Pemanfaatan subsisten hasil hutan bukan kayu

122 tanpa mengabaikan masyarakat setempat Kosmaryandi 2011. Sistem tata guna lahan orang Manggarai terbagi menjadi 7, yaitu beo kampung, roas halaman sekitar rumah, lingko kebun komunal, rami hutan sekunder cadangan pertanian, puar hutan, bangka kampung lama, cengit daerah keramat. Dari ketujuh tata guna lahan tersebut yang berhubungan langsung dengan hutan adalah rami, puar, pong dan cengit. Pada wilayah KPA selain taman nasional, tata guna lahan tradisional tersebut dapat diakomodir dalam blok lainnya.

5.3 Integrasi Kebijakan Konservasi Tumbuhan dan Ekosistem

5.3.1 Kesepakatan Pengelolaan Kawasan Hutan

Hutan menurut Ostrom 1990 digolongkan ke dalam CPRs yang memiliki karakteristik eksklusi yang sulit dan substraktif yang tinggi namun sumberdaya terbatas sehingga setiap pemanfaatan yang berlebihan oleh seseorang akan berdampak negatif terhadap sumberdaya dan ketersediaan pemanfaatan bagi orang lain. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan menyebabkan kerusakan akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Karakteristik CPRs yang sulit melarang atau membatasi pemanfaatan menyebabkan banyak pihak hanya mau memanfaatkan tetapi tidak bersedia memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya free rider sehingga untuk menghindari kerusakan diperlukan kelembagaan. Pengelolaan hutan di Pegunungan Ruteng oleh negara melalui UPT pusat dan UPTD namun di dalam dan sekitar hutan juga terdapat masyarakat tradisional yang memiliki kelembagaan lokal. Solusi permasalahan tersebut adalah kesepakatan bersama mengenai ruang dan aturan pengelolaan. Analisis kandungan peraturan selengkapnya pada Lampiran 3. Pengelolaan kawasan hutan merupakan wewenang pemerintah pusat namun pemanfaatannya dapat dilakukan oleh pihak lain melalui beberapa mekanisme, yang pertama adalah investasipenanaman modal. Aturan terkait investasi adalah 1 izin pengusahaan pariwisata alam IPPA yang diatur dalam PP No. 362010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam; 2 izin perburuan satwa liar yang diatur dalam PP No. 13 Tahun 1994 tentang perburuan satwa buru; 3 penangkaran TSL, yang diatur dalam Permenhut No. P.19Menhut-II2005 tentang penangkaran TSL; 4 pemanfaatan air dan energi air, yang diatur dalam permenhut No. P.64Menhut-II2013; 5 izin penyelenggaraan karbon hutan, yang diatur dalam permenhut No. P.20Menhut-II2012.Izin-izin tersebut diberikan kepada perorangan, badan usaha, dan koperasi. Mekanisme kedua adalah kerjasama. Aturan terkait kerjasama ini adalah PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA dan Permenhut Nomor: P.85Menhut-II2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kerjasama ini banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Mekanisme ketiga adalah devolusi. Aturan terkait devolusi ini adalah PP No. 282011 Pasal 49 jo PP No. 108 Tahun 2015. Mekanisme devolusi dapat diterapkan pada kawasan Hutan Ruteng yang berstatus taman wisata alam apabila telah