Pendahuluan Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

Sumber: 1. Peta administrasi Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 2. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 3911Menhut-VIIKUH2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Nusa Tenggara Timur Gambar 2.1 Peta lokasi penelitian Penentuan informan secara sengaja purposive yang memiliki pemahaman mengenai sumberdaya keanekaragaman hayati. Sumber data berdasarkan petunjuk awal seseorang informan yang selanjutnya merekomendasikan informan lainnya Pendekatan Snowball. Tujuan FGD adalah untuk mendapatkan data dari spesies hutan, alat-alat tradisional dan budaya yang terkait dengan konservasi sementara wawancara mendalam untuk mendapatkan data etnografi. Jumlah total penduduk yang terlibat dalam FGD dan wawancara sebanyak 43 orang. FGD melibatkan 9 orang penduduk kampung Mano, 15 di kampung Lerang dan 10 di kampung Wae Rebo yang dilakukan oleh peneliti dengan bantuan penduduk lokal. Wawancara terbuka dengan penduduk desa melibatkan 3 orang kepala kampung tua golo dan 3 orang penduduk desa yang sering mengambil hasil hutan. Informan pada setiap kampung berjumlah 5 orang yang terdiri dari tua golo, pemimpin kampung yang bertugas membagi lahan tua teno dan 3 orang masyarakat yang biasa mengambil hasil hutan. Wawancara dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman rumah, kebun, hutan dan di pinggir danau supaya informan merasa bebas untuk menyampaikan informasi. Masyarakat Manggarai dapat berbahasa Indonesia dengan baik tetapi lebih menyukai berbahasa Manggarai saat berbicara mengenai budaya namun peneliti dapat mengerti bahasa Manggarai secara pasif. Wawancara juga dilakukan dengan 2 orang pemimpin LSM Yayasan Pembangunan Tani dan Sanggar Lawe Lenggong yang bekerja di bidang konservasi dan budaya serta 2 orang pejabat pemerintah daerah yang mengerti konservasi. Validitas pengukuran data melalui pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal dengan membandingkan hasil wawancara dengan informan dan observasi partisipatif.

2.3 Hasil dan Pembahasan

2.3.1 Asal Usul dan Sejarah Suku Manggarai

Nama Manggarai berasal dari bahasa Bima, secara etimologis dari kata manggar artinya jangkar dan rai artinya lari Lawang 2004. Nama Manggarai berawal dari peristiwa saat pasukan kerajaan Cibal salah satu kerajaan di Manggarai membawa lari jangkar-jangkar kapal milik pasukan Kesultanan Bima yang mendarat dan akan menyerang Cibal. Pasukan Cibal akan mengembalikan jangkar-jangkar kapal dengan syarat pasukan Bima mengakui Cibal sebagai penguasa yang sederajat dengan Bima. Suku Manggarai masa silam takluk pada Kesultanan Goa dan Bima yang memonopoli perdagangannya dan menerima upeti dari Manggarai antara lain hamba sahaya. Hal ini menyebabkan orang Manggarai tinggal jauh dari pantai di pegunungan seperti pegunungan Ruteng sampai saat ini Verheijen 1991. Flores dan Bima merupakan kekuasaan Goa pada abad ke 17. Goa memberikan Manggarai kepada Kesultanan Bima tahun 1658. Perunutan sejarah Manggarai terkait kedaluan Todo dan Cibal yang berkembang menjadi kerajaan dan berperang memperebutkan kekuasaan. Bima berpihak pada Todo untuk memperkokoh posisinya di Manggarai hingga masuknya Belanda tahun 1905 yang mendapat perlawanan sampai tahun 1908 Lawang 2004. Kesultanan Bima menguasai Manggarai Selatan pada tahun 1762, mengusir Goa dan menguasai