75 masyarakat akan mendapatkan keuntungan berupa manfaat yang tinggi dalam hal
mendukung kemandirian hidup masyarakat tradisional dan kelestarian hutan. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem merupakan pendekatan adaptif yang
menyelaraskan koeksistensi ekosistem sehat yang memenuhi aktivitas manusia dan memelihara karakteristik spasial temporal ekosistem sehingga jenis dan
proses ekologi lestari Price et al. 2009. Kearifan lokal merupakan keunggulan budaya lokal berkaitan dengan kondisi geografis tempat hidup masyarakat
tradisional. Kearifan lokal konservasi tumbuhan hutan bersumber dari pengalaman hidup warisan nenek moyang dalam interaksi yang selaras dengan lingkungan
secara turun temurun. Pengintegrasian pengetahuan tradisional dalam pengelolaan hutan membantu menginterpretasikan dan respon umpan balik dari lingkungan
Berkes et al. 2000; Turner et al. 2000; Pei 2013.
Konsepsi ekologi masyarakat yang terbangun dan terbentuk dalam kehidupan keseharian masyarakat tradisional tersebut melalui proses adaptasi turun temurun
serta melalui isu dan mitos karena masyarakat tidak dapat menjelaskan suatu fenomena lingkungan alam secara logis. Namun demikian, pengelolaan kawasan
semestinya menjamin kepentingan masyarakat tradisional untuk saat ini dan masa mendatang melalui program pengelolaan hutan yang selaras dengan kepentingan
masyarakat tradisional Anderson dan Putz 2002; Ruheza et al. 2013. Setiap upaya konservasi hutan tanpa mengakomodasi kepentingan masyarakat tradisional dalam
jangka panjang akan kurang berhasil sehingga disamping perlindungan yang ketat terhadap hutan, diperlukan sebuah konsep terpadu antara konservasi hutan dan
pengelolaan lahan tradisional berkelanjutan.
Salah satu ketidakberhasilan upaya konservasi ditandai oleh meningkatnya degradasi hutan. Salah satu penyebab adanya degradasi hutan adalah hilangnya atau
merosotnya hubungan atau interaksi antara masyarakat tradisional yang memiliki budaya mengenai lingkungan yang spesifik dengan lingkungannya Pei et al. 2009
dan pengelolaan lahan yang sesuai strategi konservasi Msuya dan Kidegheso 2009. Salah satu contoh merosotnya relasi antara masyarakat tradisional dengan
lingkungan juga bisa dilihat di komunitas tradisional Manggarai. Pengetahuan tradisional di Manggarai mengalami penurunan terutama pada generasi muda.
Penurunan pengetahuan tradisional menjadi indikator degradasi hutan karena adanya penurunan pengetahuan mengenai cara mengelola lahan secara
berkelanjutan sehingga diperlukan sebuah penelitian yang mendokumentasikan kearifan lokal tersebut untuk dapat diintegrasikan dalam konservasi.
Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan rekomendasi kebijakan pelestarian ekosistem hutan pegunungan dengan mempertimbangkan
keberadaan masyarakat tradisional yang ada di sekitar hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bentuk pengelolaan lahan tradisional masyarakat suku
Manggarai yang mendukung konservasi dan kesejahteraan.
4.2 Metode
Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 pada wilayah Pegunungan Ruteng. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota
Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan
76 Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Lokasi penelitian meliputi tiga kampung,
dua kampung terletak di Pegunungan Ruteng dan satu kampung lainnya di sebelah selatan Pegunungan Ruteng pada wilayah terisolir di Hutan Todo sebagai data
pembanding Gambar 2.1.
Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan
hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Pada wilayah hutan Todo masyarakat diberikan akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan
rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan pada Hutan Ruteng tidak diberikan ijin. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan
bahasa Verheijen 1991 dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan Trainor dan Lesmana 2000.
Pengambilan data penelitian berupa data etnografi yang mengungkap sembilan hal, yaitu lokasi lingkungan alam dan demografi, asal mula dan sejarah
suku bangsa, bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian dan sistem teknologi Kontjaraningrat 2002 melalui
observasi partisipatif, wawancara terbuka dan studi pustaka. Wawancara menggunakan wawancara terbuka dengan menetapkan beberapa informan
berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball Sugiyono 2010.
Penentuan informan secara sengaja purposive berdasarkan petunjuk awal seseorang informan yang selanjutnya merekomendasikan informan lainnya
Pendekatan Snowball. Tujuan dilakukan wawancara terbuka adalah untuk mendapatkan data etnografi. Wawancara terbuka dengan penduduk desa
melibatkan 3 orang kepala kampung tua golo dan 3 orang penduduk desa yang sering mengambil hasil hutan. Informan pada setiap kampung berjumlah 5 orang
yang terdiri dari tua golo, pemimpin kampung yang bertugas membagi lahan tua teno dan 3 orang masyarakat yang biasa mengambil hasil hutan. Interview
dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman rumah, kebun, hutan dan di pinggir danau supaya informan merasa bebas untuk menyampaikan informasi.
Selain wawancara dengan penduduk desa, juga dengan 2 orang pemimpin LSM Yayasan Pembangunan Tani dan Sanggar Lawe Lenggong yang juga bekerja
di bidang konservasi dan budaya serta 2 orang pejabat pemerintah daerah yang mengerti mengenai konservasi. Validitas pengukuran data melalui pemahaman
masyarakat tentang kearifan lokal dengan triangulasi, yaitu membandingkan hasil wawancara dengan informan dan observasi partisipatif.
Peralatan untuk penelitian adalah peralatan survei seperti: peta wilayah kerja, alat perekam, GPS Global Positioning System, kamera digital dan kuesener
pengambilan data. Pemetaan lahan menurut masyarakat mental map, peta kawasan hutan, kontur, sungai dan software ArcGis 10.1. Pemetaan pengelolaan
lahan menurut masyarakat mental map dengan pengambilan koordinat geografis menggunakan GPS melalui pengecekan kondisi lapangan. Gambaran pengelolan
lahan masyarakat merupakan hasil dari wawancara, pemetaan dengan koordinat geografis sehingga memberikan gambaran pembagian dan pemanfaatan lahan
masyarakat secara detil.
Analisis penutupan lahan hutan menggunakan citra landsat TM Image
LT5113066199332 untuk tahun 1993, LT5113066200330 untuk tahun 2003 dan LC8113066201425 untuk tahun 2014.
Data dianalisis dengan program ERMapper