Peranan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan

97 Sumber: Analisis citra landsat Hutan Ruteng pada Tahun 1993, 2003 and 2014 Gambar 4.11 Penutupan Hutan Ruteng pada Tahun 1993, 2003 dan 2014 Penutupan hutan primer wilayah hutan Todo relatif stabil sejak tahun 1993 sampai tahun 2014 dan hanya terjadi penurunan seluas 102.49 hektar 2.67, yaitu dari luasan 3 . 841.92 hektar menjadi 3 . 739.43 hektar. Penurunan luas hutan primer ini diikuti oleh kenaikan jumlah luasan hutan sekunder seluas 32.7 hektar 0.66, yaitu dari 4 . 951.12 hektar menjadi 4 . 983.82 hektar. Penurunan luasan yang cukup besar selama 20 tahun terakhir pada Hutan Todo adalah luasan semak belukar sejumlah 774.42 hektar 53.28, yaitu dari 1 . 453.38 hektar menjadi 678.96 hektar. Penurunan jumlah luasan semak belukar ini sebagai akibat penambahan jumlah luasan lahan untuk perkebunan yang cukup signifikan seluas 888.03 hektar 183.13, yaitu dari 484.92 hektar menjadi 1 372.95 hektar dan lahan areal terbuka untuk pemukiman seluas 203.14 hektar 625.43, yaitu dari 32.48 hektar menjadi 235.62 hektar Gambar 4.12. Hutan primer dan sekunder ditandai dengan warna hijau tua dan hijau muda terletak pada bagian tengah kawasan. Pada wilayah Hutan Todo penambahan luas kebun yang ditandai dengan warna kuning pada peta penutupan lahan terletak pada wilayah enclave Wae Rebo, pinggir kawasan yang berada pada sisi timur, barat dan utara. Penambahan areal terbuka untuk pemukiman ditandai dengan warna merah yang berada di sisi timur dan utara kawasan. Penambahan areal permukiman ini karena letak kawasan yang berbatasan dengan wilayah padat penduduk Gambar 4.14. Pada wilayah Hutan Ruteng penambahan luas kebun dan pemukiman terjadi pada semua bagian pinggir kawasan. Wilayah hutan yang masih relatif baik kondisinya berada pada bagian tengah kawasan yang jauh dari jangkauan masyarakat Gambar 4.13. Wisatawan asing lebih banyak datang ke Hutan Todo daripada Hutan Ruteng Tabel 4.7. Turis domestik lebih banyak datang ke Hutan Ruteng karena atraksi wisata utama adalah pemandangan alam sedangkan di Wae Rebo wisata budaya 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000 18000 Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Areal terbuka Semak Tubuh air Awan Hektar Tahun 1993 Tahun 2003 Tahun 2014 98 yang menarik lebih banyak turis asing, yaitu rumah tradisional dan kehidupan sehari-hari di dalam enclave hutan Todo seperti: pertanian organik, peralatan tradisional, sayuran dari hutan dan sebagainya. Sumber: Analisis citra landsat Hutan Todo pada Tahun 1993, 2003 and 2014 Gambar 4.12 Penutupan Hutan Todo pada Tahun 1993, 2003 dan 2014 Tabel 4.7 Jumlah turis pada wilayah Hutan Ruteng dan Todo Tahun Hutan Ruteng Hutan Todo Turis Domestik Turis Asing Turis Domestik Turis Asing 2014 808 449 - 2 . 493 2013 305 167 - 679 2012 145 141 - 573 2011 1 . 391 78 - 425 2010 5 4 - 334 Keterangan: = Tidak ada data karena sedikit turis domestik yang datang. Masyarakat tradisional di Hutan Ruteng memperoleh pendapatan tunai dengan menjual hasil hutan dan Wae Rebo dari ekowisata Tabel 4.8. Pemanfaatan kayu bangunan dan kayu bakar dari dalam Hutan Ruteng berdampak degradasi hutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pei et al. 2009 bahwa pemanfaatan hasil hutan untuk komersial akan menyebabkan degradasi hutan. 1000 2000 3000 4000 5000 6000 Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Areal terbuka Semak Tubuh air Awan Hektar Tahun 1993 Tahun 2003 Tahun 2014 Gambar 4.13 Penutupan hutan Ruteng hasil analisis citra landsat tahun 1999, 2003 dan 2014. Gambar 4.14 Penutupan hutan Todo hasil analisis citra landsat tahun 1993, 2003 dan 2014. 101 Tabel 4.8 Perbandingan kondisi kampung tradisional di Hutan Ruteng dan Todo No Uraian Hutan Ruteng Hutan Todo 1 Kampung sampel Mano dan Lerang Wae Rebo 2 Forest area 32 . 245.6 ha 10 . 089.2 ha 3 Fungsi Hutan Hutan Lindung Hutan Konservasi 4 Penutupan Hutan Penurunan selama periode 1993 – 2014 Penutupan hutan periode 1993 – 2014 relatif baik. 5 Pemanfaatan kayu dalam kawasan Tidak ada ijin pemanfaatan Ijin pemanfaatan untuk pembangunan rumah adat 6 Pengelolaan wisata Wisata dikelola pemerintah pusat Wisata dikelola masyarakat tradisional 7 Pengelolaan kampung Sulit untuk membangun rumah adat Kampung tradisional terkelola dengan baik 8 Tanggung jawab konservasi hutan Hutan dianggap sebagai tanggung jawab pemerintah Ada tanggung jawab untuk konservasi hutan 9 Pendapatan tunai dari hutan Kayu bangunan, kayu bakar, sayuran, buah dan ikan. Wisata alam dan budaya 10 Harga tiket wisata Rp. 10 . 000,- untuk pemerintah Rp. 250 . 000,- untuk penduduk lokal

4.4 Simpulan

Masyarakat Suku Manggarai memiliki sistem tata guna lahan yang mendukung konservasi tumbuhan hutan dan ekosistem Pegunungan Ruteng serta memberikan kesejahteraan. Pengelolaan lahan dilakukan dengan sistem tata guna lahan yang terbagi menjadi beberapa fungsi, yaitu: beo kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, pong cengit hutan keramat dan cengit daerah keramat. Pembagian lahan tersebut untuk menjaga sistem ekologi baik dan mencukupi kebutuhan masyarakat. Masyarakat menjaga sistem ekologi dengan menempatkan permukiman pada wilayah rata, wilayah perbukitan untuk kebun agroforestry dan menjaga hutan pada wilayah gunung yang lebih tinggi. Pengelolaan lahan secara tradisional masih dipertahankan karena lahan komunal merupakan ikatan sosial kekerabatan dan tempat ritual tradisional yang memiliki nilai keagamaan lokal yang dipatuhi. Pada wilayah Hutan Todo memiliki penutupan hutan yang lebih baik karena adanya dukungan masyarakat tradisional dalam mendukung kelestarian hutan. 102 5 INTEGRASI KEARIFAN LOKAL DAN KONSERVASI 5.1. Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 5.1.1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservasi Budaya konservasi masyarakat Manggarai di Pegunungan Ruteng merupakan hasil interaksi dengan hutan melalui sejarah yang panjang turun temurun. Hutan dan lahan dalam praktek pengelolaan tradisional adalah milik komunal sehingga mengikat seluruh warga untuk ikut menjaga kelestarian hutan dan mengamankannya dari pihak luar. Kelembagaan lokal yang sudah teruji ratusan tahun mampu memecahkan permasalahan sosial dalam pemanfaatan milik bersama melalui distribusi pemerataan yang adil sehingga dapat meredam konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Pengalaman untuk survival pada wilayah hutan pegunungan membuat masyarakat memiliki perilaku efisiensi sumberdaya untuk kepentingan komunal sehingga memberi manfaat untuk jangka panjang berkelanjutan konservasi. Pesan konservasi tersebut merupakan suatu upaya masyarakat untuk melakukan efisiensi dalam 2 hal, yaitu efisiensi pemanfaatan tumbuhan hutan dan efisiensi pemanfaatan ruang. Bukti-bukti produk budaya yang memberi pesan penting dalam konservasi dapat ditemukan dalam kelembagaan, idioms, mitos, legenda dan ritual. Pesan penting konservasi selalu dikaitkan dengan mitos dan religi kepercayaan tradisional sehingga merupakan pesan yang kuat. Pesan-pesan konservasi yang dikaitkan dengan religi tersebut antara lain adalah: - Perlindungan hutan sekitar danau dan mata air dikaitkan dengan upacara adat barong wae, yaitu penghormatan pada roh yang ada di mata air. - Pengawetan pohon sakral Ficus spp dikaitkan dengan adanya dewa yang ada di pohon tersebut. - Pemanfaatan dan konservasi pohon teno Melochia umbellata dikaitkan dengan mitos nama dewa penjaga kebun dan nama tua teno. - dan sebagainya.

5.1.2 Kearifan Pemanfaatan Tumbuhan Hutan

Efisiensi dalam hal pemanfaatan spesies tumbuhan dapat ditemukan dalam 3 spesies kunci budaya Manggarai, yaitu teno Melochia umbellata, ara Ficus variegata dan worok Dysoxylum densiflorum.

1. Teno Melochia umbellata

Pohon ini memiliki manfaat paling banyak dari semua tumbuhan hutan bermanfaat. Himbauan untuk memanfaatkan kayu teno dihubungkan dengan mitos bahwa kayu ini membawa kerukunan dan persatuan seisi rumah sehingga setiap rumah penduduk di Manggarai memanfaatkan kayu teno minimal sebagai satu tiang penyangga rumah. Nama pohon teno memiliki kesamaan dengan nama roh penjaga kebun dan nama tua adat pembagi tanah serta pemanfaatan kayu teno yang di tancapkan di pusat kebun bundar lingko sebelum membagi tanah sehingga semakin menambah nilai spiritual kayu dalam pembangunan rumah tinggal. Pesan penting konservasinya adalah memelihara anakan yang tumbuh alami di kebun dan halaman rumah. 103 Heyne 1987 menyatakan bahwa Mellochia umbellata menyebar di seluruh Nusantara, tumbuh sangat cepat, diameter batang hingga 30 cm. Wagner et al. 1999 juga menyatakan bahwa pohon teno cepat tumbuh namun tidak dapat tumbuh di bawah naungan sehingga sangat umum ditemukan pada lahan terbuka. Informasi dari literatur ini sesuai dengan pengetahuan masyarakat, yaitu pohon teno tumbuh paling lama 15 tahun dan diameter paling besar 40 cm dan sulit tumbuh ditemukan dalam hutan lebat karena tidak dapat hidup di bawah naungan. Hal ini merupakan indikasi efisiensi pemanfaatan spesies, yaitu bahwa untuk memenuhi keperluan bahan bangunan rumah penduduk dalam jumlah besar masyarakat Manggarai memanfaatkan kayu cepat tumbuh yang tumbuh pada lahan terbuka dan juga memenuhi kebutuhan dengan cara melakukan budidaya.

2. Ara Ficus variegata

Pohon ini merupakan spesies pohon kedua paling penting dalam budaya Manggarai. Pohon ara Ficus variegata tidak dimanfaatkan untuk kayu bangunan karena anggapan mampu meningkatkan debit air di mata air yang dikaitkan dengan upacara adat penghormatan terhadap dewa penjaga mata air. Perlindungan ara Ficus variegata dengan sanksi adat menyebabkan tumbuhan ini menjadi spesies tumbuhan yang paling dominan di Pegunungan Ruteng. Ficus spp dari famili Moraceae merupakan salah satu genus tanaman yang penting dari hutan tropis dan hutan sub-tropis, dengan lebih dari 800 spesies di seluruh dunia Harrison 2005. Ficus spp memiliki kelas kuat dan awet yang rendah sehingga tidak berguna secara langsung untuk bahan bangunan maupun perkakas rumah tangga Heyne 1987 namun memiliki nilai tinggi secara budaya. Bentuk pohon yang tinggi dan tajuk yang lebar menyebabkan Ficus spp memiliki perakaran yang dalam, menyebar dan mencengkeram sehingga berperan dalam peningkatan air tanah. Kemampuan Ficus spp sebagai tanaman epifit, semi-epifit dan pohon membuat tumbuhan mampu tumbuh dalam banyak kondisi yang berbeda sehingga berumur panjang dan sangat berguna secara ekologi. Kelompok epifit Ficus menumpang pada pohon lain, semi epifit menumpang pohon lain hingga akarnya mencapai tanah dan jenis pohon mandiri dapat hidup langsung tanpa inang Berg dan Corner 2005. Pohon dari Ficus spp berbuah sepanjang tahun Miao et al. 2011 dimakan oleh kurang lebih 60 spesies burung dan 17 mamalia di hutan dataran rendah di Semenanjung Malaysia Lambert et al. 1991 dan juga lebih dari 1 . 000 spesies burung serta mamalia makan buah ficus matang Shanahan et al. 2001 dan merupakan spesies kunci hutan hujan tropis Herre et al. 2008. Secara ekologi Ficus spp juga bermanfaat memperbaiki kualitas udara dan tanah, mencegah erosi dan secara ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan serta religi Masyarakat tradisionalDhanya et al. 2012. Manfaat Ficus spp secara ekonomi, ekologi dan sosial budaya masyarakat tradisional ini menjadi dasar yang kuat untuk menjadi spesies yang prioritas dalam strategi konservasi pengawetan spesies.

3. Worok Dysoxylum densiflorum.

Pohon ini penting secara budaya karena pemanfaatannya secara khusus untuk tiang utama siri bongkok rumah adat. Pentingnya kayu worok dalam budaya Manggarai ini sesuai dengan idiom orang Manggarai, yaitu: “porong neho worok eta golo, pateng wa wae ” yang artinya semoga kokoh seperti worok di atas bukit