Simpulan Integrasi Kearifan Lokal Masyarakat Suku Manggarai Dalam Konservasi Tumbuhan Dan Ekosistem Pegunungan Ruteng Nusa Tenggara Timur

32 termasuk pangan dan kesehatan Rai dan Lalramnghinglova 2010. Pemanfaatan tumbuhan hutan secara tradisional berkelanjutan karena masyarakat tradisional memiliki pengetahuan yang terbentuk dari interaksi antara manusia dan lingkungan sehingga masyarakat memiliki pemahaman yang lebih tentang lingkungan. Tumbuhan liar berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan pangan, identitas kultural yang merefleksikan pengetahuan tradisional lingkungan yang mendalam, survival dan keberlanjutan pengetahuan ekologi tradisional Turner et al. 2011. Spesies yang merupakan kunci budaya akan dipertahankan keberadaannya dengan budaya masyarakat yang secara tidak langsung mempengaruhi keberadaannya di ekosistem. Kepentingan suatu spesies di dalam budaya masyarakat ditunjukkan dengan nilai Index Cultural Significance ICS dan kepentingan nilai ekologi ditunjukkan dengan indeks nilai penting INP. Kedua spesies kunci tersebut akan dipelajari mengenai cara-cara masyarakat melakukan konservasi. Spesies tumbuhan hutan yang merupakan prioritas untuk konservasi secara lokal ditentukan berdasarkan penyebarannya, sifat kegunaannya untuk komersial atau konsisten, nilai ICS dan status keberadaannya di alam. Tujuan penelitian ini adalah: mengkaji pemanfaatan tumbuhan hutan dan keberlanjutannya oleh masyarakat Suku Manggarai yang mendukung konservasi.

3.2 Metode

Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan mulai bulan Juli sampai Desember 2014 dua kampung terletak di Hutan Ruteng dan satu kampung di Hutan Todo sebagai data pembanding. Gambar 2.1. Jarak ketiga kampung tersebut dari kota Ruteng, yaitu kampung Mano sejauh 10 km, kampung Lerang 20 km, dan Wae Rebo sejauh 60 km. Pada pegunungan Ruteng terdapat 70 desa sekitar Hutan Ruteng dan 22 desa sekitar Hutan Todo. Kampung Wae Rebo merupakan wilayah terisolasi di dalam enclave Hutan Todo sebagai patokan sebuah kampung yang mengindikasikan kondisi penutupan hutan yang baik yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Di wilayah hutan Todo masyarakat memiliki akses untuk memanfaatkan kayu untuk pembangunan rumah adat dan mengelola ekowisata sedangkan di Hutan Ruteng masyarakat tidak diberikan akses dalam pemanfaatan sumberdaya hutan secara legal oleh peraturan TWA. Pertimbangan lain pemilihan ketiga sampel adalah kesamaan suku, budaya dan bahasa Verheijen 1991 dan kesamaan ekosistem hutan pegunungan Trainor dan Lesmana 2000. Bahan penelitian untuk pembuatan herbarium, seperti: kantong plastik, label gantung, kertas koran, dan alkohol 70 . Peralatan survei, seperti: kamera digital, perekam suara, parang, peta, dan software SPSS 20 untuk mengolah data statistik. Perolehan data melalui survei, observasi partisipatif, diskusi kelompok terfokus FGD, wawancara mendalam dan literatur. Wawancara mendalam dengan menetapkan informan berdasarkan status dan perannya dalam masyarakat berdasarkan kecukupan informasi dengan cara purposive dan snowball Sugiyono 2010. Penentuan informan secara sengaja purposive yang memiliki pemahaman mengenai sumberdaya tumbuhan. Sumber data berdasarkan petunjuk awal informan yang merekomendasikan informan lainnya snowball, yang mengerti pemanfaatan tumbuhan hutan. Identifikasi spesies tumbuhan mengacu pada 33 identifikasi flora menurut: Verheijen 1977 dan Steenis et al. 1978. Spesies yang belum teridentifikasi diidentifikasi di Herbarium Bogoriense, LIPI, Bogor. Pengambilan data pemanfaatan, istilah adat, dan peralatan tradisional melalui FGD dengan tetua adat dan anggota masyarakat lainnya. Jumlah responden untuk mengukur tingkat pengetahuan etnobotani berjumlah 90 orang yang dikelompokkan menurut kelas umur, jenis kelamin dan asal kampung Tabel 3.1. Penilaian kelas umur didasarkan pada sebagian besar kemampuan pengetahuan lokal masyarakat diperoleh pada akhir masa remaja atau awal dewasa, yaitu sekitar umur 15 tahun yang menjadi dasar pembagian kelompok umur Zent 2009. Pengukuran tingkat pengetahuan etnobotani menggunakan persamaan Phillips dan Gentry 1993a, 1993b, yaitu: �� = 1 � ∑ � Keterangan: Mgj = rata-rata tingkat pengetahuan etnobotani kelompok j n = jumlah anggota dalam kelompok j Vi = jumlah pengetahuan tradisional anggota i dari kelompok j J = kelas umur atau jenis kelamin Tabel 3.1 Jumlah responden penelitian No Lokasi sampel kampung: Kelas umur tahun Jenis kelamin I II III IV V 10-24 25 39 4054 5569 70-84 1 Mano Laki-laki 3 3 3 3 3 Perempuan 3 3 3 3 3 2 Lerang Laki-laki 3 3 3 3 3 Perempuan 3 3 3 3 3 3 Wae Rebo Laki-laki 3 3 3 3 3 Perempuan 3 3 3 3 3 Pengujian signifikansi faktor yang memengaruhi tingkat pengetahuan etnobotani dengan statistika non parametrik taraf nyata 0.05, yaitu: 1 Kruskal Wallis test, pengujian hipotesis komparatif k sampel independen populasi yang sama, menguji perbedaan pengetahuan etnobotani antar kampung dan kelas umur; 2 Man Whitney test, pengujian hipotesis komparatif dua sampel independen dari populasi yang sama, menguji perbedaan jenis kelamin. Pengukuran indeks retensi etnobotani dan tingkat keberlanjutannya menggunakan persamaan Zent 2009, yaitu: a. Rgt = Mgt Mgr Keterangan: Rgt = tingkat retensi kelas umur t terhadap kelas umur t + 1 Mgt = rata-rata pengetahuan kelas umur t Mgr = rata-rata pengetahuan kelas umur t + 1 b. RCt = RCr 10 log Rgt Keterangan: RCt = tingkat retensi kumulatif kelas umur t RCr = tingkat retensi kumulatif kelas umur t + 1