Pemanfaatan pohon kayu cepat tumbuh untuk rumah penduduk

121 anggapan mampu meningkatkan debit air di mata air yang dikaitkan dengan upacara adat penghormatan terhadap dewa penjaga mata air. Perlindungan ara Ficus variegata menyebabkan tumbuhan ini menjadi spesies tumbuhan yang paling dominan di Pegunungan Ruteng. Manfaat Ficus spp secara ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat tradisional ini menjadi dasar yang kuat untuk menjadi spesies yang prioritas dalam strategi konservasi pengawetan spesies.

5. Pengawetan spesies tumbuhan prioritas konservasi lokal

Penentuan spesies prioritas konservasi semestinya berdasarkan penyebaran, sifat kegunaan, Index Cultural Significance ICS dan status keberadaannya di alam pada wilayah setempat sehingga berdasarkan konservasi lokal. Penentuan prioritas konservasi secara nasional dapat berdampak kesalahan yang merugikan masyarakat setempat karena spesies yang melimpah pada suatu wilayah tertentu tidak dapat dipanen karena adanya status perlindungan. Kelestarian suatu spesies sangat tegantung dengan peranan masyarakat tradisional dalam melakukan konservasi untuk tetap mendapatkan manfaat dari spesies tersebut. Spesies yang dapat dibudidayakan karena memiliki manfaat yang tinggi akan lebih lestari dari pada yang belum dibudidayakan. Jumlah spesies prioritas konservasi sebanyak 13 spesies yang yang ada di Pegunungan Ruteng semestinya menjadi prioritas dalam upaya budidaya dalam kebun masyarakat melalui program pengelolaan hutan sehingga tetap lestari.

6. Perlindungan wilayah hutan sekitar mata air dan danau

Ekosistem hutan mempunyai fungsi penting hidrologis, yaitu kemampuan mengatur ketersediaan sumberdaya air karena hutan kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan air hujan. Proses ini bermula dari air hujan yang terperangkap serasah di permukaan tanah terserap oleh pori-pori tanah. Air tersebut menjadi cadangan air tanah yang dialirkan sedikit-sedikit melalui mata air dan sungai yang debit airnya stabil sepanjang tahun. Masyarakat Manggarai memahami bahwa pengrusakan hutan menyebabkan berkurangnya sumber air sehingga memberikan sanksi adat apabila menebang pohon sekitar mata air atau danau. Himbauan untuk melestarikan hutan yang paling efektif adalah dengan mengaitkannya dengan sistem kepercayaan lokal yang disebut dengan upacara barong wae, yaitu upacara adat untuk menghormati roh penjaga mata air setiap tahun. Upacara tersebut sebagai tanda pengesahan secara adat bahwa kawasan hutan itu angker dan terlarang untuk pemanfaatan sehingga merupakan strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan. Setiap kampung memiliki mata air keramat dengan perlindungan daerah sekitarnya yang berdampak pelestarian kawasan hutan pada setiap kampung. Penetapan status keramat pada wilayah hutan tertentu, danau dan mata air semestinya didukung dengan penetapannya sebagai blokzona perlindungan kawasan hutan sehingga penetapan suatu blokzona mendapat dukungan masyarakat tradisional.

7. Mengakomodir tata guna lahan tradisional dalam blokzona pengelolaan

Mengakomodir tata guna lahan tradisional dalam blokzona pengelolaan kawasan konservasi akan memberikan keuntungan bagi masyarakat tradisional dan juga pengelola kawasan sehingga pembangunan konservasi dapat tetap dilakukan 122 tanpa mengabaikan masyarakat setempat Kosmaryandi 2011. Sistem tata guna lahan orang Manggarai terbagi menjadi 7, yaitu beo kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, bangka kampung lama, cengit daerah keramat. Dari ketujuh tata guna lahan tersebut yang berhubungan langsung dengan hutan adalah rami, puar, pong dan cengit. Pada wilayah KPA selain taman nasional, tata guna lahan tradisional tersebut dapat diakomodir dalam blok lainnya.

5.3 Integrasi Kebijakan Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem

5.3.1 Kesepakatan Pengelolaan Kawasan Hutan

Hutan menurut Ostrom 1990 digolongkan ke dalam CPRs yang memiliki karakteristik eksklusi yang sulit dan substraktif yang tinggi namun sumberdaya terbatas sehingga setiap pemanfaatan yang berlebihan oleh seseorang akan berdampak negatif terhadap sumberdaya dan ketersediaan pemanfaatan bagi orang lain. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan menyebabkan kerusakan akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Karakteristik CPRs yang sulit melarang atau membatasi pemanfaatan menyebabkan banyak pihak hanya mau memanfaatkan tetapi tidak bersedia memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya free rider sehingga untuk menghindari kerusakan diperlukan kelembagaan. Pengelolaan hutan di Pegunungan Ruteng oleh negara melalui UPT pusat dan UPTD namun di dalam dan sekitar hutan juga terdapat masyarakat tradisional yang memiliki kelembagaan lokal. Solusi permasalahan tersebut adalah kesepakatan bersama mengenai ruang dan aturan pengelolaan. Analisis kandungan peraturan selengkapnya pada Lampiran 3. Pengelolaan kawasan hutan merupakan wewenang pemerintah pusat namun pemanfaatannya dapat dilakukan oleh pihak lain melalui beberapa mekanisme, yang pertama adalah investasipenanaman modal. Aturan terkait investasi adalah 1 izin pengusahaan pariwisata alam IPPA yang diatur dalam PP No. 362010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; 2 izin perburuan satwa liar yang diatur dalam PP No. 13 Tahun 1994 tentang perburuan satwa buru; 3 penangkaran TSL, yang diatur dalam Permenhut No. P.19Menhut-II2005 tentang penangkaran TSL; 4 pemanfaatan air dan energi air, yang diatur dalam permenhut No. P.64Menhut-II2013; 5 izin penyelenggaraan karbon hutan, yang diatur dalam permenhut No. P.20Menhut-II2012.Izin-izin tersebut diberikan kepada perorangan, badan usaha, dan koperasi. Mekanisme kedua adalah kerjasama. Aturan terkait kerjasama ini adalah PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA dan Permenhut Nomor: P.85Menhut-II2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kerjasama ini banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Mekanisme ketiga adalah devolusi. Aturan terkait devolusi ini adalah PP No. 282011 Pasal 49 jo PP No. 108 Tahun 2015. Mekanisme devolusi dapat diterapkan pada kawasan Hutan Ruteng yang berstatus taman wisata alam apabila telah