Metode Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

Penentuan informan secara sengaja purposive yang memiliki pemahaman mengenai sumberdaya keanekaragaman hayati. Sumber data berdasarkan petunjuk awal seseorang informan yang selanjutnya merekomendasikan informan lainnya Pendekatan Snowball. Tujuan FGD adalah untuk mendapatkan data dari spesies hutan, alat-alat tradisional dan budaya yang terkait dengan konservasi sementara wawancara mendalam untuk mendapatkan data etnografi. Jumlah total penduduk yang terlibat dalam FGD dan wawancara sebanyak 43 orang. FGD melibatkan 9 orang penduduk kampung Mano, 15 di kampung Lerang dan 10 di kampung Wae Rebo yang dilakukan oleh peneliti dengan bantuan penduduk lokal. Wawancara terbuka dengan penduduk desa melibatkan 3 orang kepala kampung tua golo dan 3 orang penduduk desa yang sering mengambil hasil hutan. Informan pada setiap kampung berjumlah 5 orang yang terdiri dari tua golo, pemimpin kampung yang bertugas membagi lahan tua teno dan 3 orang masyarakat yang biasa mengambil hasil hutan. Wawancara dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman rumah, kebun, hutan dan di pinggir danau supaya informan merasa bebas untuk menyampaikan informasi. Masyarakat Manggarai dapat berbahasa Indonesia dengan baik tetapi lebih menyukai berbahasa Manggarai saat berbicara mengenai budaya namun peneliti dapat mengerti bahasa Manggarai secara pasif. Wawancara juga dilakukan dengan 2 orang pemimpin LSM Yayasan Pembangunan Tani dan Sanggar Lawe Lenggong yang bekerja di bidang konservasi dan budaya serta 2 orang pejabat pemerintah daerah yang mengerti konservasi. Validitas pengukuran data melalui pemahaman masyarakat tentang kearifan lokal dengan membandingkan hasil wawancara dengan informan dan observasi partisipatif.

2.3 Hasil dan Pembahasan

2.3.1 Asal Usul dan Sejarah Suku Manggarai

Nama Manggarai berasal dari bahasa Bima, secara etimologis dari kata manggar artinya jangkar dan rai artinya lari Lawang 2004. Nama Manggarai berawal dari peristiwa saat pasukan kerajaan Cibal salah satu kerajaan di Manggarai membawa lari jangkar-jangkar kapal milik pasukan Kesultanan Bima yang mendarat dan akan menyerang Cibal. Pasukan Cibal akan mengembalikan jangkar-jangkar kapal dengan syarat pasukan Bima mengakui Cibal sebagai penguasa yang sederajat dengan Bima. Suku Manggarai masa silam takluk pada Kesultanan Goa dan Bima yang memonopoli perdagangannya dan menerima upeti dari Manggarai antara lain hamba sahaya. Hal ini menyebabkan orang Manggarai tinggal jauh dari pantai di pegunungan seperti pegunungan Ruteng sampai saat ini Verheijen 1991. Flores dan Bima merupakan kekuasaan Goa pada abad ke 17. Goa memberikan Manggarai kepada Kesultanan Bima tahun 1658. Perunutan sejarah Manggarai terkait kedaluan Todo dan Cibal yang berkembang menjadi kerajaan dan berperang memperebutkan kekuasaan. Bima berpihak pada Todo untuk memperkokoh posisinya di Manggarai hingga masuknya Belanda tahun 1905 yang mendapat perlawanan sampai tahun 1908 Lawang 2004. Kesultanan Bima menguasai Manggarai Selatan pada tahun 1762, mengusir Goa dan menguasai 16 Kerajaan Cibal Koentjaraningrat, 1984. Kesultanan Bima membagi daerah administratif Manggarai menjadi dalu kecamatan membawahi gelarang desa dan gelarang membawahi golo sehingga golo tidak lagi independen. Lawang 1999. Belanda mulai menjajah Flores Barat pada awal abad ke-19 setelah menaklukkan Kesultanan Bima dan Goa sehingga sampai saat ini daerah pesisir dihuni masyarakat Bima dan Bugis sedangkan wilayah pegunungan masyarakat Manggarai. Belanda menaklukkan Goa serta memisahkannya dari Bima dan Manggarai tahun 1929 serta menjadikan wilayah Manggarai bagian dari Flores, sub distrik Timor Lawang 2004. Rumah peninggalan raja Todo Manggarai sejak abad 17 terletak di kampung Todo, 32 kilometer sebelah barat daya kota Ruteng. Rumah simbol peradaban Manggarai tersebut berfungsi sebagai tempat meminta bantuan leluhur. Keturunan raja membicarakan masalah kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran, pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian pada waktu tertentu.

2.3.2 Penyebaran Suku Bangsa

Penduduk Pulau Flores terbagi beberapa kelompok suku yaitu Flores Barat terdiri dari suku Manggarai dan Riung, Flores Barat Tengah terdiri dari suku Ngada dan Flores Timur, yaitu penduduk Flores selain Flores Barat dan Barat Tengah serta penduduk Pulau Solor dan Alor Hadiwiyono 1985. Penduduk Flores Barat yang pertama kali datang adalah dari ras Weddoid yang kemudian bercampur dengan pendatang dari Melayu Malaka dan Minangkabau Toda 1999. Saat ini Suku Manggarai mendiami wilayah Flores Barat yang secara administratif berada pada 3 kabupaten, yaitu Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur. Ketiga wilayah kabupaten tersebut sering disebut sebagai Manggarai Raya yang menunjukkan masih adanya kesamaan suku pada ketiga wilayah kabupaten tersebut.

2.3.3 Pengelanaan atau Pengembaraan

Penduduk Manggarai menurut cerita rakyat merupakan percampuran antara penduduk asli dan pendatang melayu. Orang Melayu Malaka yang datang pertama bernama Embu Mbelu dan Embu Margarinu yang mendarat di pelabuhan Warloka Manggarai Barat. Kedua orang tersebut kemudian masuk sampai ke pedalaman dan tinggal di wilayah dekat Ruteng bersama-sama dengan penduduk ras Weddoid yang sudah ada terlebih dahulu. Menurut cerita masyarakat kedua orang inilah yang memperkenalkan api karena sebelumnya penduduk setempat memakan daging mentah Toda 1999. Cerita rakyat yang lain mengisahkan kedatangan pendatang dari Minangkabau yang bernama Mashur bersama dengan saudara lelakinya Mohamedtali yang disebut juga Sutan dan saudara perempuannya bernama Kembang Emas yang menaiki perahu bernama Perkita Jermia. Orang-orang Minangkabau tersebut juga mendarat di Pelabuhan Warloka Manggarai Barat dan diberikan gelar Kraeng karena sebelum menetap di Flores Barat terlebih dahulu menetap di Bone. Dari orang-orang Minangkabau inilah menurut cerita masyarakat orang Manggarai mengenal peralatan logam untuk membuka lahan hutan dan mengolah lahan pertanian Toda 1999. 17 Kebenaran kedua cerita tersebut disangsikan oleh Verheijen 1991 dan Lawang 2004 yang menyatakan bahwa percampuran antara penduduk yang terlebih dahulu dan yang kemudian datang ke Flores Barat belum dapat dibuktikan berasal dari wilayah barat Indonesia dan kemungkinan berasal penduduk dari pulau-pulau di wilayah Nusa Tenggara Timur. Cerita rakyat tersebut diyakini oleh Toda 1999 dengan adanya cerita rakyat yang diyakini dan masih diceritakan turun temurun. Cerita tersebut sesuai dengan pendapat Hadiwiyono 1985 bahwa penduduk Manggarai merupakan percampuran antara penduduk wilayah timur dan wilayah barat Indonesia.

2.3.4 Struktur dan Komposisi Kependudukan

Kampung Mano lebih dekat dengan kota Ruteng memiliki jumlah penduduk lebih banyak daripada dua kampung lainnya Gambar 2.2. Hal ini disebabkan karena penduduk yang tinggal di wilayah terisolir cenderung mengalami perpindahan keluar kampung ke tempat yang memiliki fasilitas dan aksesibilitas yang lebih baik. Saat ini sebagian penduduk kampung Wae Rebo yang hidup dalam enclave hutan Todo tinggal menempati rumah seperti umumnya rumah penduduk kampung lainnya selain dari yang hidup di kampung melingkar. Jumlah penduduk terbesar adalah pada kelompok umur antara 0 –25 tahun dan semakin menurun pada kelompok umur diatasnya. Hal ini menandakan bahwa struktur populasi penduduk pada ketiga kampung masih baik dan akan terus mengalami penambahan penduduk pada tahun-tahun yang akan datang. Sumber: Data Kelurahan Mano, Desa Gololoni dan Kampung Wae Rebo Gambar 2.2 Jumlah dan komposisi penduduk kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo menurut jenis kelamin dan kelas umur 100 200 300 400 500 600 700 Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Man o Le ran g W ae R e b o Jumlah Penduduk Je n is K e lam in 70 55-70 40-55 25-40 0-25