Kepercayaan dan Agama Hasil dan Pembahasan
23 memberikan sesaji pada roh di tempat angker agar tidak mengganggu melainkan
memberikan hasil panen melimpah atau debit air pada mata air lebih besar.
Gambar 2.4 Makanan, minuman, kotak uang sumbangan dari pelayat dan barang- barang lainnya diletakkan dekat peti mati pada acara kematian seorang
anak muda di Wae Rebo Pada acara kematian kerabat perempuan meratap tangis dengan keras dan saat
mendengar orang menangis sambil berjalan, warga segera masuk rumah untuk sesaat. Jika meninggal pagi pemakaman menunggu kerabatnya berkumpul hingga
esok hari. Pelayat menaruh uang kedukaan dalam piring terbuka dan tetua kerabat menyampaikan pada jenasah mengenai kerabat dan pelayat serta jumlah uang duka
seakan masih bisa berkomunikasi dengan orang mati Gambar 2.4. Kerabat perempuan menangis mengelilingi jenasah dengan kata-kata yang terdengar seperti
syair secara bergantian.
Sebelum menggali tanah untuk pemakaman, tetua adat memukul mukul tanah sebanyak tiga kali sambil berdoa memohon kepada naga tanah agar tidak ada
halangan saat pemakaman jenasah. Tetua kerabat memulai proses pemakaman dengan syair-syair Manggarai dan pembacaan doa secara Katolik. Kerabat dan
pelayat membawa peti jenasah ke pemakaman, menimbuni tanah sambil mengguyurkan air tiga kali, memasang tiang salib pada bagian kaki dan menyalakan
lilin sekeliling makam serta meletakkan beberapa barang almarhum seperti rokok, nasi dan lauk pauk dalam piring di atas makam.
Upacara adat penting mendukung konservasi adalah barong wae yang memuja roh-roh yang menjaga mata air Gambar 2.5. Kepercayaan itu
menyebabkan masyarakat menetapkan hutan keramat pada sekitar mata air. Hutan keramat di dalam hutan negara sebagai ritual keagamaan dan penghormatan kepada
24 leluhur semestinya diakomodasi sebagai zona inti yang memberikan keuntungan
dalam ekologi Kosmaryandi 2012b. Di lokasi penelitian, kepercayaan barong wae
berdampak pelestarian hutan Mano yang disebut pong Dode 4,3 ha, hutan di sekitar Danau Ranamese 11 ha untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan 7 daerah
keramat Wae Rebo yang berperan melestarikan hutan Todo. Ritual adat juga dihubungkan dengan adanya legenda. Ritual adat di wilayah
danau Ranamese berhubungan dengan adanya dua legenda. Legenda pertama menceritakan mengenai penghuni mahluk halus Danau Ranamese berburu tikus
menurut roh halus adalah babi hutan, namun secara tidak sengaja tikus tersebut terbunuh manusia yang sedang menebang pohon. Manusia berdamai dengan
memberikan tikus tersebut pada penghuni Ranamese serta berjanji memberikan bantuan bila penghuni Ranamese membutuhkan. Beberapa waktu kemudian
penghuni Danau Ranamese dengan bantuan manusia berperang dengan penghuni Danau Ranahenbok. Pasukan Danau Ranamese menang karena manusia
menggunakan parang sedangkan pasukan Ranahenbok menggunakan belut sehingga Penghuni Ranahenbok memperluas Danau Ranamese untuk membayar
kekalahannya. Dalam bahasa Manggarai rana artinya danau dan mese artinya besar. Manusia yang membantu penghuni Ranamese tersebut adalah nenek moyang
penduduk kampung Lerang. Masyarakat Lerang masih percaya legenda ini.
Legenda kedua menceritakan bahwa Danau Ranamese dahulu merupakan lembah yang berhutan lebat. Seorang pemburu yang sedang berada di lembah
memanjat sebuah pohon untuk mencari binatang buruan melihat benda kuning mengkilat seperti emas tetapi saat turun dari pohon benda tersebut menghilang.
Pemburu kembali naik ke atas pohon dan terjadi hal yang sama sebanyak tiga kali. Pemburu kembali naik ke atas pohon dan menancapkan tombaknya pada benda
kuning mengkilat tersebut dan air memancar dari tanah. Pemburu berlari menjauh namun air terus memancar dan akhinya ia mati di pinggir danau. Pemburu tersebut
menurut legenda menjadi batu besar di pinggir danau yang disebut watu naga batu naga. Masyarakat mencurahkan darah ayam diatas watu naga dalam ritual
persembahan pada leluhur setiap tahun.
Tumbuhan dan satwaliar di dalam hutan keramat terlindungi dengan baik karena adanya larangan untuk berburu satwaliar dan mengambil tumbuhan hutan.
Hutan sekitar Danau Ranamese sebagai hutan keramat untuk warga kampung Lerang merupakan habitat 45 spesies burung. Dua burung air migran hidup di
dalam danau, yaitu Anas gibberifrons Miller, 1842 and Tachybaptus ruficollis Pallas, 1764. Beberapa burung dilindungi hidup di dalam hutan, yaitu: Accipiter
novaehollandiae
Gmelin, 1788, Haliastur indus Boddaert, 1783, Spizaetus cirrhatus
, Gmelin 1788, Elanus caeruleus Desfontaines, 1789, Nectarina jugularis
Linnaeus 1766 dan Philemon buceroides Swainson 1838 Widodo 1998. Hutan keramat sekitar Wae Rebo merupakan habitat satwaliar endemik
seperti burung hantu kerdil Otus alfredi Hartert, 1896, gagak flores Corvus florensis
Buttikofer, 1894, tikus raksasa betu Papagomys armandvilley Jentink, 1892 and piton kembang Python reticulatus Schneider, 1801 Trainor
Lesmana 2000.
25
Gambar 2.5 Mata air tempat melaksanakan upacara barong wae di kampung Mano, Lerang dan Wae Rebo
Masyarakat tradisional percaya pada totem untuk perlindungan satwa liar terkait dengan cerita mitos masa lalu yang melarang untuk mengganggu satwa liar
tertentu. Dalam istilah Manggarai totem disebut dengan ceki yang masih diyakini karena pelanggaran ceki berdampak pada kesehatan misalnya gatal di seluruh tubuh
dan akan sembuh dengan berjalan di sekitar desa membawa kurungan ayam di atas kepala. Masyarakat menceritakan ceki turun temurun dan merupakan pantangan
bagi garis keturunan tertentu. Bila merantau ke tempat lain, ceki tetap berlaku bagi yang bersangkutan yang disebut ceki lerong. Setelah menikah isteri mengikuti
suami dalam hal ceki. Pada wilayah kampung penelitian, kampung mano memiliki ceki
kode Macaca fascicularis sedangkan dua kampung lainnya, yaitu kampung Lerang dan Wae Rebo memiliki ceki rotung Hystryx brachyura.
Ceki adalah dapat mengikat seseorang melalui kesepakatan dalam sebuah upacara adat. Setiap kampung di Manggarai memiliki kepercayaan ceki pada satwa
liar yang berbeda-beda. Ceki dapat digunakan untuk membantu melestarikan satwa liar yang memiliki status dilindungi melalui upacara adat yang menetapkan satwa
liar tersebut ke dalam satwa ceki. Ceki membantu melestarikan spesies dilindungi dan endemik seperti burung hantu kerdil atau po Otus Alfredi, tikus betu
Papagomys armandvilley, gagak flores atau ka Corvus florensis, landak atau rotung Hystryx brachyura, dan lainnya. Tradisi spesies totem menjamin
konservasi keanekaragaman hayati melalui partisipasi masyarakat Khan et al. 2008.
Perlindungan karena spesies keramat secara alami mempertahankan populasi spesies di alam liar, contohnya pohon beringin sebagai pohon keramat akan terus
tumbuh dan mati secara alami. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis di hutan keramat kampung Mano masih tetap ada meskipun daerah sekitarnya adalah kebun
dan perumahan masyarakat karena kera ekor panjang adalah ceki masyarakat kampung Mano. Menurut masyarakat Mano ada seekor kera putih di tengah pong
dode
yang hanya terlihat oleh orang-orang tertentu. Orang yang dapat melihat kera putih ini konon mengalami perubahan nasib baik.
Kepercayaan masyarakat setempat juga terwujud dalam tarian adat Manggarai yang utama, yaitu caci karena yang berkaitan dengan upacara penti.
Masyarakat menari caci sehari sebelum acara penti. Caci berasal dari kata Manggarai ca artinya satu dan ci artinya uji sehingga caci artinya uji satu lawan
satu. Legenda caci berawal dari kisah dua orang kakak beradik di padang rumput dengan seekor kerbau peliharaan. Si adik terperosok ke lubang dalam dan kakaknya
berusaha menolongnya. Sang kakak menyembelih kerbau dan menggunakan
26 kulitnya sebagai tali untuk menolong adiknya. Gerakan saling mencambuk dan
terluka tetapi tidak marah dan tetap sopan merupakan simbol pertobatan, pengendalian emosi dan persaudaraan. Tarian caci melibatkan dua orang laki-laki,
seorang membawa tameng nggilig dan lainnya cambuk larik yang memainkannya bergantian. Tabuhan gendang dan gong mengiringi tarian caci.
Setelah selesai acara caci para pemain menyimpan gong dan gendang di rumah adat.
Permainan caci saat ini tidak hanya saat acara penti melainkan juga saat acara resmi di kabupaten dan permintaan turis. Selama atraksi caci para pemain
menyanyikan nyanyian saat sebelum acara, ada yang terkena cambukan dan penutupan. Tetua caci mengobati yang terluka menggunakan mantra. Artibut caci
antara lain celana panjang putih sebagian dilapisi kain tenun hitam songke dan selendang songke. Penutup dahi panggal berbentuk segi empat dengan kedua
sisinya seperti tanduk kerbau dengan hiasan bulu binatang terbuat dari kulit kerbau, sapi atau kambing. Romhe penutup dagu terbuat dari kain merah gerang dan
nggorang
giring-giring terikat di pinggang dengan penahan ndeki terbuat dari rotan dengan hiasan bulu kuda Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Pemain caci tampak dari depan dan belakang Peralatan untuk menyerang dan menahan serangan tari caci adalah larik,
nggilig dan agang. Larik cambuk terbuat dari kayu kopi robusta terbalut kulit kerbau. Nggilig tameng terbuat dari kulit kerbau dengan kerangka kayu kopi
robusta. Alat penangkis serangan selain tameng adalah agang yang terbuat dari bambu betung.
Tarian merakyat lainnya tarian pesta yang disebut ja’i. Seorang pemimpin tari melakukan gerakan dan peserta pesta mengikuti gerakannya dengan selingan
gerakan lucu diiringi musik modern. Alat-alat musik tradisional Manggarai umumnya terdiri dari: gong terbuat dari besi, sunding suling dari bambu helung
Schizostachyum blumii, tinding alat musik pukul dari bambu betong Dendrocalamus asper, tambor dan gendang dari kayu lumu Manglietia glauca
atau ajang Toona sureni dan kulit sapi atau kambing.
27