94 menarik-narik tangkai padi. Kemudian menginjak-injak bulir padi yang masih
menempel agar tidak ada lagi bulir yang menempel dan mengayun-ayunkan ke udara supaya batang padi benar-benar terpisah dari batangnya, kemudian
membuang daun-daun padi, sisa batang padi serta kotoran kasar yang melekat.
Pembersihan kotoran halus pada padi yang terkumpul dengan bantuan angin. Satu orang berdiri di atas kursi atau meja dengan mengangkat sekeranjang bulir
padi, kemudian menjatuhkan bulir padi supaya kotoran halus terbawa angin namun bila angin tidak bertiup kencang maka satu orang lagi mengikipasinya dengan nyiru.
Selanjutnya adalah menjemur padi yang sudah bersih hingga kering dan menyimpan padi kering dalam lansing kotak penyimpanan supaya tahan lama.
Penumbukan padi menjadi beras menggunakan alu dan lesung secukupnya sesuai kebutuhan.
Gambar 4.9 Warga kampung di Mangarai telah memiliki penampungan air dekat pemukiman namun sumber mata air untuk upacara adat barong wae
masih terpelihara. Kebutuhan air bersih tercukupi dari bak penampungan air dengan
menampung air menggunakan jerigen plastik Gambar 4.9. Untuk masyarakat Lerang, sawah sudah menggunakan irigasi dari Danau Ranamese. Pemenuhan
kebutuhan air yang semakin mudah menyebabkan gaya hidup dan tingkat kesehatan masyarakat semakin meningkat. Meskipun sudah terdapat bak penampung air pada
setiap kampung namun mata air untuk upacara adat barong wae tetap terpelihara. 3.
Kampung Wae Rebo
Kampung Wae Rebo berada di bawah kaki gunung Todo dengan topografi terjal bergelombang berada pada kemiringan pada ketinggian 1
. 100 m dpl.
Kampung Wae Rebo merupakan enclave hutan Todo. Kampung ini memiliki 27 tanah lingko dan beberapa tempat penting ritual adat, yaitu: kampung Wae Rebo,
Barong Wae dan 7 tempat keramat Gambar 4.10. Masyarakat Wae Rebo belum mengerjakan seluruh lahan garapan yang ada di dalam enclave Wae Rebo. Lahan
yang belum memiliki nama lingko merupakan cadangan untuk lahan garapan rami yang ditumbuhi semak belukar. Topografi yang cukup terjal menyebabkan
95 masyarakat memutuskan untuk tidak menanam padi ladang. Masyarakat
mendapatkan beras pada masyarakat kombo, dusun di luar enclave Wae Rebo. Di kampung Wae Rebo listrik hanya saat malam hari menggunakan generator,
rumah adat menggunakan tenaga surya ukuran kecil untuk kebutuhan penerangan lampu dalam rumah. Dengan adanya listrik masyarakat sudah mulai mengenal
televisi, setrika dan peralatan listrik lainnya yang menuntut peningkatan pendapatan uang tunai.
Gambar 4.10 Peta pembagian lahan secara tradisional pada kampung Wae Rebo
Penghasilan masyarakat Wae Rebo utamanya adalah dari hasil ekowisata dan
menanam kopi. Biji kopi dijual ke pasar Dintor dengan cara memikulnya sejauh kurang lebih 15 km. Kopi yang dijual memiliki berat antara 30 - 35 kg seharga
Rp. 25 .
000 per kilogram. Hasil lainnya adalah dari kain tenun seharga Rp. 500 .
000 untuk satu helainya. Sebagian masyarakat menjadi petunjuk jalan dan pembawa
barang bagi turis yang mengunjungi ke Wae Rebo dengan upah Rp. 100 .
000,- untuk sekali jalan atau Rp. 200
. 000 pulang pergi.
Beberapa orang penduduk Wae Rebo memiliki telepon seluler meskipun belum ada sinyal telepon. Masyarakat menggunakan telepon seluler untuk
berkomunikasi bila keluar dari kampung dan sebagai hiburan bila berada di kampung untuk radio, foto, video dan fungsi lainnya selain alat komunikasi.
4.3.3 Peranan Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Hutan
Kepemimpinan tua golo lebih dominan dari pada kepala desa sehingga memiliki peran penting dalam konservasi hutan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sinabutar 2015 bahwa hutan negara di Indonesia lebih memilih legalitas dari pada
96 legitimasi sehingga lembaga informal sering lebih mendapatkan pengakuan dalam
pengelolaan hutan. Masyarakat tradisional berkontribusi pada pelestarian hutan jika mereka menerima manfaat dari hutan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Di kampung Wae Rebo, masyarakat setempat memiliki akses untuk mengambil kayu membangun rumah adat dari hutan Todo dan mengelola pariwisata sehingga
Hutan Todo memiliki tutupan hutan lebih baik dari Hutan Ruteng.
Hutan di pegunungan Ruteng dalam kondisi relatif baik terutama kampung Wae Rebo, karena peran masyarakat tradisional dalam melindungi hutan. Hal yang
sama disampaikan oleh Sinabutar et al. 2015 bahwa jika pemerintah melakukan sesuatu yang belum memiliki implikasi bagi masyarakat sehingga ada tumpang
tindih kekuasaan maka pelaksanaan kearifan lokal yang lebih berkelanjutan. Masyarakat tradisional membagi wilayahnya menjadi beberapa daerah meliputi
hutan keramat dan hutan untuk pemanfaatan. Pemanfaatan kayu dilakukan melalui tetua adat secara selektif untuk memenuhi kebutuhan subsisten.
Lembaga adat melakukan pertemuan paling sedikit sebulan sekali untuk membicarakan permasalahan sosial termasuk pemanfaatan hutan dan lahan.
Pertemuan dilakukan lebih dari satu kali apabila ada rencana kunjungan dari pejabat daerah atau untuk pelaksanaan ritual adat pada waktu-waktu tertentu. Pertemuan
lembaga adat dihadiri oleh laki-laki sedangkan perempuan hanya mendukung pelaksanaan seperti penyediaan konsumsi. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan dan dalam budaya Manggarai yang patriarkat laki-laki lebih banyak melakukan peranan.
Semua tugas tanggung jawab kepengurusan lembaga adat merupakan tanggung jawab tua golo kecuali dalam hal permasalahan tanah, pembagian lahan
komunal dan hal mengusahakan lahan menjadi tanggung jawan tua teno. Pelaksanaan ritual adat dipimpin oleh tua golo yang berperan sebagai pemimpin
spiritual dan skaligus juga pemimpin lembaga adat. Penentuan pohon yang ditebang untuk rumah adat dan juga pemanfaatan kayu lainnya juga atas ijin dan
sepengetahuan tua golo. Pengawasan tidak dilakukan secara khusus namun oleh seluruh anggota masyarakat. Pelanggaran peraturan adat seperti penebangan pohon
pada wilayah sekitar mata air akan dilaporkan pada lembaga adat dan dimusyawarahkan bersama mengenai pemberian sanksi adat atas pelanggaran.
Hukum adat memberikan sanksi sosial seperti rasa malu dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Hukuman sosial memberikan dampak menjaga perilaku
yang baik dari setiap warga sehingga kehidupan kampung berjalan dengan baik.
Kondisi penutupan hutan Todo lebih baik daripada Hutan Ruteng karena lembaga adat lebih berperan dalam pengelolaan hutan. Luas hutan primer Ruteng
menurun sejak tahun 1993 sampai 2014. Tahun 2014 luas hutan primer pegunungan Ruteng seluas 8
. 272.26 hektar menurun seluas 8
. 000.16 hektar
25.76 dari luas tahun 1993 seluas 16 .
272.36 52.41. Hutan sekunder mengalami penurunan selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 1993 sampai 2003
sebesar 2 .
493.44 hektar 8.04. Penurunan tersebut sebagai dampak perluasan semak belukar dan kebun serta areal terbuka untuk lahan pertanian kering dan
permukiman. Hutan sekunder kembali mengalami kenaikan luas kawasan selama tahun 2003 sampai dengan 2014 sebagai dampak penurunan kualitas penutupan
hutan primer Gambar 4.11.
97
Sumber: Analisis citra landsat Hutan Ruteng pada Tahun 1993, 2003 and 2014
Gambar 4.11 Penutupan Hutan Ruteng pada Tahun 1993, 2003 dan 2014 Penutupan hutan primer wilayah hutan Todo relatif stabil sejak tahun 1993
sampai tahun 2014 dan hanya terjadi penurunan seluas 102.49 hektar 2.67, yaitu dari luasan 3
. 841.92 hektar menjadi 3
. 739.43 hektar. Penurunan luas hutan primer
ini diikuti oleh kenaikan jumlah luasan hutan sekunder seluas 32.7 hektar 0.66, yaitu dari 4
. 951.12 hektar menjadi 4
. 983.82 hektar. Penurunan luasan yang cukup
besar selama 20 tahun terakhir pada Hutan Todo adalah luasan semak belukar sejumlah 774.42 hektar 53.28, yaitu dari 1
. 453.38 hektar menjadi 678.96 hektar.
Penurunan jumlah luasan semak belukar ini sebagai akibat penambahan jumlah luasan lahan untuk perkebunan yang cukup signifikan seluas 888.03 hektar
183.13, yaitu dari 484.92 hektar menjadi 1 372.95 hektar dan lahan areal terbuka untuk pemukiman seluas 203.14 hektar 625.43, yaitu dari 32.48 hektar menjadi
235.62 hektar Gambar 4.12.
Hutan primer dan sekunder ditandai dengan warna hijau tua dan hijau muda terletak pada bagian tengah kawasan. Pada wilayah Hutan Todo penambahan luas
kebun yang ditandai dengan warna kuning pada peta penutupan lahan terletak pada wilayah enclave Wae Rebo, pinggir kawasan yang berada pada sisi timur, barat dan
utara. Penambahan areal terbuka untuk pemukiman ditandai dengan warna merah yang berada di sisi timur dan utara kawasan. Penambahan areal permukiman ini
karena letak kawasan yang berbatasan dengan wilayah padat penduduk Gambar 4.14. Pada wilayah Hutan Ruteng penambahan luas kebun dan pemukiman terjadi
pada semua bagian pinggir kawasan. Wilayah hutan yang masih relatif baik kondisinya berada pada bagian tengah kawasan yang jauh dari jangkauan
masyarakat Gambar 4.13.
Wisatawan asing lebih banyak datang ke Hutan Todo daripada Hutan Ruteng Tabel 4.7. Turis domestik lebih banyak datang ke Hutan Ruteng karena atraksi
wisata utama adalah pemandangan alam sedangkan di Wae Rebo wisata budaya
2000 4000
6000 8000
10000 12000
14000 16000
18000
Hutan Primer
Hutan Sekunder
Kebun Areal
terbuka Semak
Tubuh air Awan
Hektar
Tahun 1993 Tahun 2003
Tahun 2014