatan terkait dengan penyediaan pangan dan jasa ekosistem air dan udara serta manfaat rekreasi dan spiritual. Hubungan sosial dipengaruhi oleh perubahan jasa kultural, yang mempengaruhi kualitas pengalaman manusia. Keamanan dipengaruhi perubahan persediaan makanan dan barang- barang lain, konflik atas sumberdaya dan ancaman banjir, kekeringan, tanah longsor, atau lainnya bencana serta kehilangan atribut upacara atau spiritual penting dari ekosistem sehingga hubungan sosial dalam masyarakat melemah Watson dan Zakri 2003. Salim et al. 1999 mengindikasikan kesejahteraan masyarakat tradisional dengan adanya akses terhadap sumberdaya hutan dan berbagai manfaat ekonomi, pengelolaan hutan yang mengakui keberadaan budaya masyarakat tradisional. Pada kedua kawasan tersebut terdapat kegiatan ekoturisme yang dilakukan oleh pemerintah pada Hutan Ruteng dan masyarakat tradisional pada Hutan Todo. Ekoturisme dapat menjembatani antara kepentingan konservasi dan kesejahteraan masyarakat tradisional Zambrano et al. 2010. Konservasi adalah pemanfaatan berkelanjutan sebab itu kegiatan konservasi tidak semestinya memisahkan masyarakat dari pemanfaatan sumberdaya hutan yang lestari dengan alasan pelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa keberadaan masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya ternyata berperan penting dalam kelestarian hutan Baird dan Dearden 2003; Negi 2010; Turner et al. 2011, Pei et al. 2009; Pei 2013. Konservasi yang diinisiasi pemerintah pada Hutan Ruteng berupaya melakukan pelestarian dengan cara memisahkan pengelolaan dari interaksi masyarakat terhadap hutan. Konservasi pada awal pembentukan hutan konservasi di Ruteng adalah preservasi dengan pelarangan berbagai bentuk kegiatan di dalam kawasan. Papan-papan larangan memasuki kawasan ditancapkan di banyak tempat pada batas kawasan dengan ancaman hukuman hingga 5 tahun penjara. Adanya perbedaan tempat penanaman pal batas antara pal Belanda dan pal yang ditanam Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH menyebabkan banyak lahan kebun masyarakat masuk ke dalam kawasan hutan. Masyarakat melakukan protes dengan mencabut dan memindahkan pal batas sesuai keinginan mereka dan menjadi awal antipati masyarakat terhadap konservasi. Masyarakat tetap menggarap kebun pada batas kawasan dan menganggapnya sebagai budaya setempat dengan semboyan “harat kope” artinya upah menjaga 112 batas kawasan. Pada saat patroli pengamanan hutan, petugas menangkap penggarap kebun yang menurut petugas berada dalam kawasan dan memberikan surat peringatan. Apabila lebih dari 3 kali tertangkap maka akan diproses hukum hingga di penjara. Masyarakat sekitar hutan Ruteng apabila ditanyakan mengenai siapa yang bertanggung jawab pada pelestarian h utan akan menjawab, “ Hutan Ruteng ini tanggung jawab petugas Pak”, jawaban berbeda pada masyarakat di Hutan Todo yang merasa mendapatkan manfaat dari kelestarian hutan. Program konservasi yang berhubungan dengan masyarakat seperti penyuluhan, siaran berita konservasi maupun pembentukan kelompok pecinta alam, sarasehan dan bhakti sosial bertujuan untuk pelarangan masyarakat masuk hutan dengan alasan preservasi. Masyarakat tradisional hanya merasakan pembatasan akses ke dalam hutan dan seringkali pada saat kegiatan penyuluhan terucap dar i masyarakat “Bapak-bapak ini lebih sayang pada burung dan pohon dari pada manusia ....”. Perbedaan cara pandang antara masyarakat dan pengelola Hutan Ruteng yang menyebabkan kegagalan konservasi. Pengelola Hutan Ruteng menganggap hutan sebagai aset yang harus dijaga dari berbagai pemanfaatan yang dianggap merusak. Masyarakat tradisional menganggap hutan sebagai tempat hidup berbagai spesies untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan keperluan upacara adat. Pengelola hutan Ruteng menganggap masyarakat tradisional tidak mengerti masalah konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan adalah salah dan merusak. Program kegiatan penyuluhan, pemberdayaan masyarakat daerah penyangga dengan memberikan bantuan ternak, bibit pohon, uang tunai hingga 15 juta rupiah per kelompok dan patroli pengamanan hutan bertujuan untuk memisahkan penduduk dari hutan sebagai satu-satunya jalan menyelamatkan masa depan sedangkan masyarakat tradisional menginginkan pengambilan kayu terutama untuk kebutuhan pembangunan rumah adat. Konflik antara pemerintah daerah dan masyarakat adat semakin meningkat hingga pada Tahun 2004 saat Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai mengadakan kegiatan operasi penertiban kawasan hutan dengan menebang semua tanaman masyarakat yang menurut pemerintah adalah kawasan hutan negara. Pada tanggal 10 Maret 2004, ratusan orang mendatangi kantor polisi untuk membebaskan 7 orang rekannya yang ditahan karena penanaman kopi yang menurut pemerintah dalam kawasan Hutan Ruteng. Tuntutan ini berujung konflik yang menyebabkan 5 orang meninggal dunia dan 26 orang lainnya terluka parah IWGIA 2005. Pihak Balai Besar KSDA NTT selaku pengelola kawasan Hutan Ruteng menginisiani kesepakatan bersama antara pemerintah daerah, Balai Besar KSDA NTT, Gereja dan Lembaga Adat mengenai pengelolaan Hutan Ruteng pada tanggal 30 Mei 2013. Hasil kesepakatan bersama tersebut antara lain adalah melakukan peninjauan kembali wilayah adat dalam kawasan Hutan Ruteng, penguatan kelembagaan adat secara teknis dan mengadopsi serta menerapkan nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional Manggarai yang telah ada dalam kehidupan sehari- hari. Selain adanya konflik, kegiatan ekoturisme yang kurang melibatkan masyarakat serta tidak terpenuhinya kebutuhan kayu bangunan dari hutan sebagai prasyarat pembangunan rumah adat mengakibatkan sikap ketidakpedulian masyarakat terhadap keberadaan hutan Ruteng. Masyarakat tidak merasakan adanya manfaat selain pembatasan-pembatasan kegiatan di dalam hutan serta