Asal Usul dan Sejarah Suku Manggarai

17 Kebenaran kedua cerita tersebut disangsikan oleh Verheijen 1991 dan Lawang 2004 yang menyatakan bahwa percampuran antara penduduk yang terlebih dahulu dan yang kemudian datang ke Flores Barat belum dapat dibuktikan berasal dari wilayah barat Indonesia dan kemungkinan berasal penduduk dari pulau-pulau di wilayah Nusa Tenggara Timur. Cerita rakyat tersebut diyakini oleh Toda 1999 dengan adanya cerita rakyat yang diyakini dan masih diceritakan turun temurun. Cerita tersebut sesuai dengan pendapat Hadiwiyono 1985 bahwa penduduk Manggarai merupakan percampuran antara penduduk wilayah timur dan wilayah barat Indonesia.

2.3.4 Struktur dan Komposisi Kependudukan

Kampung Mano lebih dekat dengan kota Ruteng memiliki jumlah penduduk lebih banyak daripada dua kampung lainnya Gambar 2.2. Hal ini disebabkan karena penduduk yang tinggal di wilayah terisolir cenderung mengalami perpindahan keluar kampung ke tempat yang memiliki fasilitas dan aksesibilitas yang lebih baik. Saat ini sebagian penduduk kampung Wae Rebo yang hidup dalam enclave hutan Todo tinggal menempati rumah seperti umumnya rumah penduduk kampung lainnya selain dari yang hidup di kampung melingkar. Jumlah penduduk terbesar adalah pada kelompok umur antara 0 –25 tahun dan semakin menurun pada kelompok umur diatasnya. Hal ini menandakan bahwa struktur populasi penduduk pada ketiga kampung masih baik dan akan terus mengalami penambahan penduduk pada tahun-tahun yang akan datang. Sumber: Data Kelurahan Mano, Desa Gololoni dan Kampung Wae Rebo Gambar 2.2 Jumlah dan komposisi penduduk kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo menurut jenis kelamin dan kelas umur 100 200 300 400 500 600 700 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Man o Le ran g W ae R e b o Jumlah Penduduk Je n is K e lam in 70 55-70 40-55 25-40 0-25 18

2.3.5 Ciri Biofisik

Asal usul ras seseorang mempengaruhi ciri biofisik, yaitu penggolongan berdasarkan ciri fisik. Suku-suku di Pulau Flores pada umumnya merupakan ras Weddoid namun suku Manggarai merupakan percampuran unsur budaya dan ras antara Melanesia dan Weddoid. Ras Weddoid merupakan ras dari Hindia bagian selatan yang memiliki ciri-ciri mirip negroid namun memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil. Ciri-ciri ras Weddoid adalah kulit hitam, rambut keriting, hidung pesek dan ukuran tubuh sedang dengan tinggi sekitar 160 cm. Ras ini di Indonesia umumnya mendiami wilayah Maluku dan Nusa Tenggara Timur Hadiwiyono 1985. Penduduk ras Weddoid yang mendiami Flores Barat ini kemudian bercampur dengan pendatang dari ras Melayu wilayah barat Indonesia Toda 1999. Percampuran tersebut memberikan ciri-ciri biofisik orang Manggarai, yaitu berperawakan kecil dengan tinggi sekitar 160 cm, rambut berombak dan kulit sawo matang Hadiwiyono 1985.

2.3.6 Bahasa

Bahasa Manggarai meliputi enam bahasa, yaitu bahasa komodo, Waerana, Rembong, Kempo, Rajong dan Manggarai kuku Verheijen 1991. Orang Manggarai yang tinggal di pegunungan Ruteng termasuk pada 3 kampung lokasi penelitian berbicara dalam bahasa Manggarai Kuku. Sebagian masyarakat terutama yang tua tidak menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat menggunakan bahasa Manggarai bila berkomunikasi dengan sesamanya dan bahasa Indonesia bila berkomunikasi dengan pendatang atau para pejabat. Bahasa Manggarai terbagi atas bahasa Manggarai halus untuk orang lebih tua atau yang dihormati dan bahasa Manggarai kasar. Penggunaan bahasa halus atau kasar hanya sebgaian kosakata Manggarai. Contoh bahasa kasar kata ganti kamu dalam bahasa halus adalah ite sedangkan kasar hau. Penggunaan kalimat terkesan kaku karena kosakata yang dilafalkan terputus, misalnya: Su’dah mandi ka’mu ? karena dalam bahasa asli yang juga dilafalkan terputus, yaitu: Po’li ce’bong ite hau ? Kampung Wae Rebo memiliki dialek yang agak berbeda dengan Manggarai kuku karena pengaruh bahasa Kempo Manggarai Barat. Setiap huruf dengan awalan s akan diganti dengan h, contohnya: wase liana menjadi wahe . 2.3.7 Istilah Silsilah Struktur keluarga orang Manggarai sampai generasi ketiga, yaitu nenek dan cucu dan tidak ada lagi sebutan nama untuk generasi keempat dan seterusnya Tabel 2.1. Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak dan keluarga batih adalah kakek, nenek, cucu dan sanak keluarga lainnya. Dalam hubungan kekerabatan menggunakan beberapa istilah yaitu anak rona, anak wina dan ase ka’e. Anak rona adalah keluarga pemberi isteri atau keluarga dari pihak isteriibu dan sebaliknya anak wina adalah keluarga dari suamiayah. Ase kae kakak adik adalah saudara kandung dan saudara sepupu serta saudara lainnya. Istilah ase kae secara luas, misalnya saudara sekampung Ase kae beo. Anak laki- laki disebut dengan ata one orang dalam dan anak perempuan disebut dengan ata pe’ang orang luar yang menunjukkan bahwa orang Manggarai menganut patriarkat. Istilah untuk memanggil nama orang tua menggunakan nama anaknya