Menyentuh kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari
116 Ciri khas beo dalam tiga kampung lokasi penelitian adalah peranan tua golo
dan tua adat lainnya dalam kepemimpinan adat, yaitu: -
Kegiatan ritual adat yang masih dipercaya dan dilakukan terutama tiga upacara adat utama Manggarai, yaitu upacara penti, barong wae dan barong lodok.
- Penegakan hukum adat dengan sistem denda adat untuk menegakkan ketertiban
masih dijalankan dengan baik. -
Pengelolaan hutan dan lahan secara tradisional masih dijalankan dengan konsisten, seperti: pembagian lahan komunal, daerah keramat dan hutan yang
dimanfaatkan. -
Pemanfaatan pohon untuk kayu bangunan seijin dan sepengetahuan tua golo dan tidak digunakan untuk kepentingan komersial hanya terdapat di wilayah
kampung Wae Rebo. -
Pada wilayah kampung Wae Rebo, pemanfaatan kayu worok Dysoxylum densiflorum
hanya untuk rumah adat dan tidak diijinkan untuk keperluan lainnya yang dilakukan dengan prosesi adat yang rumit yang disebut dengan
“roko molas poco”. Lembaga adat dapat berjalan dengan baik apabila diberikan kewenangan
untuk melakukan konservasi tumbuhan hutan karena berhubungan dengan pembangunan rumah adat. Adanya akses untuk mengelola wisata secara mandiri
juga memberikan motivasi masyarakat tradisional untuk memanfaatkan spesies tumbuhan hanya untuk kebutuhan subsisten.
Kegagalan pengelolaan hutan di Indonesia adalah karena tidak dipertimbangkannya faktor sosial budaya dalam pengelolaan hutan. Secara sosial
budaya pengelolaan hutan yang lestari sudah biasa dilakukan oleh Masyarakat tradisional melalui kearifan lokal yang mendukung konservasi. Masyarakat
tradisional di dalam dan sekitar hutan telah melakukan pengelolaan hutan sejak ratusan tahun lalu dengan kearifan lokal melalui sistem kelembagaan lokal yang
sudah teruji sehingga berdampak pada kelestarian hutan.
Masyarakat Manggarai di Pegunungan Ruteng memiliki pengetahuan keanekaragaman tumbuhan dan lingkungannya secara turun temurun. Masyarakat
mengelola lahan secara zonasi serta mengenal dan memanfaatkan dengan baik sumberdaya tumbuhan hutan sehingga berdampak pada keberlanjutan. Pengelolaan
ekoturisme yang dilakukan oleh Masyarakat tradisional secara mandiri terbukti lebih berhasil dibandingkan dengan yang dilakukan oleh pemerintah dengan biaya
yang lebih besar. Pemerintah seharusnya melakukan pemberdayaan terhadap kelembagaan adat untuk melakukan mengelola usaha ekonomis komersial berbasis
sumberdaya alam setempat.
Program konservasi yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat adalah penguatan institusi lokal dengan melakukan pengelolaan hutan yang
mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam konservasi. Kearifan pada Masyarakat tradisional yang mendukung konservasi merupakan potensi sosial
budaya untuk direvitalisasi dan diperkuat untuk menjadi landasan baru perubahan kebijakan yang berdampak pada keberlanjutan hutan. Kelembagaan lokal pada
tingkat terkecil yaitu kampung beo sebagai struktur kelembagaan adat yang berperan dalam kelestarian hutan perlu diperkuat dan diberdayakan mengingat
pengaruh mereka yang lebih besar dari kepala desa yang lebih berperan dalam administrasi.
117 Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat masyarakat untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Keberhasilan pemberdayaan dilakukan melalui peningkatan kemampuan diri
individu masyarakat. Permasalahan kemiskinan pada masyarakat adalah ketidakmampuan dan bukan masalah budaya dan sumberdaya alam melainkan
karena kebijakan yang tidak memihak masyarakat tradisional. Keberhasilan pemberdayaan masyarakat apabila dapat mewujudkan kemandirian konservasi
keanekaragaman hayati oleh masyarakat dengan sistem kearifan lokal yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Pemberdayaan masyarakat dengan mengurangi bahkan menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap hutan adalah kontra produktif terhadap
konservasi hutan. Contoh kebijakan yang mendorong kemandirian masyarakat yang dilakukan oleh beberapa negara lain antara lain adalah Cina dan Jepang.
Sebagian besar masyarakat miskin yang ada di negara Cina berada pada sekitar hutan pegunungan. Untuk melakukan pengentasan kemiskinan pemerintah Cina
memfasilitasi Masyarakat tradisionalhidup bergantung pada hutan untuk meningkatkan taraf hidup. Petani mendapatkan kayu, kayu bakar, buah-buahan,
kacang-kacangan, tanaman obat, dan produk lainnya dari hutan untuk konsumsi subsisten rumah tangga. Hal ini memungkinkan para petani untuk meningkatkan
pendapatan mereka sebesar US 5.35 menjadi US 7.38 per kapita setiap tahun hanya melalui kayu bakar dan kayu dari hutan. Selain hasil hutan masyarakat
diberikan kesempatan terlibat dalam kegiatan ekowisata. Pada tahun 2009, petani mulai berbagai jenis kegiatan pariwisata sosial dan mempekerjakan 618
. 900 orang
yang berbasis di taman hutan. Ekowisata hutan di Provinsi Fujian pada tahun 2008 menerima 1.67 juta pengunjung, dan menciptakan 3
. 100 lapangan kerja dengan
nilai produksi sosial US 12.850.000 FAO 2012. Di negara Jepang pengelolaan tradisional lahan menggunakan pendekatan
yang menghubungkan antara lahan pertanian dan hutan untuk menjamin keberlangsungan keuntungan yang didapat dari ekosistem hutan. Sistem ini
dinamakan satoyama yang arti harfiahnya adalah sato = rumah desa dan yama = bukit berhutan dan pegunungan. Sistem ini menerapkan pengelolaan lahan
pertanian dan hutan yang dikelola untuk berbagai keperluan subsisten serta konservasi keanekaragaman hayati Indrawan et al. 2004. Satoyama merupakan
pengetahuan tradisional yang diterapkan pada skala nasional, dalam implementasinya digabungkan dengan pengetahuan modern untuk meningkatkan
produksi Kohsaka et al. 2015.