Kearifan Pemanfaatan Ruang Kearifan Lokal yang Mendukung Konservasi 1 Kearifan Budaya yang Mendukung Konservasi
106 bahwa penutupan akses masyarakat tradisional berdampak negatif pada kelestarian
hutan Pei et al. 2009; Pei et al. 2013; Gueze 2011; Baird dan Dearden 2003; Negi 2010; Turner et al. 2011.
Hutan sebagai kebutuhan rohani adalah hutan merupakan tempat melakukan berbagai ritual adat. Orang Manggarai menganggap hutan sebagai tempat
kehidupan makhluk halus adikodrati yang menghubungkan antara dunia nyata dan dunia halus Verheijen 1991; Hadiwiyono 1985. Perwujudan kepercayaan ini
adalah daerah keramat pada wilayah hutan, danau dan mata air. Kepercayaan tradisional yang merupakan nilai sosial tersebut merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal yang membuktikan hubungan yang selaras antara masyarakat adat dengan hutan.
Strategi perlindungan sistem penyangga kehidupan terkait dengan istilah keramat tempat melakukan ritual adat sehingga setiap kampung di Manggarai
memiliki mata air dan hutan keramat di sekitarnya. Perlindungan dalam konsep budaya masyarakat tradisional ini menguntungkan dari sisi konservasi.
Penerapannya dalam konservasi dijelaskan secara sains bahwa hutan merupakan daerah tangkapan air yang berfungsi memperbaiki sistem tata air yang
menyediakan air secara kontinyu pada musim hujan dan kemarau.
Strategi pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa dalam konsepsi budaya masyarakat tradisional adalah tumbuhan sakral Ficus spp yang
tidak boleh dimanfaatkan sebagai kayu bangunan dan satwa ceki totem, yaitu satwa yang tidak boleh diganggu apalagi diburu untuk dimakan. Perlindungan Ficus
spp menguntungkan konservasi karena peranannya penting secara ekologi. Satwa ceki
menguntungkan dalam pengawetan satwa liar karena merupakan budaya perlindungan satwa liar meskipun secara khusus umumnya hanya mengikat satu
kampung. Dalam penerapannya satwa berstatus dilindungi dapat dijadikan satwa ceki untuk setiap kampung di Manggarai melalui upacara sumpah adat yang
mengikat setiap penduduk kampung sepakat memasukkan satwa dilindungi menjadi satwa ceki.
Strategi pemanfaatan berkelanjutan berkaitan dengan pemanfaatan beragam tumbuhan hutan. Hutan Pegunungan Ruteng memiliki keanekaragaman yang tinggi
yang menyediakan pemanfaatan beragam spesies hutan. Masyarakat memiliki pengetahuan untuk memanfaatkan beragam spesies tumbuhan hutan sehingga hutan
dapat dipandang sebagai sumberdaya terbarukan yang berkelanjutan yang menyediakan berbagai produk berguna yang dapat diekstraksi terus menerus.
Pengetahuan etnobotani masyarakat suku Manggarai merupakan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup turun temurun, yaitu sandang, papan, pangan
serta sosial budaya masyarakat. Jumlah tumbuhan liar yang dimanfaatkan sebanyak 161 spesies lebih dari 60
spesies di dalam Hutan Ruteng sebanyak 276 spesies Wiriadinata 1998, sebanyak 252 spesies Verheijen 1977. Pemanfaatan tersebut
merupakan pemanfaatan beragam yang menurut Odum 1971 dan MacKinnon 1990 merupakan gangguan tingkatan sedang intermediate yang berdampak pada
kelestarian kawasan hutan. Pemanfaatan beragam menurut Pei et al. 2009 merupakan pemanfaatan tidak pada satu spesies dan habitat tertentu sehingga
berperan dalam pemeliharaan ekosistem. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tumbuhan secara tradisional itu merupakan konservasi
tumbuhan dan ekosistem atau perlindungan dengan cara memanfaatkan.
107 Kearifan lokal dan konservasi memiliki tujuan yang sama, yaitu kelestarian
hutan untuk kesejahteraan masyarakat. Perbedaan antara keduanya adalah cara mencapai tujuan tersebut. Masyarakat dengan kearifan lokalnya menganggap hutan
sebagai tempat hidup berbagai macam spesies tumbuhan dan hewan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan upacara adat serta melindungi sebagian
sumberdaya keanekaragaman hayati tersebut dalam bentuk daerah keramat dan spesies totem. Konservasi semestinya mengakomodir pemanfaatan subsisten
masyarakat melalui kearifan lokal dengan tetap mempertimbangkan aspek perlindungan kawasan.
Program konservasi yang memisahkan hutan dari masyarakat sekitar adalah keliru. Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan bantuan ternak, uang tunai
dan sebagainya dengan konsep “reward and punishment” dengan maksud supaya
masyarakat tidak lagi bergantung pada hutan adalah program yang tidak mendidik masyarakat dan kotra produktif dengan konservasi. Masyarakat yang tidak
berinteraksi dengan hutan diberikan hadiah materi sehingga akan diikuti oleh seluruh masyarakat lambat laun akan menghilangkan pengetahuan lokal sehingga
terjadi penurunan kemampuan untuk mengelola hutan secara lestari.
Pengelolaan hutan semestinya memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa menurunkan fungsi ekologisnya. Manfaat tersebut adalah berupa pemanenan hasil hutan
untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan kebutuhan untuk adatbudaya.
Salah satu indikator adanya degradasi hutan di Pegunungan Ruteng adalah adanya penurunan pengetahuan etnobotani pada generasi muda karena adanya
perubahan sosial. Penurunan pengetahuan tradisional karena sistem transfer pengetahuan dari generasi tua kepada generasi muda sudah berubah karena adanya
sekolah formal dapat dicegah dengan memberikan muatan lokal. Pengetahuan tradisional merupakan aset bangsa yang tidak ternilai sehingga perguruan tinggi
semestinya berperan dalam menyambungkan antara pengetahuan tradisional dan IPTEK yang akan lebih berguna untuk kesejahteraan masyarakat. Penutupan akses
pemanfaatan tumbuhan hutan dapat menurunkan pengetahuan tradisional sehingga semestinya memberikan akses pemanfaatan kepada masyarakat tradisional yang
memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan hutan secara lestari. Adanya penutupan akses terhadap pemanfaatan menyebabkan kurang berperannya lembaga
adat dalam pengaturan pemanfaatan sehingga pemanfaatan hutan menjadi pemanfaatan komersial. Pemerintah semestinya berperan dalam penguatan
kelembagaan adat dan program pemberdayaan difokuskan pada kemandirian kampung dengan pemanfaatan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.