Pemanfaatan Komersial Tumbuhan Hutan

67 Aspek manfaat memberikan motivasi untuk melakukan konservasi agar tetap terus mendapatkan manfaat dari spesies tumbuhan Pei et al. 2009. Upaya konservasi pohon teno adalah dengan memelihara anakan yang tumbuh alami di kebun atau halaman rumah karena belum mengetahui cara membudidayakannya. Menurut masyarakat benih teno terlalu kecil dan sulit mengetahui waktu benih tersebut jatuh ke tanah. Pohon Teno sulit untuk tumbuh di tengah hutan lebat karena sifat toleran terhadap sinar matahari sehingga masyarakat memanfaatkan yang tumbuh di kebun atau lahan terbuka. Diameter teno Mellochia umbellata pada lokasi penelitian yang ditemukan memiliki diameter paling lebar adalah 47 cm atau pada kelas diameter antara 41-50 cm. Teno tumbuh dengan baik apabila tidak ada naungan pada wilayah pinggiran hutan atau wilayah yang terbuka yang mendapatkan banyak sinar matahari. Pada ketiga kampung wilayah penelitian teno Mellochia umbellata ditemukan memiliki jumlah populasi dan kondisi diameter lebih baik pada wilayah kampung Mano kemudian Lerang dan yang sedikit ditemukan adalah pada wilayah kampung Wae Rebo Gambar 3.12. Hal ini membuktikan bahwa pada wilayah Mano wilayah hutan lebih terbuka dibandingkan wilayah lainnya. Spesies tumbuhan hutan penting berikutnya adalah ara Ficus variegata dengan nilai ICS = 61. Pohon ara memiliki 5 manfaat, yaitu sebagai sayur, buah, tumbuhan obat dan pakan ternak. Pada wilayah Pegunungan Ruteng akan banyak dijumpai pohon ara Ficus variegata yang memiliki diameter lebih dari 100 cm karena tidak digunakan sebagai bahan bangunan dan adanya perlindungan sanksi adat oleh masyarakat. Pada upacara barong wae, yaitu upacara adat pada mata air terkadang masyarakat menanam pohon ara Ficus variegata sebagai bagian ritual adat. Gambar 3.14 Kelas diameter teno Melochia umbellata pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo Pada ketiga kampung wilayah penelitian, kondisi struktur populasi pohon ara Ficus variegata dalam kondisi yang baik yang ditunjukkan dengan grafik J terbalik Gambar 3.14. Jumlah pohon pada kelas berdiameter 100 cm lebih banyak jumlahnya dari pada pada kelas diameter 41-50 cm sampai dengan 91-100 5 10 15 20 25 30 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm Ju m lah In d iv id u Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo 68 cm yang menunjukkan bahwa pohon ara Ficus variegata perlindungan pohon ara memiliki dampak terhadap dominasinya. Jumlah pohon pada kelas diameter 1-10 cm memiliki jumlah paling banyak dan terus menurun pada kelas diameter berikutnya menunjukkan bahwa regenerasi pohon ara cukup baik sehingga pada masa yang datang pohon ini akan tetap mudah dijumpai di wilayah Pegunungan Ruteng. Pada 3 lokasi kampung penelitian ditemukan 8 spesies yang memiliki Indeks Nilai Penting INP paling tinggi dominan pada lokasi hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat Tabel 3.26. Nilai penting spesies tumbuhan secara ekologi merupakan kuantifikasi dari nilai kerapatan relatif, dominasi relatif dan frekuensi relatif yang merupakan Indeks Nilai Penting INP. Nilai INP yang tinggi menunjukkan bahwa spesies tersebut secara ekologi dominan penting atau tingkat dominasi spesies di dalam komunitasnya. Spesies dominan menurut Smith 1977 adalah spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dari pada spesies lain dalam tempat yang sama. Tabel 3.26 Spesies tumbuhan dominan dengan nilai INP tertinggi No Nama Ilmiah Nama Lokal INP tertinggi m dpl Mano Lerang Wae Rebo 1 Elaeocarpus batudulangii Ntungeng - - 1 400; 1 300 2 Ficus variegata Ara 1 300; 1 900 1 300 1 200 3 Fraxinus griffithii Lui 1 800 - - 4 Heliothropium indicum Rawuk 1 400 - - 5 Macaranga tanarius Rebak 1 500 1 500 1 100 6 Planchonella obovata Ketang 1 600; 1 700 - - 7 Syzygium sp Lokom 1 200 - - 8 Weinmannia blumei Larang - 1 100; 1 200; 1 400 - Dari 8 spesies tersebut yang paling banyak mendominasi pada 4 jalur trasek adalah pohon ara Ficus variegata yang menggambarkan peran yang besar dari spesies tersebut dalam ekosistem. Dominasi ara Ficus variegata dapat ditemukan pada setiap lokasi kampung pada beberapa ketinggian, yaitu kampung Mano 1 . 300 m dpl dan 1 . 900 m dpl, kampung Lerang 1 . 300 m dpl dan Wae Rebo 1 . 200 m dpl. Dominasi ara Ficus variegata disebabkan adanya upaya perlindungan oleh masyarakat lokal . Masyarakat Manggarai percaya bahwa pohon ara Ficus variegata dapat meningkatkan debit air di mata air sehingga melindungi dengan cara memberikan sanksi adat. Kerelaan masyarakat untuk melakukan konservasi adalah karena adanya manfaat yang tinggi pada suatu spesies atau mitos manfaat ekologi seperti meningkatkan debit air. Pada kegiatan upacara barong wae terkadang dilakukan penanaman pohon ara Ficus variegata di sekitar mata air sebagai bagian dari ritual adat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Ficus variegata tumbuh disekitar 69 mata air, yaitu: sumber mata air di Kecamatan Panekan, Kabupaten Magetan Ridwan dan Pamugkas. 2015, Wana Wisata Sumber Semen di Rembang Suwandhi dan Nurudin 2003. Tabel 3.27 Spesies tumbuhan hutan yang memiliki rata-rata kerapatan tertinggi No Nama Ilmiah Nama Lokal Rata-rata kerapatanhektar 1 Ficus variegata Ara 12.94 2 Elaeocarpus batudulangii Ntungeng 11.29 3 Macaranga tanarius Rebak 11.20 4 Syzygium sp Lokom 7.40 5 Weinmannia blumei Larang 5.67 6 Melochia umbellata Teno 5.60 7 Toona sureni Ajang 5.40 8 Prunus wallaceana Kenda gembak 5.00 9 Planchonella obovata Ketang 4.79 10 Planchonia valida Ngancar 4.55 11 Podocarpus imbricatus Ruu 4.50 12 Homalanthus peltatus Lente 4.18 13 Platea exelsa Welu Poco 4.15 14 Litsea resinosa Sewang gembak 4.03 15 Kadsura scandens Buang 3.91 Pohon ara Ficus variegata juga memiliki rata-rata kerapatan pohonhekter paling tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam hutan pegunungan Ruteng. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan ara dengan sanksi adat mempengaruhi keberadaan ara dominan dalam ekosistem hutan. Selain ara, beberapa spesies lain yang tidak memiliki manfaat dan memiliki kerapatan yang tinggi adalah rebak Macaranga tanarius, lente Homalanthus peltatus dan buang Kadsura scandens. Spesies lainnya selain keempat spesie tersebut memiliki fungsi sebagai kayu bangunan namun memiliki kerapatan yang tinggi. Tumbuhan hutan berikutnya dengan nilai ICS 56 atau termasuk katagori tinggi adalah kempo Palaquium obovatum. Masyarakat memanfaatkan tumbuhan ini untuk bahan bangunan, buah, sayur dan kayu bakar. Jenis tumbuhan terakhir yang termasuk memiliki nilai ICS katagori tinggi nilai ICS 53 adalah ajang Toona sureni . Masyarakat memanfaatkan ajang Toona sureni untuk bahan bangunan, obat, peralatan dan kerajinan dan kayu bakar. Masyarakat sudah membudidayakan ajang Toona sureni di kebun. Benih ajang Toona sureni sebagian besar berasal dari pembenihan hutan yang merupakan bantuan pemerintah daerah dan pengelola kawasan hutan Ruteng. Dari 8 spesies dominan tersebut sebanyak 5 spesies memiliki nilai ICS katagori rendah nilai ICS 1 – 4 yang berarti kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Kecilnya nilai ICS karena tumbuhan liar tersebut hanya memiliki 1 kegunaan untuk kayu bakar atau kayu bangunan saja. Dua spesies memiliki nilai ICS katagori sedang nilai ICS 5 – 19, yaitu larang Weinmannia blumei dan lokom Syzygium sp. Masyarakat memanfaatkan kayu larang Weinmannia blumei dan lokom 70 Syzygium sp untuk memenuhi kebutuhan kayu balok untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Jenis kayu larang Weinmannia blumei merupakan jenis kayu bakar yang paling disukai oleh masyarakat karena kualitasnya yang baik. Gambar 3.15 Pohon ara Ficus variegata merupakan spesies tumbuhan yang penting secara budaya dan juga ekologi di Manggarai Gambar 3.16 Kelas diameter ara Ficus variegata pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo Spesies yang memiliki INP dominan pada 4 transek adalah pohon ara Ficus variegata Tabel 3.26. Spesies ara Ficus variegata juga merupakan tumbuhan penting budaya dengan nilai ICS tinggi 61 sehingga disebut spesies eco-budaya yang memerankan peran penting dalam ekologi dan budaya. Pada kegiatan rehabilitas lahan hutan Pegunungan Ruteng ara Ficus variegata semestinya diprioritaskan untuk ditanam supaya mendapatkan dukungan dari masyarakat. Pemanfaatan tumbuhan non-kayu untuk subsisten pada masyarkat Manggarai tidak diatur secara khusus. Aturan ketat dilakukan pada pemanfaatan kayu, terutama untuk rumah adat, yaitu: worok kayu Dysoxylum densiflorum. Pohon Worok hanya digunakan untuk rumah-rumah tradisional, terutama untuk tiang 5 10 15 20 25 30 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm 51-60 cm 61-70 cm 71-80 cm 81-90 cm 91-100 cm 100 cm Ju m lah In d iv idu Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo 71 1 2 3 4 5 6 7 1-10 cm 11-20 cm 21-30 cm 31-40 cm 41-50 cm 51-60 cm 61-70 cm 71-80 cm 81-90 cm 91-100 cm 100 cm Ju m lah In d iv idu Kelas Diameter Mano Lerang Wae Rebo utama yang disebut siri bongkok. Pemanfaatan kayu harus dilakukan dengan upacara adat yang disebut roko molas poco, yaitu upacara untuk meminang pohon besar menjadi pilar utama rumah adat Gambar 3.17 Kelas diameter worok Dysoxylum densiflorum pada sampel transek hutan di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo Analisis data pada penyebaran kelas diameter worok Dysoxylum densiflorum Gambar 3.15 menunjukkan bahwa keberadaan kayu ini di Desa Wae Rebo lebih berkelanjutan daripada di dua wilayah lainnya. Larangan untuk menebang pohon di hutan dengan alasan apapun karena hutan konservasi, menyebabkan penduduk desa mensubtitusi worok dengan kayu lain yang tumbuh di kebun, seperti ampupu Eucalyptus urophylla dan moak Arthocarpus integra yang tumbuh alami. Gambar 3.18 Pohon worok Dysoxylum densiflorum memiliki tinggi sekitar 45 m dan kayu teras berwarna kemerahan. 72 Pada wilayah hutan di kampung Mano dan Lerang pohon teno Melochia umbellata memiliki kerapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di wilayah Wae Rebo karena teno memiliki sifat kurang baik tumbuh di bawah naungan Tabel 3.28. Tingginya kerapatan teno pada wilayah kampung Mano dan Lerang menunjukkan bahwa pada kedua wilayah tersebut penutupan hutan lebih terbuka dibandingkan dengan pada kampung Wae Rebo. Pemanfaatan teno sebagai kayu bangunan dilakukan pada wilayah kebun milik masyarakat. Tabel 3.28 Kerapatan per hektar teno Melochia umbellata, ara Ficus variegata dan worok Dysoxylum densiflorum pada lokasi penelitian No Nama Ilmiah Nama Lokal Tingkat Pertumbuhan Kerapatan ha Mano Lerang Wae Rebo 1 Melochia umbellata Teno Pohon 5.9 5 5 Tiang 11.25 26 2.5 Pancang 100 240 Anakan 1 937.5 1 550 2 Ficus variegata Ara Pohon 12.4 13.6 13.25 Tiang 12.5 18 12.5 Pancang 83.75 112 87.5 Anakan 2 312.5 1 800 1 187.5 3 Dysoxylum densiflorum Worok Pohon 0.3 1 5.6 Tiang 2.5 4 5 Pancang 25 32 50 Anakan 250 Kerapatan pohon ara Ficus variegata relatif sama pada ketiga wilayah hutan lokasi penelitian karena ara tidak dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan sehingga keberadaan populasinya relatif masih baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pengawetan pohon ara oleh masyarakat karena mempercayai bahwa ara dapat meningkatkan debit air di mata air tetap dilakukan pada ketiga wilayah hutan. Kerapatan pohon worok Dysoxylum densiflorum pada hutan wilayah kampung Wae Rebo lebih baik pada dua kampung lainnya meskipun pada kampung Wae Rebo diberikan ijin untuk melakukan pemanfaatan kayu worok untuk pembangunan rumah adat. Kerapatan pohon worok per hektarnya adalah 5.6 pohon sehingga pada wilayah hutan kampung Wae Rebo seluas ± 100 ha adalah sebanyak ± 560 pohon. Pemanenan pohon worok adalah sebanyak 7 pohon setiap 30 tahun sekali yang menunjukkan bahwa pemanenan worok oleh masyarakat kampung Wae Rebo adalah lestari sebagai upah untuk menjaga kelestarian hutan. Sebaliknya pada wilayah dua kampung lainnya di Hutan Ruteng yang tidak diberikan akses pemanfaatan maka tidak ada mekanisme pengaturan pemanfaatan dan wilayah hutan menjadi milik bersama dan pemanenan kayu bersifat komersial sehingga berdampak pada degradasi hutan. 73

3.3.5 Spesies prioritas konservasi lokal

Tumbuhan hutan yang memiliki prioritas tinggi untuk konservasi lokal di Pegunungan Ruteng sebanyak 13 spesies Tabel 3.29. Spesies tumbuhan yang memiliki nilai prioritas konservasi lokal paling tinggi adalah kempo Palaquium obovatum yang memiliki kegunaan sebagai papan untuk bahan bangunan, buah, sayur dan kayu bakar. Spesies yang memiliki prioritas tinggi untuk konservasi di Pegunungan Ruteng terutama disebabkan oleh belum dilakukannya budidaya pada kebun milik masyarakat dan pemanfaatan komersial untuk memenuhi kebutuhan uang tunai. Spesies yang memiliki nilai ICS rendah juga memiliki nilai prioritas konservasi yang rendah karena rendahnya nilai manfaat dari spesies tumbuhan tersebut menyebabkan rendahnya frekuensi pemanfaatan sehingga mudah ditemukan di alam. Tabel 3.29 Spesies prioritas konservasi lokal tumbuhan hutan No Nama Ilmiah Nama Penye- Kegu- Nilai Status Nilai Lokal baran naan ICS PKL 1 Calamus sp Nanga 3 2 2 3 10 2 Cryptocarya densiflora Wuhar 3 2 2 3 10 3 Dysoxylum caulostachyum Wuapuu 3 2 2 3 10 4 Dysoxylum densiflorum Worok 3 2 2 3 10 5 Dysoxylum sp Dora 3 2 2 3 10 6 Elaeocarpus floribundus Damu 3 2 2 3 10 7 Elatostachys sp Maras 3 2 2 3 10 8 Manglietia glauca Lumu 3 2 2 3 10 9 Palaquium obovatum Kempo 3 2 3 3 11 10 Planchonella firma Natu 3 2 2 3 10 11 Planchonia valida Ngancar 3 2 2 3 10 12 Podocarpus imbricatus Ruu 3 2 2 3 10 13 Podocarpus neriifolius Ruas 3 2 2 3 10 Keterangan: ICS = Index Cultural Significance; PKL = Prioritas Konservasi Lokal Spesies yang memiliki nilai ICS tinggi namun tidak tergolong dalam prioritas tinggi contohnya adalah pohon teno Melochia umbellata dan ajang Toona sureni karena walaupun memiliki nilai kegunaan untuk kayu bangunan namun masyarakat membudidayakannya pada kebun milik masyarakat sehingga kedua spesies pohon tersebut mudah ditemukan. Pohon ara Ficus variegata meskipun belum dibudidayakan namun karena tidak dimanfaatkan sebagai kayu bangunan maka pohon tersebut masih mudah ditemukan dalam kebun atau hutan sehingga belum menjadi prioritas konservasi. Dari 13 spesies konservasi tersebut yang memiliki habitus bukan pohon adalah nanga Calamus sp. Nanga merupakan sejenis rotan yang digunakan untuk kerajinan seperti keranjang, dan tidak dipergunakan untuk tali pengikat karena diameter batang liananya yang cukup besar. Spesies rotan lainnya yang ada di Pegunungan Ruteng adalah wua Calamus heteracanthus yang memiliki batang liana lebih kecil sehingga digunakan sebagai tali pengikat terutama pada rumah adat dan masih mudah ditemukan di dalam hutan Pegunungan Ruteng. 74

3.4 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai memanfaatkan tumbuhan hutan secara lestari dengan cara pemanfaatan yang beragam. Masyarakat memanfaatkan lebih dari 60 dari seluruh tumbuhan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terutama pangan dan kesehatan. Pemanfaatan beragam menyebabkan tekanan terhadap hutan tidak bertumpu pada spesies dan habitat tertentu sehingga tidak berdampak negatif pada kelestarian hutan. Tingkat pengetahuan yang paling tinggi terdapat pada generasi tua terutama pada kelas umur 55-69 tahun karena tanggung jawab pemenuhan kebutuhan keluarga dan tugas pada lembaga adat. Tingkat pengetahuan etnobotani mengalami penurunan terutama pada generasi muda karena pengaruh perubahan sosial namun yang saat ini berperan dalam lembaga adat adalah generasi tua sehingga hutan relatif masih terjaga. Pemanfaatan tumbuhan liar secara komersial dan kurangnya peranan lembaga adat terjadi di Hutan Ruteng karena adanya penutupan akses pemanfaatan sehingga lembaga adat tidak berperan dalam pengaturan pemanfaatan tumbuhan hutan. Spesies yang paling penting secara budaya dikonservasi dengan cara memelihara anakan yang tumbuh secara alami di dalam kebun, memberikan nilai religius dan pengaturan pemanfaatan secara khusus untuk rumah adat. Spesies yang penting secara ekologi dikonservasi dengan cara memberikan sanksi adat bila melakukan penebangan pohon dan memberikan nilai religius. Spesies prioritas konservasi lokal di dalam hutan pegunungan Ruteng sebanyak 13 spesies yang disebabkan pemanfaatan secara komersial namun tidak dilakukan budidaya. 4 ETNOEKOLOGI MASYARAKAT SUKU MANGGARAI

4.1 Pendahuluan

Masyarakat tradisional di Indonesia memiliki peran dalam konservasi melalui pengelolaan tradisional lahan turun temurun. Pola kehidupan tersebut bersumber dari nilai budaya, religi dan adat istiadat yang membentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam pengelolaan lahan. Pengalaman selama ratusan tahun memberikan gagasan yang unik dan spesifik mengenai hubungan timbal balik antara masyarakat dengan lingkungannya. Sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat tradisional dipercayai dan dinilai oleh sebagian ilmuwan, sebagai sistem yang paling sesuai untuk pemanfaatan berkelanjutan karena masyarakat tradisional lebih memahami kondisi lingkungannya Chapagain et al. 2009; Zent 2009; Ballard et al. 2008 dan berdasarkan gaya hidup yang memiliki nilai-nilai keagamaan lokal Zent 2009. Keanekaragaman hayati yang tinggi pada suatu ekosistem hutan pada saat ini merupakan hasil interaksi antara masyarakat tradisional dengan hutan pada masa lalu Conte 2010; Burgi et al. 2013. Pengelolaan sebuah kawasan konservasi harus menekankan pada aspek budaya yang berhubungan dengan keanekaragaman hayati Muhumuza dan Balkwill 2013. Penekanan pengelolaan pada aspek budaya 75 masyarakat akan mendapatkan keuntungan berupa manfaat yang tinggi dalam hal mendukung kemandirian hidup masyarakat tradisional dan kelestarian hutan. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem merupakan pendekatan adaptif yang menyelaraskan koeksistensi ekosistem sehat yang memenuhi aktivitas manusia dan memelihara karakteristik spasial temporal ekosistem sehingga jenis dan proses ekologi lestari Price et al. 2009. Kearifan lokal merupakan keunggulan budaya lokal berkaitan dengan kondisi geografis tempat hidup masyarakat tradisional. Kearifan lokal konservasi tumbuhan hutan bersumber dari pengalaman hidup warisan nenek moyang dalam interaksi yang selaras dengan lingkungan secara turun temurun. Pengintegrasian pengetahuan tradisional dalam pengelolaan hutan membantu menginterpretasikan dan respon umpan balik dari lingkungan Berkes et al. 2000; Turner et al. 2000; Pei 2013. Konsepsi ekologi masyarakat yang terbangun dan terbentuk dalam kehidupan keseharian masyarakat tradisional tersebut melalui proses adaptasi turun temurun serta melalui isu dan mitos karena masyarakat tidak dapat menjelaskan suatu fenomena lingkungan alam secara logis. Namun demikian, pengelolaan kawasan semestinya menjamin kepentingan masyarakat tradisional untuk saat ini dan masa mendatang melalui program pengelolaan hutan yang selaras dengan kepentingan masyarakat tradisional Anderson dan Putz 2002; Ruheza et al. 2013. Setiap upaya konservasi hutan tanpa mengakomodasi kepentingan masyarakat tradisional dalam jangka panjang akan kurang berhasil sehingga disamping perlindungan yang ketat terhadap hutan, diperlukan sebuah konsep terpadu antara konservasi hutan dan pengelolaan lahan tradisional berkelanjutan. Salah satu ketidakberhasilan upaya konservasi ditandai oleh meningkatnya degradasi hutan. Salah satu penyebab adanya degradasi hutan adalah hilangnya atau merosotnya hubungan atau interaksi antara masyarakat tradisional yang memiliki budaya mengenai lingkungan yang spesifik dengan lingkungannya Pei et al. 2009 dan pengelolaan lahan yang sesuai strategi konservasi Msuya dan Kidegheso 2009. Salah satu contoh merosotnya relasi antara masyarakat tradisional dengan lingkungan juga bisa dilihat di komunitas tradisional Manggarai. Pengetahuan tradisional di Manggarai mengalami penurunan terutama pada generasi muda. Penurunan pengetahuan tradisional menjadi indikator degradasi hutan karena adanya penurunan pengetahuan mengenai cara mengelola lahan secara berkelanjutan sehingga diperlukan sebuah penelitian yang mendokumentasikan kearifan lokal tersebut untuk dapat diintegrasikan dalam konservasi. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan rekomendasi kebijakan pelestarian ekosistem hutan pegunungan dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat tradisional yang ada di sekitar hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan.

4.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 pada wilayah Pegunungan Ruteng. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan